27. Dalangnya

495 29 0
                                    

Tekanan adalah musuhnya jiwa. Semakin dipaksakan untuk terlihat baik-baik saja, semakin merapuhkan jiwa.

***

Viliex melajukan mobilnya di atas rata-rata, tak peduli dengan klakson dari pengendara lain yang juga tengah berkendara. Pikirannya cuma satu, sampai tepat waktu dalam keadaan selamat. Elma lebih penting sekarang dari apapun, bahkan Fellma saat ini berada di sampingnya, mungkin ia bisa melupakan sesaat bagaimana ekspresi ketakutan Fellma.

Setelah pergi ke kafe bersama Fellma, untuk menghabiskan waktu belajar berdua sekalian modus, Viliex yang baru beberapa menit duduk manis langsung mendapat telpon dari Guan. Ia tak peduli lagi dengan berapa uang yang ia keluarkan tadi saat sang pelayan meneriaki mereka yang pergi begitu saja.

“Viliex … lo harus tenang ….” Fellma melirik angka parameter yang tertera. Matanya membulat melihat angkanya yang hampir menunjukkan 100 km/jam.

Fellma mengeratkan pegangannya pada tali sealbelt, “Viliex … gue takut ….” Fellma berteriak sambil menahan air matanya kala mobil Viliex dengan lihainya menyalib beberapa pengendara. Namun bagi Fellma itu bukanlah hal yang patut disanjung, hal itu sama saja menyeret Fellma ke jurang kematian.

Viliex yang mendengar hal itu mengerem mendadak, kepalanya menoleh pada Fellma yang memeluk tubuhnya karena takut.

“Maaf, gue terlalu takut terjadi sesuatu dengan Elma.”

“Seharusnya lo berpikir kalau sekarang nyawa lo dan gue juga penting.” Viliex mengangguk dan kembali menjalankan mobilnya setelah mendapatkan suara protes dari pengendara lain di belakangnya.

Sesampainya di rumah, Viliex mendapati Guan dan Elma duduk bersisian.

Guan menoleh tiba-tiba, menatap pada Fellma yang datang bersama Viliex. Wajahnya langsung menghakimi sang kakak. Terkejut juga dengan kehadiran Fellma yang kikuk.

“Dia sudah tau semuanya.” Fellma mengulas senyum kakunya. Guan menghela napas berat, menatap sinis Fellma sebentar.

Fellma ikut duduk di seberang sofa Guan dan Elma. Tiba-tiba dari arah depan, Greo datang tiba-tiba dengan wajah piasnya, di tangannya sebuah ponsel yang masih menyala. Nafas pria berjas putih itu tersengal-sengal seperti habis berlari.
Viliex dan Fellma menatap bingung.

“Kenapa?” tanya Viliex penasaran dengan apa yang terjadi. Sedetik kemudian Greo menyodorkan ponselnya itu, dan terpampanglah apa yang membuatnya jadi seperti itu.
Viliex menatap nanar berita yang belum sepenuhnya ia baca itu.

Fellma menatap Viliex yang tertunduk lesu. Tangan besarnya mengepal kuat, menandakan emosinya kini tengah merangkak naik ke ubun-ubunnya.

Pria itu mengangkat wajahnya pada Elma, “Kamu baik-baik aja kan?” tanya Viliex khawatir. Jelas, Elma tidak baik-baik saja saat ini. Ayahnya. Ia khawatir dengan ayahnya. Perusahaan yang ayahnya rintis bisa hancur hanya karena berita dirinya. Elma meremas tangannya, buku jarinya memutih, tanpa tahu kukunya mulai mengikis kulitnya. Terkoyak.

“Maaf, aku merepotkan kalian lagi.”

Ketiga orang itu sontak mengarahkan tatapan pada Elma. Pelik. Iya, siapa yang bisa menyangkal berita ini akan menjadi boomerang tersendiri bagi Elma. Rasa bersalah menjalar ke hatinya, menumbuhkan sebuah perasaan tak berguna! Pembuat masalah. Pembawa sial. Dewi batinnya berteriak dengan umpatan itu.

“Elma, jangan berpikir kamu penyebab semua ini.” Ucap Viliex geram.

“Tapi itu kenyataannya ak—”

“Pembawa masalah? Tidak berguna? Kamu berpikir seperti itukan sekarang?! Enyahkan! Kita bisa atasi ini, tenang El.” Viliex emosi, tangannya terkepal kuat. Tubuhnya sudah berdiri, menghakimi adiknya. Greo menarik bahu itu, agar duduk lagi.

“Viliex … lo harus tenang. Jangan emosi.” Pinta Fellma, menarik lengan Viliex. Mengelus pundak pria itu. Wajah ketat Viliex perlahan kendor. Matanya mengarah pada tangan Elma yang memerah. Ia menghela napas, lalu berdiri dan menarik adiknya. Ke kamar. Mungkin berbicara berdua bisa membuat adiknya mengerti.

Elma menyembunyikan tangannya. “Mana tangannya.” Pinta Viliex dingin. Elma merunduk. Duduk di kasurnya.

Viliex menarik tangan Elma secara paksa. Menatap nanar adiknya yang kini menangis. Takut karena kemarahannya, mungkin.

“Maaf membentak tadi.”

“Kakak benar. Aku memikirkan itu tadi. Rasanya sia-sia terlahir seperti ini. Mungkin mengunjungi ibu adalah ide bagus.” Senyumnya dipaksakan. Viliex menyentil jidat Elma.

“Berpikir seperti itu lagi, Kakak gak segan cubit kamu.”

“Kalau itu bisa bikin kakak lega, kenapa enggak?” kekehnya, lolos begitu saja. Viliex berjongkok, menarik wajah Elma, mengelusnya. “Jangan nangis, Kakak dan yang lain gak akan diam aja.” Telunjuk Viliex menghapus satu tetesan air mata Elma.

“Makasih.”

***

“Aku sudah bilang padamu, bawa dia ke luar negri secepatnya, saingan bisnis kita itu banyak, Aland! Kau harusnya berpikir sebelum bertindak untuk mengoperasi gadis sialan itu di sini!” Nyonya besar Anindiya hanya menggerutu sambil berjalan mondar mandir, sesekali tangannya menjambak kepalanya sendiri. Tak tahu harus berbuat apa setelah berita tentang Elma terkuak di media masa.

Sedangkan pria yang di kabarkan itu duduk di  sofanya dengan wajah kusut, ia mengusap pelan wajahnya yang berkeringat karena terlalu keras berpikir. Sekali lagi, Anindiya menekankan pada Aland.

“Setelah operasi, bawa Elma ke Jerman. Kita sembuhkan dia di sana, Greo yang akan mengurus tentang surat kabar itu. Setidaknya uang bisa menyumpal mulut mereka agar tidak berkoar-koar.” Ucapnya penuh emosi.

Aland dan ibunya yang saling berpikir, tapi Aland tidak berpikir tentang bagaimana ia bisa membawa anaknya itu ke luar negri, tapi bagaimana Elma mengatasi pikirannya sendiri sekarang. Tentu saja gadis itu, stress sekarang.

“Lebih baik dia mati daripada jadi beban.” Tukas Anindiya memandang Aland yang melotot terkejut. Ada raut kesal yang kentara dari wajah Aland, ia menggerutu mendengar hal itu. Tapi sebelum pria itu mengungkapkan ketidak terimaannya, telponnya bordering. Dari Greo.

“Tuan, dalangnya sudah diketahui.”

“Siapa?”

“Saya dalam perjalanan ke kantor.” Setelah mengiyakan ucapan Greo. Anindiya memilih pergi. Tanpa pamit pada sosok Aland. Pria itu memijit pelipisnya.

“Cobaan apalagi ini.” Batinnya.

Setengah kemudian, pintu terbuka. Sosok Greo datang dengan senyum dipaksakan. Pria itu menarik kursi di depan Aland. Rahangnya mengetat. Siap untuk menceritakan informasi yang ia dapat.

-Satu Jam sebelumnya-

Membungkam media masa dengan segala kekuasaan, bukanlah hal yang mudah. Penawaran yang Greo berikan pada pihak surat kabar itu sudah mencapai angka fantastis, tapi pihak media malah semakin menegaskan kalau mereka tidak ingin menutupi fakta yang sebenarnya terjadi dalam keluarga tuannya itu.

Greo beberapa kali memohon agar pihak media itu mencabut beritanya secara meluas, tapi tetap saja mereka enggan. Greo yakin ada  yang tidak beres dengan pihak media ini. Pria tua itu yakin ada yang membeberkan ini semua. Pasalnya rahasia ini aman-aman saja, tidak pernah diketahui siapapun, kecuali mereka yang memang dipercayakan. Greo semakin yakin kalau para staff tinggi yang berada di situ menghindarinya dan malah menyogohkan para editor berita yang tak tahu apa-apa.

Greo rasanya ingin menuntut jurnalis yang dapat berita itu, namun apa. Nasi sudah jadi bubur, berita dari jurnalis itu sebuah fakta terselubung yang berselimut rapi lalu tiba-tiba terkuak di hadapan masyarakat dalam hitungan detik.

“Maaf.” Ucap pria yang berdiri di hadapan Greo dengan setelan pakaian kemeja putihnya. Kata itu sungguh menjadi beban berat bagi Greo untuk melangkah pulang dari kantor berita itu. Berharap saja sepulang dari tempat ini ia tidak mendapat semburan pedas Nyonya Anindiya.

“Pak.” Ucap seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri Greo. Pria tua itu sudah berada di dekat mobilnya dan hampir masuk namun ditahan oleh kehadiran orang ini. Dari pakaiannya, Greo dapat menebak ia termasuk seorang jurnalis. Terlihat dari tanda pengenal yang mengalung manis di lehernya.

“Saya mau memberitahu anda tentang sesuatu, mungkin ini hal penting bagi anda.” Potongnya menyeret Greo menuju tempat sunyi di belakang parkiran itu. Sebuah tempat penuh pohon menjulang dengan semak yang cukup lebat di sekelilingnya.

“Sebelum berita ini tersebar, ada seorang pria yang mengirimkan foto putri Pak Aland ke email perusahaan. Berinisial ‘A’, saya tidak menuduh, tapi hanya Pak Allandar yang dekat dengan Aland selama ini. Lagi pula, bisnis besar seperti Pak Aland rasanya tak kenal dengan namanya sahabat. Semuanya berbulu domba.”

“Apa kamu bisa mengambilkan foto email itu?”

“Saya usahakan. Anda tunggu di sini saja.” Pria itu berlari meninggalkan Greo dengan sejuta spekulasi.

“Allandar? Dia mengkhianati Tuan?” Gumam pria itu. 15 menit berlalu, sosok itu muncul dengan wajah pucat pasi. Dia mengulurkan satu lembar fotocopian hitam putih pada Greo.

“Informasimu sangat membantu, terima kasih. Kau mengharapkan sesuatu dari informasi ini?” tanya Greo to the point. Namun orang itu menggeleng sambil menepuk pundak Greo seraya pergi. Greo harap orang itu tidak mengada-ngada. Dan sekarang yang harus ia lakukan adalah menyelidiki siapa orang terdekat Aland yang berani mengkhianti Tuannya.

***

“Inisial ‘A’?” Gumam Aland, lalu menarik ponselnya di jas. Memotret copian itu dan langsung mengirimnya ke seseorang. Mungkin dia perlu mencek siapa yang keparat yang berani membeberkan rahasianya.

“Allandar? Kenapa orang itu yakin kalau dia dalangnya?” tanya Aland pada Greo yang selesai bercerita. Greo menghela napas panjang. Lalu menggeleng bingung.

****

Huhu 😁😁😁



Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang