"Akan terlihat menyedihkan jika suatu hubungan atas dasar kasihan."
_DeaLova_
***
Sesuai rencana yang telah Dea dan Cika sepakati tadi. Sepulang sekolah mereka langsung bergegas menuju tempat kediaman Anna. Di tengah perkotaan dan memasuki pelantaran perum yang rata-rata bangunannya terlihat sederhana. Perumahan yang Anna tempati memang bukanlah perumahan mewah, namun terbilang sangat aman dan nyaman.
Mereka menghabiskan waktu 2 jam di sana. Mendapati keadaan Anna yang sudah memulih mendapatkan ucapan syukur terlontar dari masing-masing mulut mereka. Hingga menjelang maghrib Dea terlebih dahulu pamit karena sudah sekian kalinya diteror panggilan yang tak lain dari kakaknya- Deon.
Dea menggenggam tangannya, mengepal. Sepanjang jalan ia merasa canggung lantaran tidak ada suara yang keluar dari mulutnya atau dari seseorang yang kini tengah mengendari motor, membawa mereka ke tujuan akhir yaitu rumah Dea.
Ketika Dea pertama kali bertemu dengan Lova saat di rumah Anna tadi. Dea maupun Lova sama sekali tidak berbincang bahkan Dea mencoba mengalihkan pandangannya agar tidak beradu pandang dengan Lova. Meskipun sorot mata sayu yang Lova perlihatkan tadi tetap saja Dea masih tidak bisa menebak perasaan laki-laki itu.
Dea bergegas turun, melepaskan helmnya dan berusaha sekuat mungkin agar tidak memandang Lova. Ia tidak tahu kenapa sedikit sangat enggan untuk bersitatap. Seolah ia takut jika perasaan sedihnya tiba-tiba muncul. Entah itu memang rasa sedih atau kemarahan yang selama ini ia pedam, Dea tidak mau itu terjadi dan malah menimbulkan pertengkaran pada mereka.
Dea terkesiap, tubuhnya menjengit berbarengan dengan tarikan pada tangannya. Lebih tepatnya genggaman pada tangannya kini berhasil membuat keterkejutan bagi Dea mendominasi.
"Assalamualaikum."
Itu bukan suara yang keluar dari mulut Dea, melainkan Lova. Masih dengan genggaman tangannya yang semakin erat.
"Waalaikumussalam."
Terdengar jawaban dari dalam sana. Ketika dilihat, hanya ada Deon saja yang tengah duduk santai sambil memainkan ponsel.
"Bunda gak ada." Ucapan dari Deon berhasil membuat Dea bungkam begitu akan menanyakan keberadaan Bundanya.
Genggaman Lova terlepas, lalu Dea merasa jika ia sedang dipandang seolah dikuliti habis-habis.
"Gue ke kamar dulu," ucap Dea menyembunyikan kegugupan.
"Gue tunggu di ruang keluarga."
"Iya."
Selepas itu Dea benar-benar menghilang meninggalkan Lova dengan tatapan yang sulit diartikan. Lova mendekati Deon setelah melemparkan kunci motornya asal. Mendengar helaan napas yang keluar dari mulut Lova lantas Deon mengernyit.
"Gue lagi gak mau dengerin curhatan lo." Seolah tahu apa yang akan Lova lakukan Deon berucap terlebih dahulu. Mengingatkan Lova.
"Gue gak mau curhat, cuman pengen pinjem baju lo doang." Lova menjawab dengan sedikit mendengus.
"Lo bisa ambil sendiri." Sambil melengos dan kembali memusatkan pada ponselnya.
Tak lagi ingin menyahuti Lova menuruti saja, melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Tubuhnya sedikit direnggangkan, rasa pegal menjalar ke seluruh tubuhnya.
Membutuhkan waktu kira-kira lima belas menit, Lova kembali ke tempat tujuannya dengan Dea. Ruangan keluarga yang kini sudah tidak ada keberadaan Deon dan tergantikan dengan kehadiran Dea.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_