Bak seorang patung yang tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Lova mencoba mengingat kejadian apa yang terjadi sebelumnya sampai dia bisa merasakan hal yang begitu menyiksa. Mengembuskan napasnya berat, ia mengingat kejadian semalam yang berakhir dengan ia yang tertidur di kursi panjang ini.
Lova mengernyit saking terkejut, gerakan di bawah sana menimbulkan beberapa pertanyaan. Ia mencoba mengenyahkan pemikirannya itu karena kali ini bibirnya tertarik ke atas.
"Kapan terakhir kali gue liat lo tidur kaya gini?"
Lova mengelus puncak kepalanya membuat sang empu sedikit terganggu. Kembali mengingat kebiasaan mereka yang jarang sekali dilakukan, Lova sedikit meringis. Begitu banyak kenangan antara mereka tapi ia harus menelan pahitnya sebuah keadaan dimana ia harus membatasi semuanya.
"Suatu saat nanti, gue bakal kangen tempat ini, udaranya, pemandangannya, dan bahkan sentuhan lo di kepala gue ini Lova," ucapnya sambil terkekeh.
Mata Lova membulat sempurna, ia baru sadar apa yang Dea ucapkan tersirat penuh arti yang sudah Lova tunggu-tunggu jawabannya. "Jadi, lo setuju sama usulan gue?"
"Hmmm... menurut lo?" Dea membawa tangan Lova pada genggamannya.
Lova tersenyum lebar, akhirnya waktu yang ia tunggu-tunggu datang juga.
"Tapi..."
"Tapi apa?" Perasaan Lova sedikit terganggu.
"Gue rasa lo harus sedikit menunggu lagi."
"Kenapa? Kenapa gue harus menunggu ketika lo sendiri udah setuju?" Tanyanya dengan nada tak karuan.
Dea menghela napas kemudian tersenyum. "Nanti kita bicarain lagi, ya?" Dan Lova hanya bisa mengangguk.
"Elusin lagi dong kepala gue," kekeh Dea kembali membuat wajah Lova berbinar.
"Gak mau." Dengusnya pelan, Dea memberengut dan hal itu membuat Lova tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya walau hanya sebatas melihat wajah Dea.
"Asal lo peluk gue."
Tanpa menunggu waktu yang lama, Dea yang menjadikan paha Lova sebagai bantalan menjadikannya lebih leluasa dan sangat mudah untuk memeluk tubuh lelaki itu, tinggal membalikkan badan dan perlakuan Dea sukses membuat jantung Lova berdetak tak karuan.
Di atas tikar yang ujungnya sedikit diterpa angin sejuk. Mereka sempat menikmati bagaimana indahnya perjalanan kisah mereka yang mereka yakini tidak akan pernah bisa dilupakan sedetik barang pun.
"Gue gak bisa membayangkan, andai saja waktu itu kita gak ketemu." Lova menerawang jauh.
"Dengan tingkah lo yang bikin gue gemes lo harus bersyukur karena udah bikin gue jatuh cinta lagi dan lagi."
Sedetik kemudian ia mendaratkan kecupannya di dahi Dea. Jujur, ia rindu melihat senyuman Dea sebagai dirinya lah alasannya. Dea yang ia kenal bertingkah childish, berpura-pura bodoh di hadapan Lova hanya ingin membuat Lova tertawa bahagia. Lova sadar sekarang, bahwa mereka saling membutuhkan, saling membantu untuk mengisi hari-harinya agar lebih baik dan berwarna.
"Maafin gue, akhir-akhir ini sering buat lo kecewa," paraunya lemah, merutuki dirinya yang selalu membuat kesalahan terus menerus.
"Seribu enam puluh."
Mata Lova terbuka lebar, ia tidak menyangka apa yang ia gumamkan tadi ternyata mampu membuat gadis di pangkuannya kini terbangun dari tidurnya.
"Lo udah bangun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DeaLova
Fiksi Remaja"Cinta memang tidak tahu kapan ia datang, tapi cinta tahu kapan semestinya ia pergi." Dea. "Mencintaimu adalah keputusanku yang mutlak, dan menyakitimu ketidaksengajaan yang ku perbuat." Lova. _DeaLova_