7. Rencana Ayah

821 62 2
                                    

Karena seorang ayah lebih nyaman menyimpan rasa sayangnya, lalu bertindak diam-diam. Hingga saatnya tiba, ia akan memelukmu lebih erat. Karena saat itu ia tahu, ia  takut kehilanganmu.

***
Aland membuka pintu bercat putih itu, sosok berjas putih  itu menyambutnya dengan ramah. Mempersilakan pria tua itu untuk duduk di sofa yang ia sediakan selain di meja kerjanya. Aland dengan senang hati duduk di sofa, disusul oleh dokter itu. Di tangannya beberapa berkas dengan sampul map merah ia sodorkan ke hadapan Aland.

“Bagaimana kabar anda Tuan?”  Aland tersenyum sembari mengangguk, jawaban kalau  ia baik-baik  saja, tanpa basa basi ia mengambil berkas itu dan membacanya.

“Sepertinya anda tidak ingin basa-basi ya Tuan.” Aland kembali melempar senyumnya, ia tidak suka basa basi, jika waktu yang ia miliki sedikit seperti ini apa mungkin baginya sempat melempar sebuah lelucon.

“Oke kita langsung ke topik pembicaraan saja.”  Aland menaruh map itu, ia akan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh dokter itu. Menyilangkan kakinya yang panjang itu sebagai wujud kalau ia ingin mendengar dengan posisi nyaman.

“Elma akan melakukan pengobatan setelah kenaikan kelasnya. Kami akan melakukan terapi evaluasi, terapi ini membantu  Elma untuk  membuka diri, dan menceritakan alasan kenapa ia bisa melukai dirinya.

"Kami harap Elma bisa sembuh dari penyakit  psikologis ini. Mengingat Elma sudah lama menderita penyakit ini. Yang kami takutkan jika Elma terlambat diobati , gangguan psikologis ini bisa berubah parah, seperti schizophrenia.”  Aland menyentuh dagunya, ia berpikir akan mengobati putrinya itu secepat mungkin, tapi dokter pribadinya menyuruh agar Elma diobati setelah kenaikan kelasnya.

“Kenapa tidak secepatnya kalian mengobati  anak saya?”

“Begini Tuan, sebentar lagi akan ada ulangan untuk kenaikan kelas. Kami tidak ingin Elma meninggalkan kewajibannya sebagai pelajar. Jika ulangan itu sudah selesai, Elma bisa berhenti dari sekolah itu dan anda bisa memberi alasan kepindahan Elma. Karena anda memang tidak ingin hal  ini diketahui orang lain bukan?”

“Saya bisa memberi alasan kalau Elma akan pindah ke  luar negri secepatnya.” Aland menurunkan kakinya dan beranjak hendak pergi.

“Tapi karena anda menginginkan hal ini, saya akan turuti demi kebaikan Elma.”

“Kesembuhan Elma bergantung pada dirinya sendiri, jika keinginan Elma ingin sembuh sangat besar, Tuhan pasti akan membantu kita semua. Tapi jika Elma sudah terlalu down dengan kondisinya, tidak memungkin untuk sembuh secara total. Elma bahkan bisa menderita penyakit serupa yang lebih parah.” Dokter itu mendekati tubuh tegap  Aland, menyentuh pundak pria itu dengan pelan. Ia tersenyum menegarkan pria itu agar mau bersabar menunggu keajaiban Tuhan untuk putrinya.

“Yang Elma butuhkan saat ini adalah orang yang mampu membuatnya nyaman, agar ia bisa membuka diri. Saya yakin, di sekolah Elma tidak memiliki teman yang dekat dengannya. Jika ada saya harap dia bisa memberi energy positif untuk diri Elma.”

Dokter dengan nametag Eza itu menyunggingkan senyumnya, sedetik kemudian pintu putih itu tertutup bersamaan dengan  Aland yang hilang. Dokter Eza mengambil berkas itu dan menatap potret gadis yang di dapat candid oleh anak buah Aland.

“Kamu gadis yang beruntung memiliki ayah seperti Tuan Aland. Saya gak tahu gimana Tuhan bertindak untuk kamu.”

Setelah mengunjungi dokter Eza, barulah Aland menghadiri acara lain di sebuah gedung. Mobilnya berhenti di area parkiran. Menunggu mobil jemputan Viliex dan Guan datang. Dua putranya harus ikut acara ini.  Tak berapa lama, sedan mewah berhenti di depan mobilnya. Viliex dan Guan tampak datar-datar saja keluar dari mobil. Menatap ayahnya yang menyunggingkan senyum lebar.

Mereka bertiga memasuki gedung, beberapa petugas mengantarkan mereka ke tempat acara diselenggarakan. Guan dan Viliex sama-sama diam, mengekori ayah mereka kemanapun dia singgah, sekedar bertukar sapa dengan kolega bisnisnya.

“Anak-anak anda sangat tampan tuan … mungkin kita bisa menjodohkan anak kita nanti.” Aland terkekeh mendengar seorang relasi bisnisnya menawarkan hal itu padanya.

Sebenarnya bisa aja ayah dari Viliex itu mengiyakan, tapi ia tidak ingin mereka terkekang dengan kehendaknya saat ini. Ia ingin Viliex dan Guan menjadi apa yang mereka inginkan, termasuk soal pasangan mereka nanti.

“Kalau masalah itu saya tidak mengurusinya, saya serahkan masalah itu pada kedua anak saya ini.” Aland menepuk pundak Guan yang lebih tinggi darinya, di samping pria itu Viliex dengan wajah dinginnya. Sesekali hatinya mencelos melihat beberapa gadis dari anak orang ternama yang hadir di acara itu menyapanya ramah. Guan dengan ramahnya malah menyahutnya menggantikan Viliex yang diam saja sejak kepergian mereka ke acara itu.

“Kenapa kamu diam?” Aland menyuarakan keheranan melihat sikap dingin Viliex yang membuat beberapa wajah anak gadis di sana cemberut.

“Cuma pusing aja.” Sahutnya sembarangan,  Guan menatap Viliex sebentar lalu memegang tangan sang kakak pelan. Viliex menoleh melihat tangan Guan, lalu beralih ke wajah pria itu. Guan mengisyaratkan agar Viliex pergi dari tempat itu.

“Yah, kayaknya Kak Vi sakit deh.” Aland sedikit khawatir mendengar hal itu, ia menyentuh bahu tegap Viliex.

“Kamu pulang aja, Guan kamu temenin ayah temuin sahabat ayah.” Ucapnya setelah menyampaikan itu Aland menarik Guan pergi dari situ, menghampiri salah satu pria paruh baya yang tengah meminum anggurnya.

Aland dengan cepat mengulurkan tangannya, disambut antusias oleh pria itu. Begitu juga Guan yang melakukan hal sama. Ia menyunggingkan senyum manisnya pada pria itu.

“Sendirian ke sini?” tanya Aland sambil menepuk pundaknya, keduanya menjauh meninggalkan Guan yang tertinggal sendiri sekarang. Ia melangkah menuju meja makanan. Mengambil satu piring kecil, dan mengisinya dengan sebuah cake yang sudah terpotong.

Pria dengan tuxedonya itu mengedarkan pandangannya mencari sofa yang bisa ia bawa untuk duduk. Kaki panjangnya itu kini terasa pegal karena terlalu lama berdiri mendengarkan perbincangan ayahnya yang tak ia pahami. Guan menghampiri sebuah sofa panjang yang muat tiga orang  di sudut ruangan mewah itu. Jauh dari tempat duduknya, Guan melihat ayahnya tengah berbincang dengan pria itu.

“Mana anakmu heh? Bukannya kau punya 3 anak!” Pria itu mengajak Aland menuju pojokan ruangan, membuat mereka semakin nyaman berbincang masalah mereka ataupun sekedar melempar candaan yang sangat jarang mereka lakukan pada lawan bisnisnya. Jika bukan sahabat mungkin Aland akan meninggalkan pria itu dalam hitungan waktu 1 menit.

“Aku bawa dua saja, kau taukan  Elma masih aku sembunyikan statusnya.” Pria itu menggelengkan kepalanya bingung dengan jalan pikiran sahabatnya yang sudah lama ia kenal.

Aland menyenderkan tubuhnya di dinding beton itu, mengarahkan matanya pada Guan yang tengah duduk  menikmati makanannya.

“Elma belum sembuh. Dan aku sangat berterima kasih pada Eza. Dia anak yang sangat baik juga cerdas.”

“Kau berlebihan, itu karena Eza sudah menganggap Elma sebagai adiknya, meski Elma baru sekali bertemu Eza.” Aland mengiyakan ucapan sahabatnya itu, ia menyeruput minuman di tangannya.

“Lalu bagaimana dengan si anakmu yang sangat tampan itu? Aku harap mereka bisa bertemu nanti, atau  berjodoh nantinya. Hahaha.” Celetuk Aland membuat raut wajah pria di sampingnya itu mengulum senyum tipis. Aland kembali menatap Guan dari kejauhan.

“Sepertinya aku harus  menemui anakku itu, dia terlihat sudah bosan. Sampai jumpa lagi.” Aland menyalami tangan pria itu, pergi menemui Guan yang tengah menopang dagunya dengan tangan.

“Bosan? Mau balik?” Aland duduk di samping Guan yang mengerucutkan bibirnya mendengar pertanyaan ayahnya.

“Ayah bertanya seolah aku anak kecil yang lagi bosan menunggu.”

“Kamu memang anak kecil di keluarga kita bukan?” Guan memanyunkan bibirnya kesal.

“Kalau aku anak kecil, lalu ayah menganggap  Kak El apa?” Aland terdiam, Hatinya terasa dipelintir oleh Guan. Anak kecil ini membuatnya jadi seperti tersangka sekarang.

***

Nyicil aku tuh😆.
Semoga suka.

Love. EL









Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang