29. Alasan untuk Masa Lalu

509 32 0
                                    

Cukup menyadarkan diri. Kamu siapa bagi dia? Setulus apapun kamu memberi, nyatanya dia tetap menikammu. Perlahan.

***
Guan dan Viliex sudah menelpon puluhan kali ke nomor ponsel Elma. Tapi gadis itu seakan mengabaikannya. Kekhawatiran itu menjadi ketika jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Greo sudah meminta beberapa anak buah Aland untuk mencari Elma. Lewat nomor ponsel Elma yang masih aktif. Setidaknya melacak lokasi Elma saat ini adalah ide terbaiknya.

“Apa mungkin Kakak diculik?” tanya Guan pada Viliex yang sudah tak karuan itu. Rambutnya acakan macam rambut singa diterpa angin tornado.

Viliex menatap Guan. Menyiratkan sesuatu, “Kurasa ini mungkin. Telpon Paman Greo.” Ucap Viliex pada Guan.

Sedangkan Viliex tengah mencari nomor ponsel Jey. Siapa tahu pria itu mengetahui keberadaan Elma. Secara Jey punya hubungan special dengan adiknya.
***
“Greo, kau yakin dengan hal ini?” tanya Aland seolah benar-benar masih tak menyangka dengan apa yang terjadi sebenarnya. Pria tua itu menatap Aland dengan seksama, kembali menyodorkan sesuatu yang semakin membuat tuannya diam seribu bahasa.

“Dia mulai bermain api denganku? Dengan menyebarkan berita ini. Sialan!” Aland mengumpat, lalu memukul meja kerjanya.

“Begitulah tuan, tapi maafkan saya sebelumnya , untuk hasil percarian Elma kami masih belum bisa mendapatkannya. Tiba-tiba ponselnya mati.” Helaan napas kecewa menguar dari mulut tertutup kumis tipis itu. Aland berusaha tidak menunjukkan kekecewaannya, namun Greo tahu bagaimana hati pria itu sekarang.

Aland yang dulu memikirkan bagaimana kehormatannya di depan relasi bisnisnya kini hanya seperti sebuah map kosong tanpa beban. Ia tidak peduli lagi dengan kehormatan itu meski Nyonya Anindiya terus menentang apa yang ia titahkan pada Greo.

“Tuan, boleh saya menyarankan sesuatu?”

“Dengan senang hati, Greo.”

“Sebaiknya nona Elma dibawa keluar negri untuk pengobatannya, jika dalam waktu dekat ini kami bisa menemukannya.” Aland diam. Mulutnya terkatup, tiba-tiba tangannya menutupi wajahnya. Dan untuk pertama kali Greo melihat tuannya begitu rapuh.

“Anda sudah mengerahkan semuanya, tuan.”

“Bukan itu yang aku sesalkan Greo. Aku sudah gagal sepenuhnya menjaga anakku. Dan aku tidak menyangkal jika Tuhan menyuruhku untuk bertanggung jawab nanti. Tapi ada satu hal yang sulit untuk kusangkal.”

“Tuan bisa mengatakannya pada saya.”  Tawar Greo, pria itu sebisa mungkin menjaga sikapnya pada Aland yang sudah membuka tutupan tangannya itu. Menampakkan wajah lesu serta masa sembab tuannya.

“Elma tidak hilang Greo. Aku meminta seseorang menyembunyikannya saat ini. Terlalu rentan membiarkannya menerima cibiran masyarakat. Belum lagi masyarakat memandang Elma sebagai anak haram. Jelas sekali, itu akan jadi beban baginya. Aku tidak mau dia terbebani dengan hal itu … Maaf merepotkan kalian.” Ucap Aland membuat Greo bungkam. Tidak marah, justru ia merasa kali ini Tuannya melakukan hal yang benar.

     Menghindarkan Elma dari masalah ini. Kedengarannya seperti pengecut. Tapi, itu jalan terbaiknya.

“Lalu bagaimana dengan Viliex serta Guan. Apa saya harus memberitahukan pada mereka tentang hal ini? Mungkin mereka berpikir Elma diculik saat ini.”

“Biarkan mereka tahu. Cukup aku yang tahu di mana Elma sekarang.” Ucap Aland di angguki oleh Greo. Hingga ponselnya bergetar.

Satu panggilan dari Guan. Anak itu benar-benar mengkhawatirkan Kakaknya.

“Paman ada perkembangan?”

“Tuan, kamu tidak usah khawatir. Elma tengah bersama seseorang.”

“Jey?”

“Bukan. Kalian tidak usah khawatir. Nona aman.” Ucap Greo langsung mengakhiri panggilan anak itu.

“Besok kita temui Allandar.” Ucap Aland kembali diangguki oleh Greo.

Keesokan harinya, Aland untuk menemui Allandar. Pria dengan jas hitam itu menaiki mobil mewahnya, digiring beberapa bodyguard andalannya. Waktu di perjalanan hanya dihabiskan Aland dengan merenung. Tanpa peduli dengan apa yang ia lihat sepanjang jalan. Tanpa menunggu lama, mobil mereka memasuki sebuah real estat yang megah.

“Tuan, kita sudah sampai.” Ucap sang supir dibalas Aland dengan anggukan pelan. Pria itu menghembuskan napasnya, berdiri di depannya sebuah estat mewah lengkap dengan fasilitas kolam renang yang berada di samping rumahnya. Sepanjang menuju teras rumah, Aland disuguhi dengan berdirinya sebuah kolam lengkap dengan hiasan patung yunaninya. Senyum Aland terlihat mengembang melihat pintu besar itu terbuka dengan sendirinya.

“Aland?” ucap Allandar yang tiba-tiba keluar dari rumahnya dengan pakaian formalnya. Pria paruh baya itu menghampiri Aland yang terus menyunggingkan senyum.

“Aku merindukan sahabatku ini, makanya kesini.” Sahut Aland lalu merangkul pundak Allandar lalu menepuknya. Allandar menatap tangan sahabatnya itu. Ia mengulas senyum tipis. Tahu maksud Aland menemuinya.

“Bagaimana dengan kabar berita itu? Apa kau sudah menghentikannya?” tanya Allandar penasaran. Seolah tidak tahu siapa dalang dari semua kekacauan itu. Pria yang disuguhi pertanyaan itu tersenyum hambar, sehambar perasaannya terhadap sikap Allandar yang sok manis itu. Allandar menyuruh beberapa pelayannya untuk menyuguhi Aland makanan, namun ditolak pria tua itu.

“Aku sudah berusaha menghentikan pihak terkait itu, tapi mereka enggan. Ku pikir ada yang bermain api denganku, betulkan Allandar?" Tanya Aland menatap sorot mata Allandar yang kikuk. Pria itu membuang muka ke tangganya yang berdiri kokoh. Tak memperdulikan dengan senyuman Aland yang kini menguasai kendali dirinya.

“Dan aku tau, seseorang yang tengah bermain-main denganku itu.” Kepala Allandar berputar, menghadap sosok Aland. Tidak ada yang heran dengan wajah terkejut Allandar saat mendengar kata itu. Karena memang begitukan? Allandar sudah bermain api secara halus pada Aland. Dan bagi Aland keterkejutan Allandar bukanlah hal yang mengherankan jika mendengar ucapan to the pointnya itu.

“Kau mencoba mengelabuiku, Allandar?” Pria yang disebut namanya itu pias, dengan tangan yang terkepal karena emosi. Allandar sudah dapat menduga hal ini. Koneksi Aland cukup memeberinya ruang untuk tahu segala hal. Tentunya juga, tentang hal ini sekalipun. Allandar tersenyum pada Aland.

“Kau sudah tau rupanya.” Allandar mencemooh. Badannya yang semula bersandar pada kursi kini memilih beranjak mendekati Aland. Mengelilingi sofa tunggal Aland. Hingga pada belakang tubuh Aland.

Allandar merunduk dan berbisik, “Permainan baru di mulai Aland.” Dan dengan lancang pria itu membawa Aland pada permainannya. Permainan yang tak pernah ia pikirkan.

“Aku akan terus ingat, bagaimana kejinya kau dulu pada Jeida.”

“Bukankah aku sudah bertanggung jawab untuk kesalahan itu? Apa kau selama ini hanya berakting baik heh? Oh … kau memang patut diapresiasi.” Aland beranjak dan bertepuk tangan, membalikkan badannya pada Allandar yang berada di belakangnya. Keduanya sama-sama menatap tajam.

“Karena hal ini kau mau menghancurkan bisnisku? Berkedok sebuah persahabatan? Basi!” Aland berdecih.

“Aland, kau menikahi Anya di saat Jeida tengah depressi berat. Kau tau dia sakit dan dengan tega kau meninggalkannya. Dan kau tau  juga kalau aku-,”

“Kau menyukai Jeida kan? Aku merelakannya untukmu saat itu dan menikahi Anya.” Potong Aland cepat sebelum Allandar menyelesaikan kalimatnya. Allandar mendekat dan mencengkram kuat kerah Aland, tatapan penuh emosi itu tak menciutkan mental Aland.

“Karma tidak pernah jauh-jauh dari orang yang berbuat salah, Aland. See, anakmu sama seperti Jeida dulu.”  Allandar semakin menarik kerah Aland.

“Aku tahu. Aku salah.” Cicit Aland pelan.

“Salah sekali. Sampai diakhir hayatnya, kamu bahkan tidak menjenguknya. Keparat! Harusnya dulu-dulu aku balas dendam padamu. Sayang, aku harus berpura-pura baik dan menguras hartamu dulu untuk melancarkan hal ini.” Ucap Allandar, melepaskan pegangannya pada kerah lecek Aland. Pria itu menghela napas panjang.

“Aku bersyukur sekali saat ibumu meminta kau untuk memblacklist Elma dari keluarganya. Membuat gadis itu merasakan hal yang sama, seperti Jeida. Depresi. Ku rasa itu senjata ampuh untuk menghancurkanmu. Dan sekarang … aku belum puas untuk hal itu.”

Aland menatap nyalang pria di depannya. Ingin menerjang, namun terkendali kata-kata Allandar yang membuat hatinya teriris.

“Yang berharga saat ini harus dimusnahkan. Kurasa kabar Elma meninggal adalah kado terbaiknya. Apartemen Venus, lantai 14 nomor 134. Atas nama Nataliel Kim.”

***

🙄🙄🙄🙄


Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang