Dea sedang duduk di tepi lapangan, matanya tak beralih pada objek yang dari tadi ia elus pelan. Sebuah kalung berbentuk tangkai disertai mata kecil yang berada di ujungnya. Mungkin semua orang tidak akan menyadari bahwa Dea mengenakan kalung seperti itu karena panjang kalung itu mampu tertutupi oleh pakaian yang ia kenakan.
"Jangan putus lagi, ya?" ujar Dea pelan.
Memang benar jika kalung itu sempat putus karena kecerobohan Dea, maka dengan itu beberapa hari ke belakang ia meminta Abi untuk mengantar ke salah satu toko perhiasan untuk membenarkannya, dan kemarin sore Dea sangat senang sekali karena kalung tersebut ternyata sudah selesai pengerjaan.
Dea menengadah, mengedarkan pandangannya ke lapangan di depannya. Sekolah sudah berangsur sepi, hanya ada beberapa murid yang sedang melakukan ekstra kulikuler. Disaat pandangannya tertuju pada salah seorang siswi yang berjalan ke arahnya Dea sedikit memicing mungkin alasannya karena mata Dea akhir-akhir ini sering merasa buram.
"Hai."
Dea sedikit terkesiap atas sapaan itu, tersenyum kaku lalu sedikit menggeser tubuhnya ketika orang itu duduk di sampingnya.
"Tumben lo belum pulang,"
"Gue nunggu Lova."
Dea mengangguk kaku, bibirnya mencoba untuk tersenyum menyembunyikan perasaannya yang bergejolak.
"Gue seneng kalau kalian makin deket."
Dea tidak tahu harus merasakan apa ketika melihat senyuman dari Anna, rasa kebencian itu entah kenapa tidak ada dalam diri Dea, padahal jika mau memang sepantasnya Dea membenci Anna yang sudah menganggu hubungannya dengan Lova, sialnya Dea seolah tidak pantas untuk membenci Anna. Jadi siapa yang seharunya ia benci atas apa yang terjadi?
"Gue denger Andreas udah jarang ganggu lo ya?"
"Semenjak beberapa minggu yang lalu dia udah jarang ganggu gue. Entah apa yang Lova lakuin waktu itu sama Andreas. Karena semenjak itu Andreas udah jarang datengin gue."
"Lova sama Andreas berantem lagi?"
"Awalnya iya, tapi tiba-tiba Lova bawa Andreas keluar rumah waktu itu. Gue gak tahu tapi kayanya Lova ngomong sesuatu sama dia."
"Gue seneng kalau dia gak gangguin lo terus." Mendengarnya Anna menganguk, membenarkan apa kata Dea karena sejujurnya Anna pun mau jika kehidupannya akan tenang tanpa ada gangguan dari kakak tirinya lagi.
"Kenapa lo gak mau laporin orang cabul itu ke ayahnya, sih? biar dia juga tahu gimana kelakuan anaknya. Di depan aja kaya yang menyayangi lo seperti adik padahal memiliki hasrat ingin miliki lo."
"Keadaan gak akan berubah meskipun gue lapor dia ke ayah. Ayah pasti lindungi dia karena dia anak kandungnya, sedangkan gue? Gue adalah orang yang beruntung di adopsi sama Ayah dan mau membiayai hidup gue."
"Tapi bukan berarti harus rela digangguin sama Andreas juga yang bahkan bukan hanya ganggu kehidupan lo tapi ganggu psikis lo juga Anna."
"Gue bisa ko ngehadapin ini semua, gue percaya kalau dia bakal berubah dan akan menerima gue sebagai adik tirinya."
Ini yang tidak tahu harus Dea kagumi atau membodohi sosok Anna yang terlalu sabar menghadapi kenyataan dalam hidupnya. Memang kehidupan Anna tidak seperti dirinya yang masih mempunyai keluarga untuk menjadikannya penopang hidup, Anna mampu bertahan dalam cobaan yang selalu datang di usia mudanya kini.
"Gue dan yang lain gak bisa bantu banyak untuk lo selain nyemangatin lo di sini. Jangan menyerah, ya. Lo masih punya temen-temen yang sayang sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_