34. Halusinasi

511 36 0
                                    


Karena manusia berbeda-beda. Kekuatannya menghadapi masalah. Kesabarannya menghadapi ujian. Perbedaan itu menjadi pelajaran bagi kamu yang mau menelaah, bukan menghujat.

***
Elma perlahan mengerjap, menyesuaikan cahaya yang memasuki retina matanya. Tubuhnya terasa nyeri ketika bergerak sedikit untuk menggeser posisinya. Belum lagi jarum infusnya yang menyiksa urat nadinya. Elma menatap sekelilingnya. Dan menemukan sosok-sosok yang tertidur pulas di ruangannya.

Jey, dan Guan tidur di sofa panjang dekat pintu. Viliex dan Nata tidur lantai beralaskan karpet kecil yang entah milik siapa. Keduanya meringkuk menahan dinginnya malam. Seulas senyum mengembang di wajah Elma.

Elma memperhatikan keempat pria itu dari ranjangnya, melihat wajah-wajah babak belur mereka membuat perasaan Elma terenyuh. Selintas kejadian di mana ia diculik oleh orang-orang jahat membuatnya bergidik ngeri mengingatnya. Ia masih ingat bagaimana mereka memukulkan besi panjang itu pada tubuhnya yang tergantung di sebuah tiang. Rasa sakit itu hampir membuatnya berpikir kalau ia lebih baik mati saat itu daripada harus menahan sakit luar biasa dari pukulan itu.

Kepalanya tiba-tiba berdenyut mengingat kejadian itu. Tangannya yang terpasang infus itu memegangi sisi kepalanya dengan suara kesakitan yang ia tahan. Agar keempat orang itu tidak terganggu. Elma menggigit bibirnya menahan tangis. Kepalanya terasa dicengkram mengingat kejadian yang ia alami tadi.

Elma mengedarkan matanya menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Terlalu dini hari ia bangun di saat jiwa-jiwa yang lain masih berkeliaran di alam mimpi. Kepalanya semakin cenat-cenut, bersamaan dengan cairan kental keluar dari hidungnya.

“Sekarang Tuhan menyuruh darah itu keluar sendiri tanpa pisau seperti yang ku lakukan dulu.”  Batin Elma, terus mencengkram kuat kepalanya. Bayang-bayang tawa pria yang memukuli terasa berputar cepat. Elma menarik selang infus yang menusuk urat nadinya. Mengendap untuk keluar ruangan.

Gadis itu keluar perlahan menuju lorong rumah sakit yang sepi. Elma sesekali menyentuh dinding beton itu untuk menahan tubuhnya untuk terus berjalan. Bayangan hitam yang hadir di depan matanya membuat Elma memicing. Sedetik kemudian, mereka semakin banyak. Tertawa melihat Elma kesakitan, tubuhnya mendadak kaku. Kepalanya semakin berputar-putar, mencengkram sampai rasanya ia ingin membenturkan.

“Ku mohon jangan lukai aku!” pinta Elma mengerut, memeluk lututnya di ujung koridor, menengadah memandang bayangan hitam yang terus menertawainya. Bayangan itu terus berputar-putar membuat Elma mencengkram kedua sisi kepalanya. Menangis sejadi-jadinya. Kakinya yang semula ditekuk kini menendang-nendang bayangan hitam itu. Bunyi tawa itu memekakkan bagi Elma.

“Jangan! Jangan bunuh aku! Jangan!” ucapnya mendongak dengan mata melotot, bayangan hitam itu mendekati wajahnya, tertawa nyaring. Nyaris membuat Elma tuli saking nyaringnya. Elma menutup telinganya. Menggeleng-geleng sambil terus menendang tak karuan.

Sebuah tangan menepuk pundaknya. Elma menoleh, berteriak. “Jangan bunuh aku! Jangan! Ku mohon.” Pintanya bergeser untuk menjauh.

“El ini gue, Jey!” Jey mendekat, memegang pundak Elma yang bergetar. Matanya mengedip beberapa kali, menyadarkan diri. Elma melompat ke pelukan Jey secepatnya, lalu menunjuk ke belakang tubuhnya. “Ada orang! Dia ingin membunuhku.” Jey terkejut

“Ada yang sakit?” tanyanya pelan, Elma yang mengangguk. “Kepalaku sakit … Jey, usir mereka! Mereka ingin membunuhku!” Elma sekali lagi menunjuk ke belakang. Jey menatap Elma khawatir. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Tidak ada apapun kecuali mereka berdua.

“El, gak ada orang.” Elma menoleh, terkejut. Tidak ada orang di belakangnya. Cepat-cepat ia berdiri meski sempoyongan. Menatap ke kiri dan ke kanan. Lalu beralih pada Jey yang bingung. “Aku liat mereka Jey! Aku serius!” Elma frustasi, ia memegangi kepalanya yang berdenyut hebat.

“Kita ke kamar saja.” Ucap Jey merangkul Elma, membawanya ke kasur lagi. Jey dengan telaten membersihkan noda darah itu, dan mengambilkan obat Elma di atas nakasnya. Mendudukkan gadis itu dengan memegang sisi belakangnya. Elma meminum obatnya.

“Makasih.”

“Kenapa El?” tanya Viliex yang baru datang dari toilet. Terkejut dengan Elma yang berdarah-darah. Viliex meneliti Elma, membuat gadis itu tersenyum rapat. Memaklumi ke khawatiran kakaknya. Viliex  menarik napas panjang, lalu meminta penjelasan dari Jey. Tapi suara dingin Nata memotongnya lebih dulu. “Di sini tidak ada siapa-siapa El.”

Jey dan Elma menatap Nata yang sudah berdiri dari tempat ia berbaring. Menyisakan Guan yang masih tertidur. Gadis itu tertunduk.

“Aku beneran liat mereka.” Cicit Elma. Nata, dan Viliex saling berpandangan, tidak mengerti dengan maksud ‘mereka’. Jey menatap dua pria itu, meminta untuk diam dan membiarkan Elma beristirahat lagi. Gadis itu mengiyakan, lalu berbaring kembali. Obatnya segera bekerja, membuat Elma tertidur setelah 15 menit berlalu.

Jey mendekati Nata dan Viliex tengah duduk di kursi tunggu.

“Sepertinya Elma berhalusinasi. Dia melihat penjahat itu.” Viliex mendongak, Nata mendesis. Keduanya punya cara menyalurkan kekesalan mereka, seperti berdiri lalu memukul tembok. Viliex menyapu rambutnya dengan jemarinya, berantakkan.

“Dia menangis di lorong tadi.” Ucap Jey lagi, duduk di kursi. Viliex menyandar pada tembok. Kali ini urusannya bukan hanya dokter spesialis lagi, tapi psikiater. Apa tujuan Allandar menghancurkan Elma dengan cara begini?

“Aku harus menemui ayah, sekarang. Kalian jaga Elma.” Ucap Viliex, merogoh sakunya mencari kunci. Sadar kunci ada di tangan Guan, Nata melempar kunci mobilnya.

“Hati-hati.” Katanya pelan, kembali masuk ke kamar Elma. Memandang kakak beradik yang tengah pulas tertidur itu. Nata tersenyum tipis, “Dia sama sekali tidak mendengar percakapan kami kan?” gumam Nata mulai merenggangkan tubuhnya di sofa. Jey masuk, ikut Nata.

“Gimana kalau Elma beneran berhalusinasi?” gumam Jey menautkan jemarinya. Nata menundukkan pandangan  pada Jey yang menopang tubuhnya di paha.

“Jangan nethink dulu.”

“Gue gak nethink. Tapi yang gue saksiin tadi emang keliatan Elma lihat sesuatu. Belum lagi Elma mengalami tekanan selama ini. Berpotensi untuk jadi skinzofrenia.” Nata memukul lengan Jey.

“Kenapa kamu mikir kayak begitu sih? Seharusnya bisa berpikir positif dong saat ini.” Nata mengamati pergelangan tangannya. Beralih ke kaki Jey. Helaan napas berat Nata membuat Jey menoleh ke arahnya, “Kenapa?”

“Terlalu banyak kata ‘kenapa’ dari semua kejadian ini. Kenapa ada orang yang terlalu ambisius. Tapi menghalalkan cara yang salah. Contohnya, memanfaatkan keadaaan Elma seperti ini. Terlalu pengecut!”

“Semua salah ayah gue.” Jey melemah, sadar jika Nata baru saja menombak ulu hatinya. Meremasnya hingga hancur, Jey sadar keberadaannya membuat Elma terancam.

“Bukan begitu, aku gak menyalahkan seperti yang kamu pikirkan. Ayah kamu—dia  pasti punya tujuan lain selain karena tidak merestui kalian.” Nata menatap Jey yang menaikkan alisnya.

“Apa ayah kamu punya dendam?” Nata memajukan tubuhnya. Jey tampak berpikir, lalu menggeleng bingung.

***

“Jeida sama seperti Elma?” Viliex menaikkan oktaf suaranya. Tangannya terkepal di atas meja kerja ayahnya. Aland memijit pelipisnya.

“Sejak saat itu ayah memang tak berkomunikasi lagi dengan perempuan itu. Sampai akhirnya dia meninggal. Allandar menyalahkan ayah, karena aku meninggalkan Jeida demi menikahi Anya—ibu kalian.” Viliex tak habis pikir dengan alasan Allandar ingin menghancurkan ayahnya. Bukan hanya karena ingin merusak reputasi ayahnya di kalangan pembisnis lain. Tapi merusak kebahagiaan ayahnya. Dan Elma adiknya, menjadi umpan.

Ditambah saat ini Jey menjalin hubungan dengan adiknya. Viliex geram sendiri memikirkannya. “Viliex akan minta Elma memutuskan hubungannya.” Aland memandangnya terkejut.

“Bukan itu jalan utamanya. Justru karena Jey, Elma lebih semangat untuk berhenti dari kebiasaannya.”

“Tapi dia salah satu penyebabnya.”

“Pikirkan bagaimana Elma jika tanpa pria itu, Vi. Seperti kamu tanpa Fellma.”

Soal Fellma, Viliex tidak mendapatinya hari ini. Gadis itu menghilang tiba-tiba setelah dijemput oleh Wenda untuk pulang. Ia bahkan tak menghubungi Viliex sama sekali.

“Ayah punya satu cara.”

“Apa?”

“Kita pancing dia.”

***


Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang