Setalah insiden itu Dea memutuskan agar membolos saja daripada emosinya kembali memuncak begitu melihat wajah Rindu yang menyebalkan itu. Dea tahu bagaimana tabiat Rindu yang tidak mau mengalah dan selalu ingin dipandang hebat oleh banyak orang. Dea berdecis, dasar cewek yang sering cari perhatian saja. Dengan hanya bermodalkan body dan barang brended-nya ia berfikir paling iya saja di sekolah ini. Banyak pasang mata dari para lelaki yang memuja lekuk tubuhnya setiap Rindu berjalan bagai kucing yang memangsa makanannya. Dea bergidik ngeri, ia bukan iri dengan apa yang dimiliki Rindu yang banyak disukai para lelaki tapi Dea berfikir itu hanyalah pandangan nafsu dari para lelaki dan itu tidak berarti apapun menurut Dea.
"Kalau aja gak ada orang itu gue udah bejek-bejek si Rindu yang bibirnya kegatelan itu, bisanya cuma pamer body, gihibah sana sini berasa paling cantik aja." cerocos Dea tak hentinya sambil membuka loker dengan emosi.
"Gue yang ada di samping lo dari tadi bosen dengerin ocehan lo terus," sahut Lazuardi, punggungnya ia sandarkan di loker sebelah milik Dea.
"Lo gak tahu aja kalau dulu gue tuh pengen bejek-bejek tuh mulut si Rindu, giliran tadi ada kesempatan malah ada pahlawan kepagian yang gak di undang sama sekali. Heran sama si Lova yang selalu ikut campur urusan orang."
Lazuardi menghela nafas dengan pendeknya. "Lo sebenernya kesel sama Rindu apa Lova, sih?"
"Dua-duanya. Sialan memang mereka." bengis Dea menatap Lazuardi yang kini bersedekap.
"Taulah gue pusi-" nada suara Dea memelan begitu matanya menangkap sesuatu di dalam lokernya, tidak begitu membuatnya kaget tapi sedetik kemudian bibirnya terangkat membentuk senyuman.
"Nah, kan. Lo kenapa tiba-tiba senyum kaya gitu anjir? ngeri gue."
"Gue dapet ini dong," dengan mengangkat barang temuannya dan menunjukkan kepada Lazuardi. "Terus?" tanya Lazuardi dengan kernyitan di keningnya.
"Surat."
"Surat panggilan maksud lo?"
"Diiiihhhh,,, mana ada?"
"Ya kan gue gak tahu ogeb ih. Mana sini gue lihat." Lazuardi hendak merebut amplop itu namun gagal ketika kalah dengan tangan cekatan milik Dea.
"Rahasia dong. Pokoknya ini itu kaya secret admirer gitu loooh. Gak nyangka ternyata orang kaya gue itu punya penggemar rahasia." kata Dea dengan bangganya.
"Halaaahh, gitu aja bangga."
"Bilang aja lo sirik."
"Seorang Lazuradi sirik sama lo? MIMPI !"
Dea mendelik, "terserah."
Mengambil langkah lebar Dea berjalan lebih dulu di depan Lazuardi, meski Lazuardi merasa kesal tapi tak ayal ia pun mengikuti langkah Dea. Tidak tahu tujuannya kemana dan entah apa alasannya ikut membolos bersama Dea. Selama ia sekolah ia tidak pernah sekalipun membolos seperti ini bersama cewek pula.
Ternyata langkah Dea menuju salah satu gedung olahraga indoor, tampak sepi sekali mungkin hari ini tidak ada yang menggunakannya. Dea duduk di salah satu bangku yang terbuat dari besi. Mulai membuka amplop itu kembali ketika tadi sempat terhenti.
Lazuardi yang berada disamping hanya bisa mengamati dari setiap gerakan Dea termasuk ketika mata Dea menelusur setiap kata yang berada di kertas itu. Dea mulai membaca, sesekali tersenyum dan seperti itu hingga ia menganggukan kepalanya dan kembali melipat kertas itu dan memasukkannya kembali.
"Gue jadi penasaran sama isi surat itu."
"Kepo."
"Gue gak tahu siapa yang menciptakan kata kepo di negara berkembang ini, tapi gue cuma mau bilang sama dia; selamat lo telah membuat rakyat Indonesia begitu menyebalkan ketika menggunakan kata itu. "
Dea tertawa, mendengar ucapan dan melihat wajah Lazuardi yang nampak kesal sungguh membuat mood nya kembali membaik. Laki-laki ini kenapa selalu bisa membuatnya tertawa ketika kekesalannya itu malah menjadi bahan kelucuan untuk Dea.
"Gue gak tahu siapa yang udah rela menulis surat ini untuk gue. Dia tahu apa yang gue rasain dan tahu apa yang menjadi kesukaan gue dan selalu tahu bagaimana keseharian gue. Gue sempat penasaran dan ingin tahu siapa orangnya tapi gue fikir mungkin ini bukan waktunya buat tahu." Pandangan Dea menerawang, sesekali tersenyum ketika mengingat awal mula ia menerima surat itu.
"Tapi jika Tuhan mengizinkan gue buat ketemu sama orangnnya gue cuma mau bilang banyak terima kasih karena sadar atau enggak ketika hari gue buruk dan mendapatkan surat dari dia seketika mood gue jadi baik lagi."
"Hebat." Timpal Lazuardi.
Dea mengangguk membenarkan ucapan Lazuardi."Ya, meskipun nyali dia begitu kecil dengan tidak mencantumkan data dirinya tapi gue tahu setiap orang mempunyai caranya masing-masing meskipun menurut gue cara ini begitu kuno."
"Lo seneng?"
Dea mengangguk. "Isi surat itu selalu bisa bikin gue terkesan dengan kata-katanya."
"Kata apa yang sampai saat ini bikin lo terkesan dan selalu ingat dalam fikiran lo?"
"Jangan menyalahkan keadaan jika kamu merasa dipermainkan oleh dunia, karena keadaan tak akan berjalan tanpa adanya takdir." mulut Dea dengan luwesnya mengeluarkan setiap kata yang sudah berada di keluar kepalanya.
"Apa ada seseorang yang lo curigai?"
Dea diam, mengingat siapa saja yang pernah menjadi targernya. Awalnya ia sempat curiga dengan Gara ketika di suatu kesempatan pernah memergokinya seperti mengikutinya, namun ketika mendengar penjelasan Gara jika dirinya tengah menghindari guru yang mengejar dirinya karena membolos kecurigaan Dea tidak berarti apa-apa. Dan ia pun berfikir mana mungkin jika orang itu Gara. Kecuali emang jika lelaki itu ingin menikung adiknya sendiri.
"Gak ada." sambil menggeleng.
tiba-tiba suara kekehan terdengar oleh Dea. Menoleh dengan cepat lalu tanganya ia ulurkan dan menyentuh permukaan kening Lazuardi. "Lo masih sehat, kan?"
"Yakali enggak."
"Kaget gue tiba-tiba lo ketawa gitu, kan ngeri kalau lo kesurupan apalagi cuma ada gue di sini."
"Kalau iya gue kesurupan apa yang bakal lo lakuin?"
"Kaburlah."
Lazuardi mendengus. "Sialan!" Dea tertawa, matanya otomatis semakin tak terlihat. sungguh pemandangan ini membuat Lazuardi tak mengicep.
Hingga waktu terus berjalan membiarkan kedua manusia itu saling melempar canda dan membuat suasana menjadi hangat. Dea lupa akan kekesalannya dan Lazuardi membuat kesan berbeda selama ia bersekolah. Membolos.
"Gue baru tahu kalau lo sempat tinggal juga di Bali." awalnya Dea tidak menyangka jika Lazuardi juga ternyata pernah tinggal di tempat kelahirannya. Meski hanya satu tahun tapi dalam kurun waktu selama itu tidak bisa dikatakan singkat.
"Gue ikut nenek, waktu gue kelas 2 SMP."
"Apa yang lo dapatkan selama tinggal di Bali?"
"Toleransi yang tinggi. Gue rasa tinggal di Bali sangat nyaman meskipun masyarakat di sana berbeda keyakinan tapi gue rasa toleransi di sana sangat kuat dan gue suka, gue merasa gak ada tempat lain dengan masyarakat yang seperti mereka." Dea terkekeh mendengarnya, namun ia pun membenarkan ucapan Lazuardi. Karena apa yang Lazuardi rasakan bisa Dea rasakan juga.
"Gue lahir di Bali dan tumbuh di sana, ketika masuk kelas dua SMA akhirnya memutuskan buat pindah ke kota yang sangat berbeda sekali dengan Bali. Awalnya sulit beradaptasi tapi setelah berjalannya waktu akhirnya gue bisa."
Ingatan Lazuardi memutar setiap kenangannya ketika ia tinggal di sana, tak bisa memungkiri Bali menjadi tempat yang sangat berkesan dalam hidupnya. Banyak tempat ya ia kunjungi tapi Bali menjadi tempat yang sangat begitu istimewa setelah Yogyakarta tentunya, tempat kelahirannya. Banyak yang menjadi pelajaran dari tinggalnya ia di Bali, pengalaman yang tak bisa Lazuardi lupakan termasuk seseorang yang kini masih tinggal dalam fikirannya. Lazuardi tersenyum. Bola mata jernih, warna kulit kuning langsat yang dimilikinya, senyuman yang terpantri di bibirnya tak bisa keluar dalam ingatan Lazuardi meski sudah berlalu cukup lama.
To be continue

KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Genç Kurgu"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_