15. Kucing Jalanan

620 44 1
                                    

Jika hanya hal kecil kita bisa bersama, kenapa mesti menunggu hal besar terjadi.

***
“Kak…” panggil Guan di depan kamar Viliex. Pria itu membuka pintunya, menampilkan tubuhnya yang setengah naked. Guan berdecak sebal melihat keadaan Viliex, ia menyerobot masuk secara paksa. Dan merebahkan tubuhnya pada kasur Viliex. Sang kakak tidak marah, ia membuka lemarinya dan mengambil kaos hitam panjang. Memasang di depan Guan yang sedari tadi memainkan ponselnya.

“Kakak tahu gak, Kak Elma pacaran sama si Jey—cowok yang waktu itu datang ke rumah kita?” Viliex mengambil topi adidasnya.

“Jey? Biarin aja, mungkin dia bisa jaga Elma lebih baik dari kita. Ayah juga keliatannya setuju aja.” Guan duduk dengan wajah terkejut, ia menurunkan kaki panjangnya. Membiarkan kakak prianya itu menatapnya dari balik pantulan cermin. Guan mengulum senyum tipisnya. Viliex menyemprotkan parfumnya.

“Mau kemana?”

“Cari angin,” sahut Viliex langsung meninggalkan Guan yang terbengong-bengong dengan sikap dingin pria itu. Ia kembali  merebahkan diri di kasur Viliex, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos itu. Tersenyum lebar. Mata sipitnya berkaca-kaca. Sedetik kemudian ia meletakkan tangannya di dada.

“Tuhan … biarkan keluarga ini kembali seperti dulu … aku rindu kehangatannya setelah ibu pergi. Ibu, Guan janji … akan buat keluarga ini sehangat seperti ada ibu dulu. Guan janji.”

***
Viliex memasukkan tangannya ke saku kantong celana trainingnya. Mengikuti kayuhan sepeda seorang gadis yang berada di depannya, tanpa dicurigai gadis itu. Terkadang ia berlari kecil agar bisa terus berada di belakangnya.

Sadar akan seseorang yang sedari tadi mengikutinya, Fellma terus mengayuh sepedanya mengelilingi komplek perumahannya. Malam seperti ini harusnya dia berada di kamar dan belajar bukannya berjalan-jalan dengan sepeda pemberian Viliex.

Tapi dengan alasan boring, Fellma akhirnya mengeluarkan sepedanya dari bagasi mobil. Dan keluar berkeliling kompleknya. Tapi karena seseorang yang ia curigai sebagai penculik itu membuatnya keluar dari area komplek dan mengayuh sepedanya menuju trotoar.

Viliex menggelengkan kepalanya, ketika Fellma mempercepat kayuhan sepedanya.

Pria dengan topi yang menutupi separuh wajahnya itu mendengus sebal. Ia mengambil ponselnya dan mengirimkan chat pada  gadis yang sudah jauh membawa sepedanya.

Viliex
Gue di belakang lo!

Merasakan getaran yang berasal dari ponselnya membuat Fellma berhenti mengayuh sepedanya. Fellma yang menerima pesan itu memutar sepedanya berbalik arah. Sosok berbaju hitam dengan training putih berleres hitam itu menyenderkan tubuhnya pada tiang lampu. Menanti sosok Fellma yang datang dengan sepedanya. Pria itu mengangkat sedikit topinya, menatap kesal pada Fellma yang hanya menunjukkan senyum lebarnya, seolah tidak berdosa dengan apa yang ia lakukan.

“Gue pikir lo penculik.” Belanya setelah Viliex berjalan kearahnya.
Menatap datar wajah Fellma.

“Kok bisa lo ngikutin gue? Lo ke komplek gue?” Viliex menaikkan satu alisnya tidak paham dengan ucapan  Fellma.

“Gue olahraga. Bukannya mau ikutin lo!” Pungkasnya membela diri, walau sebenarnya itu benar.

“Tapi gak keringetan tuh.” Selanya meneliti tubuh Viliex yang sangat bagus itu.

“Perlu gitu gue sampai basah?” tanyanya agak gemas dengan tingkah Fellma.

“Bilang aja kangen sama gue,” gadis dengan rambut setengah bergelombang itu terkekeh melihat Viliex mendecih.

“Kebanyakan ngayal.”

“Ngayal gak bayar kok. Ngayal ngemilikin lo pun gak ada larangannya.” Fellma menutup mulutnya, tertawa lepas. Viliex mendekat dan menjitak dahi gadis itu.

Namun sebelum Fellma mengaduh suara hewan berbulu yang berada di dekatnya berbunyi. Fellma dan Viliex menurunkan pandangannya  pada asal suara di bawah kaki mereka.
Meow~ meow~

Kucing belang tiga itu menatap kedua manusia itu seolah tengah mengisyaratkan kalau ia kini tengah lapar. Viliex tiba-tiba berjongkok. Fellma menatap tubuh Viliex yang tengah berjongkok itu, tangan besarnya itu mengelus lembut punggung kucing itu.

Tanpa sadar lengkungan senyum terbit di wajahnya, melihat Viliex mengangkat wajahnya. Menyuruh Fellma agar siap membawanya ke warung untuk memberi makan kucing liar yang kini berada di gendongan tangan Viliex.

Viliex menatap kucing yang kini tengah melahap makanannya. Nasi uduk yang dibelinya bersama Fellma kini hampir habis dilahap kucing itu. Sesekali kucing itu mengeong, kala Viliex ikut berjongkok dan mengelus punggungnya.

“Lo rawat gih! Kasian.” Tutur Viliex, Fellma cepat-cepat menolak dengan alasan kalau ayahnya alergi bulu kucing.

“Dia lebih suka lo deh.” Viliex mengangkat tubuh kucing itu.  Membawanya berjalan, meninggalkan Fellma yang masih melongo. Ia segera memutar sepedanya, mengejar Viliex yang asik mengelus kucing jalan itu. Ia memasuki komplek Fellma. Berhenti di depan sebuah mobil sport yang ia parkirkan di pinggir jalan tanpa izin.

“Jadi benar ngikutin tadi ya? Mana ada olahraga bawa mobil, ya kan?” Fellma tertawa lepas saat tahu Viliex diam tidak bersuara. Viliex masuk dan segera menutup pintu mobilnya melesat meninggalkan Fellma yang tersenyum lebar menyadari kalau dugaannya benar. Viliex mengikutinya. “Udah ketahuan masih aja jual mahal.”
***
“Astaga kucing ...” teriak Guan yang duduk di samping Elma. Sofa yang ia duduki menjadi ajang lompatannya karena menghindari hewan yang paling ia takuti. Elma mengambil  kucing itu dan menatap Viliex heran.

“Kucing siapa?” tanya Guan yang bersembunyi di balik sofa. Elma menggendong kucing itu dan mengelusnya.

“Dapat di jalan, ya gue bawa.” Viliex melepas topinya dan duduk bersandar di samping Elma yang diam.

“Jadi kalau ada kucing lagi yang kakak temuin, mau di tampung di sini? Ogah! Guankan takut kucing kak….” Sentaknya tak terima dengan keputusan Viliex yang sembarangan membawa kucing dari jalanan. Viliex dan Elma saling pandang dan terdiam menahan senyum, mendengar ucapan Guan.

Ketiga bersaudara itu berkumpul di depan tv. Hening. Guan berpindah duduk di dekat Viliex. Sedang Elma sudah melepas kucing itu, membiarkan hewan berbulu itu berjalan menuju tempat lain di rumahnya.

“Udah  lama kita gak ngumpul begini.” Tukas Guan, ia menatap kedua kakaknya yang diam. Angin apa yang tiba-tiba membuat ketiga bersaudara itu keluar dari persembunyiannya, dan duduk senyap di depan tv.

“Kira-kira setelah kematian ibu, kita hidup masing-masing di kamar. Tapi hari ini kita bertiga kumpul, Guan kangen suasana ini.” Lirihnya di akhir kalimat, matanya memanas kala Elma beranjak mendekati tubuhnya yang tinggi, menggenggam tangan pria muda itu. Guan menangis.

“Kak, Guan kangen ibu … ingat gak kalau ibu sering buatin kita kue, biar kita pada berkumpul.” Guan menyapu air matanya. Viliex menarik  kedua adiknya itu dan memeluknya seerat mungkin. Percuma jika mereka menangis, itu tidak akan membangkitkan ibunya yang sudah ada di dalam kubur. Kini mereka bertiga hanya bisa merasakan kenangan masa lalu bersama ibunya yang sudah pergi itu.

“Maafkan aku.” Ucap Elma melepas pelukan kedua saudaranya itu. Air matanya mengalir deras. “Karena aku ibu meninggal. Maaf!” Gadis itu menundukkan kepalanya.

“Kakak gak salah! Ini semua takdir. Kakak gak boleh mikir macem-macem.” Guan menghambur memeluk Elma yang sudah terduduk lemas.

Tanpa ketiga orang itu sadari, ada sepasang mata yang sudah buram karena air mata. Seluruh pertahanannya runtuh melihat anak-anaknya saling berpelukan. Terutama Elma yang mengalami banyak perubahan akhir-akhir ini. Melihat anak perempuannya mengingatkannya pada sesuatu yang disiapkan ibunya.

***
Semoga terhibur...

Love. EL









Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang