"Tuhan tidak hanya memberimu kebahagiaan semata, terkadang untuk mendapatkannya kamu pun harus rela mengorbankan sesuatu. Ah, bahkan hanya untuk mempertahankan kebahagiaan aku pun harus rela membiarkan kepingan hati bersarang tak berbentuk. Memang sebuah perjuangan."
_DeaLova_
***
Merasa bukanlah orang yang pandai untuk memutuskan sesuatu, Lova sadar dirinya masih jauh dari kata lelaki yang baik. Apa yang menurutnya baik belum tentu baik pula menurut orang lain, terkadang dari sana Lova harus berpikir bagaimana menjadi seseorang yang dapat diterima oleh orang lain tanpa merugikan siapapun. Terkadang pula disaat dirinya ingin menyelesaikan suatu masalah, justru malah menimbulkan masalah yang lain. Jujur saja, Lova sangat penat dalam situasi seperti itu.Pelukan kecil pada lengannya yang Lova rasakan saat ini bukanlah apa-apa, kepala Anna yang disandarkan pada bahunya bagi Lova sudah terbiasa karena ia sering mendapatkannya apalagi ketika Anna dalam keadaan yang sekarang ini. Lova tidak bisa menolak apa yang selalu Anna lakukan, Lova pun tidak bisa menegur karena yang Lova bisa lakukan hanya me-respect dari perbuatan Anna tanpa Lova sadari hal itu justru malah semakin membuat perasaan Anna tak terkendali. Lova selalu membiarkan apa yang ingin Anna lakukan pada dirinya, seolah mengatakan bahwa Anna berhak atas diri Lova.
Angin malam semakin menulusuk, membuat keduanya semakin nyaman dalam posisinya. Menyalurkan rasa kehangatan lewat pelukan kecil itu, sedikit melupakan dimana keberadaan mereka sekarang. Lova maupun Anna menikmati dinginnya malam walaupun dalam perasaan masing-masing ada sedikit kekhawatiran.
"Dea dipanggil sama Bunda!"
Teriakan dari dalam sana spontan saja membuat Lova terkesiap. Menyadari jika Dea sudah ada di kamar dan bisa saja melihat mereka berdua. Lova sedikit mengulurkan cengkeraman tangan Anna, memberikan jarak di sana. Ia baru sadar jika Dea sudah melihat kejadian ini maka situasi akan semakin rumit dan sulit untuk Lova perbaiki.
"Sebentar."
Pacuan jantung Lova semakin cepat. Suara yang didengarnya barusan begitu dekat.
Apakah Dea sudah melihatnya?
Tanpa pikir panjang lagi Lova menghadap ke belakang, benar saja ia bisa melihat Dea yang tengah menjauh. Lova langsung saja berjalan memasuki kamar, namun sayangnya Dea sudah tidak ada.
"Yang udah bucin baru selesai?"
Lova tidak menggubris, ia malah menatap tajam Miki yang sedang mengusap rambut Cika. Berdecis sebal, justru Lova berpikir jika Miki lah yang bucin alias budak cinta.
"Dea kemana?" Tanya Lova pada Gara.
"Ke bawah. Katanya ada yang cariin."
"Siapa?"
"Katanya, sih si Lazuardi."
Mata Lova sukses membulat, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Ko bisa malam-malam gini dia ke sini?"
"Ya bisa lah. Dia kan punya kaki," balas Gara sedikit menyebalkan.
Wajah merah padam Lova sudah nampak sekarang, napas yang memburu tak karuan menandakan kemarahan Lova kian mencuat. Seketika ia merasa tepukan pada bahunya menjadikan suasana hatinya semakin tak karuan setelah mendengar ucapan pelan di telinganya.
"Sayang sekali, yang tersembunyi gak bisa bertindak meskipun hanya sekadar membuktikan perasaan."
***
Arah pandang Dea untuk sekian kalinya teralihkan, sesuatu hal yang mencoba untuk menarik perhatiannya itu berhasil membuat Dea tidak fokus. Bukan hanya Dea saja ternyata seseorang di sampingnya pun ikut merasakan terusik. Mereka menghela napas secara bersamaan, memikirkan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_