Lova masih menggenggam tangan mungil milik Dea, rasa bersalah semakin membesar begitu menyadari janjinya bersama Dea malam ini, dan naasnya ia malah bersama Anna. Lova merutuki dirinya yang seolah-olah bahwa beberapa hari kebelakang ia bukanlah Lova yang sebenarnya, Lova terlalu kalut akan emosinya, mengikuti setiap egonya yang dampaknya malah membuat Lova berada di dalam situasi yang semakin membingungkan. Lova terlalu gegabah akhir-akhir ini dan tidak berfikir jernih untuk memutuskan setiap pilihan.
"Dea..."
Mata Dea sedikit mengerjap, menyesuiakan cahaya yang masuk dan menahan sedikit pusing di kepalanya. Kehadiran seseorang di sampingnya seketika membuat Dea terdiam mencerna kejadian apa yang sudah terjadi, yang ia ingat adalah pingsan dalam pelukan Lova saat itu.
Dea meringis merasakan kepalanyan yang begitu berat, didukung dengan matanya yang sulit untuk terbuka lebar, ia hanya bisa merasakan genggaman pada tangannya kemudian elusan pada pipinya. Seketika rasa sesak itu menjalar di hati Dea, semua perlakuan dan pengkhianatan dari laki-laki di sampingnya membuat seolah hati Dea nyaris membeku.
"Jangan minta maaf sama gue kalau hal itu terus lo ulang, gue muak sama semuanya." Dea mengalihkan pandangannya, sejenak memejamkan matanya begitu tangan Lova di pipinya mengendur.
"Gue sadar apa yang gue lakuin."
"Tapi nyatanya lo gak pernah sadar semenjak Anna masuk dalam kehidupan kita."
"Lo tau Lova? rasa simpati lo terhadap Anna itu udah berlebihan, lo bukan sekadar menganggap dia adik tapi lebih dari seorang wanita. Gue tau tatapan mata lo sama Anna kaya gimana. Coba lo fikir, gue sebagai pacar lo harus gimana?"
Kini tak ada lagi isak tangis Dea begitu mengeluarkan semua perasaannya pada Lova, yang ada kilatan kemarahan, kecewa dan kesedihannya yang terselimuti oleh kemurkaan Dea.
"Lo diem karena apa yang gue ucapin itu bener." Dea mengehentakkan tangan Lova kasar, berbalik untuk memunggunginya. "Tinggalin gue sendiri, dan jangan bilang sama Bunda gue kalau gue di sini."
Lova menggeleng, "Gue gak bisa biarin lo sendirian, setidaknya ada Deon di sini."
Namun tak ada jawaban sama sekali. Lova memandang sayu Dea yang bahkan tidak mau menatapnya lebih lama. Miris sekali bahwa yang membuat gadis itu terluka karena dirinya.
Andai saja dulu ia tidak bertemu Anna, mungkin tidak akan seperti ini. Atau andai saja ia tidak bertemu Dea mungkin semua ini juga tak akan terjadi. Tidak sepantasnya ia menyalahkan semua ini karena pada awalnya hanya dirinya saja yang tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur terhadap urusan Anna.
***
Tepat pukul 06:00 WIB Lova sampai di depan rumahnya, kedatangannya di sambut oleh Rima yang kebetulan sedang menyapu di halaman depan rumahnya. Begitu melihat anak bungsunya yang pulang begitu pagi sontak saja membuat Rima khawatir takut terjadi apa-apa.
"Abang ko pulang pagi, semalam kemana?" tanya Bundanya kentara sekali terlihat resah.
"Maaf Bun, semalam Lova nemenin Anna di Rumah Sakit." Kening Rima mengkerut mendengarnya. beliau tahu siapa Anna, gadis yang begitu lugu, sopan, santun dan sangat mandiri. Itu yang beliau dengar ketika anak bungsunya bercerita. Sudah beberapa kali beliau bertemu dengan Anna dan apa yang diceritakan Lova kepadanya hanya sedikit dari kelebihan yang Anna punya. Beliau sangat menyukainya.
"Inalillahi. Ada apa dengan Anna?" tanya Rima seraya menyeret Lova masuk ke dalam rumah.
"Hanya kecelakaan kecil Bun, gak ada yang serius." jawab Lova sedikit berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Teen Fiction"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_