Motor Deon melaju pelan begitu memasuki area garasi milik sang Ayah. Dilihatnya mobil Ayah yang sudah terparkir, mereka pikir Ayahnya pulang lebih cepat hari ini begitupun dengan mobil Abi yang sama-sama sudah berada di sana.
"Tumben." Ucap Dea dengan keheranan yang ia lihat. Deon mengedikkan bahunya.
Selepas menyimpan helm di tempatnya, langkah Dea yang hendak memasuki pintu utama tiba-tiba saja berhenti. Mengingat-ingat mobil siapa yang terparkir tidak jauh dari sana.
"Bunda!"
Dea tersadar begitu mendengar suara dari Deon dan laki-laki itu berlari memasuki rumah. Begitu kakinya mendekati salah satu ruangan, suara gaduh pun sudah bisa Dea dengar.
Itu suara Bundanya, begitu tinggi dengan emosi yang bisa Dea rasakan. Tidak jauh, dari sana sudah ada Ayah dan Ibu tirinya, beserta ka Abi yang memeluk sang Ibu yang terisak.
"Saya hanya melakukan tanggung jawab saya sebagai Ayah untuk melindungi anak saya."
"Tapi saya juga Ibunya, apa pantas ketika anak saya sakit kamu sebagai Ayahnya tidak memberitahukan saya? APA ITU PANTAS?!" Suara Dian meninggi, kilatan matanya terpancar.
"Tenang dulu Dian, kita bicarakan baik-baik." Dea menahan napasnya begitu Ibu tirinya berani berbicara.
"Tidak ada pembicaraan baik-baik. Kehadiran kalian disini hanya semakin memperumit hidup saya. Kenapa kamu harus tinggal di kota ini, mas? Saya sudah tenang bersama anak-anak disini!"
"Dian saya gak bermaksud untuk mengusik hidup kamu lagi."
"Tapi kalian melakukannya. Kehadiran kalian menyakiti hati saya kembali yang sudah membaik. Rasa sakit atas pengkhianatan itu masih membekas dan kalian pikir ini baik-baik saja?"
"Nda!" Dea mendekat, merengkuh tubuh Bundanya yang semakin bergetar. Mata Dea ikut berkaca melihat rasa sakit yang Bundanya rasakan kini terbuka lagi.
Dian menatap istri mantan suaminya, wanita itu tengah menangis. Entah karena bersalah atau hanya sebagai kepura-puraannya.
"Saya tidak akan keberatan jika kehadiran kalian tidak mengusik hidup kami. Tapi kalian malah memperlakukan saya seperti tidak ada disini, dan kamu?" Tunjuk Dian pada wanita yang hampir seumuran dengannya.
"Jangan harap bisa menggantikan saya sebagai Ibunya Dea dan Deon, karena itu tidak akan terjadi."
"Dian, sekalipun saya tidak berniat untuk melakukan hal itu."
"Dengan kalian membawa anak saya untuk tinggal di rumah ini, itu sudah menjada awal rencana kalian untuk merebut mereka dari saya. Apa kamu masih tidak puas untuk menghancurkan hidup saya, mas?"
"Dulu kamu sudah mengambil hati dan kehidupan saya sepenuhnya tapi kamu menghancurkannya dengan pengkhianatan, lalu begitu kehidupan saya pulih atas rasa sakit yang mas berikan kamu dengan tega akan mengambil kehidupan saya satu-satunya, begitu?"
"Nda, Dea gak akan ninggalin Bunda." Ujar Dea tercekat. Semakin mempererat kungkungannya.
"Kamu tidak mengerti Dea! Mereka akan ngambil kamu dari Bunda begitupun Deon." Teriak Dian sangat lantang bahkan Dea pun sedikit terkejut atas bentakan yang Dian berikan.
"Dian, jaga suara kamu!"
"Ayah diam! Jangan sekalipun meninggikan suara Ayah ke Bunda."
"Dia udah bentak kamu, Dea. Ayah gak terima."
"Karena dengan itu Dea tahu jika Bunda tidak mau kehilangan kami, tidak seperti Ayah yang rela melepaskan kami untuk memilih kehidupan baru bersama orang asing, itu terlihat buruk dimata kami, Yah."
***
"Nda maafin Dea. Aku cuman gak mau Bunda khawatir disana kalau tahu aku sakit." Jelas Dea kesekian kalinya.
Dian memijit pelipisnya, emosinya meledak begitu saja ketika pertama kali datang ke rumah dan kedua anaknya sudah tidak ada di sana setelah mendapatkan kabar jika mereka tinggal dengan Ayahnya. Dian jelas sekali tidak suka, pikirannya selalu mengarah jika kedua pasangan itu akan mengambil kehidupannya.
"Kamu salah, bagaimana pun sibuknya Bunda dengan pekerjaan, kalian paling utama buat Bunda." Dian menatap sendu pada Dea yang memeluknya di bawah sana. Dielusnya puncak kepala Dea dengan sayang.
"Gak ada seorang Ibu yang akan membiarkan anaknya berjuang sendirian di kala sakit. Bunda sedih kamu sakit lagi, seperti Bunda gak becus ngurus kamu." Dea menggeleng dengan genangan air matanya yang meluruh.
"Nda adalah Bunda yang terhebat. Jangan ngomong kaya gitu, ini salah Dea yang masih belum bisa menjaga diri sendiri. Dea janji bakal sehat lagi, Nda."
Dian meringis, ia kembali menangis dan menggenggam kedua tangan Dea sangat erat. Memantapkan dirinya untuk lebih ketat menjaga Dea lagi adalah salah satu hal yang harus ia lakukan. Anaknya yang manja ini kenapa harus kembali merasakan sakit lagi?
"Kamu udah minum obat?"
"Udah, Nda." Dian mengangguk, jemarinya menata rapih anak rambut yang menjuntai menghalangi wajah mungil Dea.
"Nanti kita cek up lagi, ya?!"
Dea mengangguk dan tersenyum. Memeluk lagi tubuh Bundanya.
Ternyata, seberapa keras Dea menginginkan kehidupan keluarganya agar bisa kembali seperti dulu hal itu tak akan pernah terjadi sama sekali. Benar kata Deon, Ayahnya sudah menemukan pelabuhan hatinya, keluarga baru yang mungkin itu adalah yang diidam-idamkan oleh Ayahnya. Sangat menyesakkan, seolah mereka dilempar ketika tidak dianggap penting lagi.
Dea mana mungkin membenci Ayahnya. Bagaimana pun beliau adalah seseorang yang menjadi panutannya dulu, yang selalu mengajarkan Dea banyak hal, yang menjadi cinta pertamanya. Kini, hanya rasa kekecewaan yang Dea rasakan pada Ayahnya. Dan selalu bertanya-tanya. Kenapa dan kenapa Ayahnya melakukan hal itu meskipun sekarang Dea tahu jawabannya seperti apa.
To be continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_