37

299 13 2
                                    

Sudah menginjak hari ke tujuh, selama itu pula Dea merasa hari-hari di sekolahnya sedikit terusik. Selain dengan perubahan sikap Maharani yang lebih aktif berbicara, Dea juga mau tidak mau untuk berintaksi dengan dua kembaran itu. Meskipun Dea hanya seperlunya, tapi tetap saja pemandangan sehari-harinya, interaksi dengan Maharani menjadi terbatasi. Dea bukan orang yang mudah bergaul dengan orang baru, itu yang menjadi kendali baginya untuk menerima Lova dan Gara yang selalu akan mendatangi Dea dan Maharani jika ada kesempatan waktu.

Oh ... jangan melupakan satu fakta yang membuat Dea kesal setengah mati. Selain terusiknya kehidupan Dea di sekolah, kehidupannya di caffe milik bundanya itu menjadi berubah. Konsentrasi Dea selalu terganggu, penyebabnya tidak lain karena kehadiran Lova yang tidak pernah absen mengunjungi caffe setiap hari.

"Jadi gimana plan kita buat ke Pantai Jimbaran? Kalau kata orang sunda, sih. Jangan cuma jadi wacana doang!"

"Harus jadi dong. Gue kan belum pernah ke sana. Kalau gak hari sabtu ya hari minggu."

"Katanya, sih. Ombak di sana gak terlalu besar. Jadi aman buat berenang."

"Emang lo belum ke sana?"

Maharani menggeleng sambil cengengesan menimbulkan dengusan dari Gara yang dari tadi hanya bisa memperhatikan interaksi Maharani dan Lova yang begitu antusias dengan rencana mereka minggu ini. Gara tidak mau ikut untuk berargumen, bagaimanapun hal itu percuma karena sudah pasti hasil terakhirnya dari Lova dan Maharani karena mereka begitu kompak.

Gara menyantap lagi nasi goreng di depannya, sedikit memperhatikan Dea yang berada di sampingnya. Fokus Dea dari tadi tidak jauh dari ponselnya. Entah apa yang Dea lakukan.

Seketika kekehan kecil dari Dea terdengar oleh Gara, sedikit melirik ke arah Dea, Gara tersentak ketika Dea pun sama-sama sedang memandang dirinya.

"Lo bisa alay juga?" Tanya Dea sambil mengangkat ponselnya. Gara melihat apa yang Dea tunjukkan dengan ponselnya, seketika ia tahu apa yang barusan Dea tertawakan.

Gara mendengus. "Itu bukan gue." Ketusnya dengan melengos.

"Masa?"

Gara fikir, rasa penasaran Dea sekarang begitu tinggi terdengar dari suara Dea yang menuntun Gara untuk berkata jujur. Sekali lagi Dea melihat ke arah ponselnya, terlihat lebih meneliti apakah yang Gara ucapkan itu benar atau tidak.

Tidak lama Dea kembali menatap Gara, sedikit lama. "Kalau di foto ini adalah lo, gak apa-apa, sih. Walaupun alay tapi keliatan lucu kok."

***

"Eh, eh. Lo mau ngapain ngikutin gue?"

"Mau masuk lah." Jawabnya sekenanya.

"Gue gak ngajak lo."

"Kalau tadi gak terpaksa, gue males harus nebeng sama lo." Lanjut Dea lagi.

Lova tersenyum dan bersedekap."Lo kenapa, sih?"

"Apa?" Ketus Dea.

"Lo kenapa bisa fasih pake bahasa gaul?" Tanya Lova sedikit mengernyitkan keningnya.

"Ya kalau gue pake bahsa daerah sini, lo mana ngerti, Lova."

"Gak apa-apa, asal lo tahu gue akan selalu berusaha ngertiin lo!"

Dea diam, wajahnya tak bereaksi sama sekali. Ia sudah terlalu kebal dengan omongan Lova semacam ini.

"Manis mulutnya bercakap seperti sa-utan manisan, di dalam bagai empedu." Tutur Dea datar. Tentu saja ucapan Dea membuat Lova terheran, tidak mengerti.

"Maksud lo?"

"Belajar dulu bahasa Indonesia biar gak dapet jeblok." Bengisnya.

"Gue kan udah lancar ngomong indonesia, ngapain juga harus belajar?"

Dea menatap jengah, benar-benar menghadapi Lova itu harus memiliki extra tenaga dan kesabaran.

"Motor lo ada di sana kalau lo lupa parkir." Dea menunjuk ke arah dimana motor Lova terparkir, perkataan yang memiliki maksud jelas bahwa Dea mengusir Lova saat ini.

"Hari minggu gue jemput lo."

Baru saja hendak membuka pintu rumah, Dea berbalik lagi. "Gue belum bilang mau ikut apa enggak."

Lova menggeleng."Kita bakal kuliner seafood di sana."

"Gue gak suka seafood!" Kekeh Dea yakin.

"Ayam bakar."

"Gak cocok buat suasana di pantai."

"Es kelapa."

"Bosen gue tiap hari konsumsi es kelapa."

"Jagung bakar?"

"Lo kira di sana itu pegunungan?"

"Terus lo maunya apa?" Tanya Lova sedikit kesal. Sedari tadi ia mencoba sabar menghadapi penolakan Dea.

"Lo pergi dari rumah gue."

"Oke."

Ucapan Dea terakhir benar-benar dituruti oleh Lova. Dea masih berdiri, memastikan jika Lova tidak akan berbalik lagi. Memang, untuk menghadapi Lova itu harus dengan cara kasar. Memberikan kode itu tidak akan mempan, Lova terlalu kebal. Entah pura-pura atau memang ia tidak tahu malu.

Setelah memastikan jika Lova tidak akan kembali lagi, Dea menghela napas lega. Berbalik untuk memasuki rumahnya.

"Hah... kaget gue lo tiba-tiba muncul."

Dea tersentak begitu Deon tiba-tiba sudah berada di depannya. Mengelus dadanya pelan, Dea menajamkan matanya.

"Siapa?"

"Gue Dea, adik lo. Lo gak anemia kan?"

Deon berdecak,"Amnesia!" Dengusnya.

"Apapun itu, terserah." Ujarnya sambil berlalu. Sebenarnya, ini adalah alasan Dea untuk cepat-cepat pergi karena Dea sudah paham dan tahu apa yang akan terjadi jika dirinya meladeni pertanyaan dari Deon.

"Gue gak suka dia."

Benar, kan? Dea sudah bisa menduga akan hal ini.

"Ya masa lo suka dia. Homo?"

"Tampang dia kaya playboy."

"I know."

"Dia gak cocok sama lo." Deon kembali berbicara.

"Lo berubah profesi jadi peramal?"

"Lo mau punya kakak peramal?"

Dea tertawa."Kenapa enggak? Siapa tahu lo bisa melihat masa depan gue."

"Dan gue pastikan itu bukan cowok tadi."

Dea melingkarkan bola matanya, mengistirahatkan tubuhnya di sofa. Ternyata, Deon pun sama duduk di depannya dengan mata yang masih mengarah ke arah Dea.

"Lo serius amat, sih. Cowok yang nganterin gue bukan berarti gue suka."

"Inget, lo masih SMP!"

"Iya deh, yang udah SMA."






To be continue.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang