Yang dilakukan Dea saat ini adalah terduduk manis menatap jalanan yang dipadati kendaraan saling berlalu lalang. Tak mengenal waktu, bahkan ketika hari sudah menjelang malam orang-orang malah semakin banyak berkeliaran entah apa yang akan mereka lakukan. Dea semakin heran saja memperhatikannya. Semua orang semakin sibuk, lupa akan waktu. Tak mengenal siang dan malam.
Sorot mata Dea mengikuti satu mobil yang sedang mendekatinya, sambil beranjak dari posisinya Dea tersenyum begitu menghampiri mobil itu yang kini sudah berhenti tepat di depannya.
"Maaf lama."
"santai," ujar Dea sambil memasuki mobil itu.
"Anter ke suatu tempat dulu ya Kak. Gue ada urusan sebentar." Pinta Dea.
"Tunjukin jalannya aja."
Dea melingkarkan bola matanya. "Ka Abi sekarang udah ada google maps. Jangan buta teknologi dong," cibirnya menghasilkan dengusan dari kakak tirinya itu.
Dea terkekeh geli melihat wajah kesal kakaknya itu. Jika dilihat-lihat wajah Abi itu memang lebih bening daripada Deon yang menurut Dea sangat buluk, yang kerjaannya ngerem di kamar kalau tidak main futsal di lapangan dekat kompleknya. Tetapi untuk Abi, Dea berfikir Abi sudah terlihat lebih matang walaupun umurnya tidak begitu terpaut jauh tetap saja penampilan Abi itu terlihat seperti seorang laki-laki mapan. Apalagi kini dia sudah bekerja di salah satu perusahaan. Awalnya Dea sendiri keheranan kenapa Abi tidak bekerja saja di perusahaan Ayahnya dan malah bekerja di perusahaan orang lain. Dan pada saat itu Abi menjawab jika ia merasa tidak pantas karena ia sudah berjanji ia tidak akan mencampuri urusan perusahaan keluarga Dea meskipun ia sudah masuk dalam keluarga itu. Abi berfikir jika perusahaan itu harus dikelola oleh anak kandung papah tirinya, yaitu salah satu dari Deon dan Dea.
Mencoba melakukan yang terbaik untuk keluarga barunya, itulah yang harus Abi lakukan. Ia tidak mau jika kedatangan Ibunya dan dirinya kembali menjadi parasit di kehidupan Dea yang akan datang. Abi akui jika kasih sayangnya kepada Dea dan Deon sangat besar. Tidak peduli sikap Dea saat itu yang begitu ketus padanya, penolakkan yang terang-terangan bahkan cibiran yang menyakitkan saat itu Abi terima dengan lapang dada. Hingga saat ini kesabaran Abi membuahkan hasil. Dea sudah menerima kehadiran dirinya perlahan terbukti dengan Dea yang akan meminta pertolongannya ketika Dea membutuhkan sesuatu. Perubahan yang signifikan, dan Abi sangat bersyukur.
***
"Ka Abi jangan macam-macam ya!" tegurnya keras sambil sibuk memakan es krim di tangannya.Abi terkekeh geli. Tingkah laku Dea itu memang sering berubah-ubah. Terkadang bisa menjadi kucing garong saat marah, menjadi anak kucing ketika sudah diberikan sesuatu yang diinginkannya bahkan bisa menjadi kocheng oren ketika tingkah gilanya kembali muncul. Katanya ia akan menjadi kucing oren ketika berhadapan dengan Deon, Dea akan melakukan hal gila untuk mengerjai kakanya itu. Seperti kucing dan tikus saja yang tak mau mengalah dari salah satunya. Abi dengar hal itu dari papah tirinya yang sering menceritakan Dea dan Deon kepadanya.
Dan saat ini, Dea sedang menjadi anak kucing. Ketika dengan asyiknya tangan Abi memainkan rambut Dea yang dibiarkan tergerai saat ini, Dea hanya mampu menegur saja tanpa bertindak sedikit pun karena ia hanya terfokus menikmati es krimnya. Dengan luluasa tangan Abi bertindak, menggelintir dengan telunjuknya, mengusapnya penuh kasih bahkan mengacaknya ketika gemas ketika melihat tingkah Dea.
"Ka Abi gue bilang apa? jangan dimainin mulu." geramnya kesal.
Abi tertawa, "Sorry... ketagihan soalnya." sambil terkekeh.
"Gue bukan peliharaan ya yang bisa diapa-apain sesuka hati."
"Terus apa dong?"
"Manusia lah, gimana sih." ketusnya.
Abi tak tahan untuk tidak tertawa, hal itu malah menimbulkan kekesalan pada Dea.
"Tadi ngapain ke toko perhiasan?" tanya Abi mengingat tujuan Dea tadi sebelum mengunjungi kedai ini.
"Benerin kalung gue yang putus," jawab Dea.
"Kenapa bisa?"
"Ya bisalah, makanya putus."
"Yaudah, asal jangan hubungan kamu yang putus sama dia."
Dea menoleh mendengarnya, ia menyimpan sendok es krim ke tempatnya. "Ngomong apa, gue gak denger?" Sambil kembali memakan es krimnya.
Abi tersenyum, cukup memahami bagaimana tabiat anak remaja mengenai cinta, gengsi dan keegoisan masik kental sekali tertanam dalam tubuh seorang cewek. Abi ingin mendengar adiknya ini bercerita tentang semua hal, namun ia sadar diri tak semua hal bisa ia ketahui.
"Gue ke toilet dulu."
Dea bergegas, tujuannya tidak jauh untuk membersihkan seragamnya yang terkena noda es krim. Sudah besar ia masih saja teledor seperti anak kecil.
Di tengah jalan, perhatian Dea teralihkan membuat ia seketika berhenti. Memusatkan perhatiaannya pada dua orang yang berjalan saling beriringan, dengan senyum yang terpasang dari keduanya, melepaskan kebahagiaan, seolah dunia milik berdua saja. Tak mau mengetahui lebih jauh lantas Dea kembali ke tujuannya dengan segenap perasaan yang begitu menyesakkan. Begitu menghimpit seolah pasokan udara semakin menipis, Dea memukul dadanya yang sesak itu, tak ada yang bisa merelakan jika kekasih ternyata jalan bersama orang lain- teman sendiri pula. Di bilik toilet, Dea menahan diri agar tidak menangis. Ini bukan dirinya yang menye-menye menangisi kekasih seperti itu. Namun yang membuat ia tidak terima ialah ketika ia memberikan jarak dengan Lova kenapa harus laki-laki itu malah semakin dekat dengan Anna? bukan membujuk dirinya agar kembali percaya pada dirinya. Mengetahui apa yang Lova lakukan saat ini pula Dea seolah semakin tersadarkan jika dirinya bukanlah apa-apa dibandingkan Anna. Perkataan manis Lova yang seolah Dea adalah segalanya hanya omongan belaka untuk menenangkan Dea yang saat itu kalut akan kecemburuannya.
To be continue.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_