13

438 16 0
                                    

Bagiku, rasa marah mungkin saja bisa dikontrol. Namun untuk kesedihan, rasanya air matapun tidak lagi menjadi peran utama.

~DeaLova~

***

Entah untuk keberapa kalinya Dea mengembuskan napas beratnya. Jika dipikirkan terus menerus yang ada kepala Dea serasa akan pecah saja. Dea memang ingin mengetahui siapa orang yang selalu memberikannya surat setiap dua kali dalam seminggu. Jika diingat-ingat kejadian itu bermula ketika awal masuk ajaran baru dan sampai detik ini pula Dea tidak mengetahui orangnya.

Pernah sekali Dea dengan sembunyi-sembunyi berdiri jauh dari lokernya, memperhatikan siapa saja orang yang menurutnya mencurigakan sebagai bakal calon yang patut untuk dicurigai oleh Dea. Namun sampai berjam-jam Dea menunggu, ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda orang tersebut, biasanya surat itu akan diterima oleh Dea pada hari senin dan juga kamis. Tapi pada saat itu Dea tidak menemukan titik terang sama sekali.

Lagi, Dea menutup pintu lokernya secara keras. Perasaannya campur aduk, apalagi mengingat rasa penasarannya kali ini. Mungkin selama ini Dea tidak memperdulikan surat itu, tapi semakin hari surat itu seolah mengisyaratkan sesuatu yang membuat Dea ingin mengetahui apa maksud dari setiap tulisan tersebut.

Jika keberanianku saat itu cukup kuat, akan kupastikan pertemuan itu terasa indah.

Aku terlanjur terbuai pada sorot matamu. Begitu indah membuat alunan cinta pada hatiku berirama begitu merdu. Ingin rasanya aku menciptakan kebersamaan, menjadikan aku dan kamu dalam satu ikatan.

Hingga aku teramat lama harus meyakinkan, hingga harus merelakan kenyataannya. Bahwa kamu angan yang tak pernah akan bisa aku jamah hatinya.

Kata demi kata terngiang jelas dalam ingatan, dugaan demi dugaan pula saling berebutan untuk meyakinkan Dea bahwa apa yang dipikirkan itu benar, namun semakin banyak Dea berspekulasi semakin rumit pula untuk Dea menebak.

"Apa gue sama dia pernah bertemu?"

Dea bertanya dalam hati. Keningnya semakin berkerut mengingat, dan demi apapun sampai saat ini Dea begitu banyak bertemu dengan orang lain sampai lupa siapa saja orang tersebut. Yang Dea yakini orang tersebut pasti ada dalam lingkungannya, karena mana mungkin ia selalu memberikannya surat jika orang tersebut bukan orang terdekat.

"Udah tahu otak gue minim. Kenapa harus bikin gue mati penasaran, sih?" Dengusnya sebal.

Dengan pikiran yang terus berkelana, tangannya menyimpan surat itu pada sakunya. Ia harus cepat-cepat pergi sebelum Bu Rena akan mencurigainya kenapa ia sangat lama untuk pergi ke toilet. Alasan ketika Dea menyadari bahwa buku paket pelajaran kali ini tertinggal dalam lokernya.

Brukkk...

Dea berjengit, suara keras itu cukup mengagetkan. Berputar badan untuk melihat ke sekeliling, matanya menyapu hingga terfokus pada pria yang tengah membenarkan letak tong sampah. Nampaknya pria itu juga sedang terburu-buru atau bahkan terlihat gelisah. Pria itu dengan tergesa-gesa kembali memasukan sampah yang sempat berserakan. Dea mengernyit, sambil mendekati.

Begitu menyadari ada kehadiran seseorang. Pria itu mendongakkan kepalanya, raut wajahnya terperangah juga terkejut melihat Dea yang sudah ada di depannya.

"Gara!"

Gara berdiri tegak. Napasnya terdengar memburu.

DeaLovaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang