48

284 14 7
                                    

Lova membuka pintu kamar Gara, "Gara lo ngambil jaket gue yang warna abu gak?"

Gara terbangun dari acara rebahannya, "cari aja di lemari." Suruhnya lalu kembali tiduran.

"Gue kan udah bilang jangan pernah pake jaket itu lagi." Omel Lova tapi tak ayal ia melakukan aksi pencariannya.

"Cuma sekali gue pake. Lagian gue gak penyakitan. Gitu aja pelit lo!" Dengus Gara.

"Gue gak mau aja jaket dari Dea malah dipake sama orang lain."

Gara membenarkan posisinya. Mengernyit pada Lova,"bucin lo gak berkurang, ya."

"Artinya gue setia daripada lo."

"Halah, giliran ditikung nanti lo mewek lagi."

"Langkahin dulu gue kalau mau nikung. Ragu gue kalau Dea bakal lebih milih lo."

"Gak ada yang gak mungkin. Dari segi fisik kita sama, kalau romantis gue jamin gue yang bakal menang, masalah setia gue bisa belajar apalagi buat mertahanin Dea itu rasanya mudah. Jadi, ada kemungkinan mudah buat Dea jatuh cinta sma gue, " ucap Gara mulai membandingkan.

Lova bersedekap sesudah menemukan jaketnya.

"Seberapa banyak lo yakini kalau lo lebih baik dari gue. Itu akan percuma kalau nyatanya Dea lebih bucin ke gue. Mimpi aja lo sana bisa miliki dia."

Gara mendengus. "Kadang gue heran, apa yang diliat Dea sampe bisa milih lo?"

Lova tertawa," harusnya lo ngomong gini, gue heran apa yang lo liat sampe harus milih Dea? Bukan malah sebaliknya."

"Mungkin lo milih dia karena lo mudah buat bohongin dia, kan?" Tebak Gara membuat pelototan dari Lova.

"Kasihan gue. Bucinnya Dea pada orang yang salah."

"Sirik mulu. Cari pacar sana yang bener, jangan orang di perempatan jalan lo pungut."

"Lo yang sirik kalah pamor sama gue." Bela Gara berteriak begitu Lova keluar dari kamarnya.

Lova merapihkan rambutnya, melihat tampilannya sudah selesai. Ia sudah lama tidak memakai jaket pemberian dari Dea dan khusus hari ini ia memakainya karena ia akan menemui Dea. Tidak sabar melakukan rencana yang mereka buat semalam.

"Kayanya dia bakal bosen kalau gue ajak ke pantai," monolog Lova.

Lova memutar kembali otaknya, tempat mana yang pas untuk mengajak Dea. Meskipun ditempat manapun ia akan mengajak Dea, Dea akan suka-suka saja. Tabiat Dea yang tidak terlalu mempermasalahkan tempat, yang terpenting banyak makanan. Itu adalah point khusus yang harus selalu diperhatikan.

Dering telepon yang masuk mengalihkan perhatian Lova. Tangannya segara menerima telepon yang masuk.

"Hallo Ann, ada apa?"

"Lova... tolong!"

Rasa panik Lova menyeruak begitu mendengar lirihan dari Anna, "lo kenapa nangis? Lo ngomong sama gue ada apa sebenernya?"

"A-Andreas..."

***

Kepanikan dan ketakutan Anna semakin besar. Gedoran pintu semakin terdengar keras. Anna memeluk tubuhnya, dinginnya lantai toilet membuat tubuhnya terasa membeku. Ia tidak bisa berhenti menangis, mengharapkan seseorang datang untuk menyelamatkannya. Berkali-kali Anna mengenggam ponselnya, telponnya tidak diangkat sama sekali setelah panggilan tadi terputus.

"Sayangku Anna, buka pintunya."

Anna semakin membenamkan kepalanya, mencoba tidak mendengar panggilan demi panggilan dari orang gila di sana.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang