Bali.
Kalau ada yang bertanya situasi apa yang sangat Dea benci? Dea akan menjawab ketika kakaknya mulai mencampuri privasi Dea terlalu jauh. Memang tidak salah, dan dari dulu Dea tidak keberatan namun sekarang Dea sadar dirinya sudah besar, dirinya punya hak untuk kehidupannya sendiri. Ia sangat menyadari jika Deon menyayanginya namun sikapnya yang terlalu over protective itu membuat Dea terusik untuk sekarang ini.
"Dia gak baik buat lo!"
Berkali-kali kalimat itu terdengar oleh Dea.
"Dia cuman temen. Apa salahnya kalau gue ikut? lagian, kan, sama Maharani juga."
Deon mengacak rambutnya prustasi. Sering kali dirinya mencoba untuk memisahkan Dea dengan Lova. Deon lebih ketat menjaga Dea mulai dari mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Siap siaga berdiri di depan pintu jika Lova memaksa ingin menemui Dea. Semua yang dia lakukan karena feelingnya selalu berkata jika Lova bukan cowok baik-baik.
"Gue camping cuma dua hari satu malam. Bareng juga sama komunitas lain jadi lo gak usah khawatir gue bisa jaga diri apalagi ada Gara sama Lova, mereka pasti jagain gue." Jelas Dea untuk meyakinkan lagi.
"Gak ada jaminannya kalau dia gak bakal nyakitin lo. Gimana kalau nanti dia ngapa-ngapain lo? Emang lo mau?"
"Yaudah lo tinggal ikut aja sama kita," final Dea.
"Gue ada urusan sekolah. Kalaupun gue gak sibuk pasti gue bakal ikut."
Dea berdiri. "Yaudah, urus aja urusan lo gak usah larang-larang gue." Dan Dea berlalu.
"Gara-gara dia lo berubah. Lo pembangkang sekarang!" Teriak Deon lantang. Dea mengacuhkan, melebarkan langkahnya keluar dari rumah.
Daripada mood-nya semakin buruk Dea lebih memilih menjauhi Deon. Mengendarai mobilnya sedikit cepat, tujuannya tidak akan jauh dari rumah Maharani.
Dea berdecak mengingat sikap Deon yang selalu menolak kehadiran Lova. Entah apa alasannya laki-laki itu tidak menyukai Lova padahal setahu Dea Lova tidak pernah berurusan dengan Deon atau memang dirinya saja yang tidak tahu dan dengan sengaja Deon menyembunyikannya. Deon selalu berkata jika Lova tidak pantas untuknya. Padahal belum tentu juga dirinya akan berhubungan lebih dengan Lova. Mereka hanya berteman meskipun butuh waktu lama untuk Dea menerimanya karena dari awal Dea pun tidak menyukai Lova. Karena memang waktu bisa merubah segalanya, keadaan bisa menuntun Dea agar terbiasa dengan kehadiran Lova. Ternyata, Lova tidak seburuk apa yang ia kira.
"Ini lampu merah lama banget, sih?" Kesal Dea. Tangannya memukul klakson dengan kesal. Cuaca sangat panas hari ini, Dea mematikan AC-nya. Ia lebih memilih menikmati angin yang keluar dari jendela yang setengah ia buka. Kepalanya mengarah ke samping yang kemudian menghasilkan keterkejutan untuk Dea.
"Mau kemana?"
"Lo ngapain?" Dea malah melempar pertanyaan. Seseorang yang tengah duduk di motor besarnya itu menggelengkan kepalanya. "Lagi berkuda. Mau ikut?"
Secara spontan Dea mencebikkan bibirnya. Mereka saling beradu tatap cukup lama tanpa mengeluarkan kata lagi seolah hanya dengan mata saja mereka bisa berkomunikasi.
"Mau nge-date?"
Dea mengerjapkan matanya, "kapan?"
"Sekarang?"
"Kan gue bawa mobil. Lo juga bawa motor." Laki-laki itu terdiam kemudian melihat ke atas.
"Lo ikutin gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_