3. Ketakutan Tersendiri

1K 73 0
                                    

Kesalahanku, jika menempatkan rasa sakit ini sebagai kelegaan sesaat.

                      ***

Kadang Elma merasa bodoh dengan apa yang ia lakukan, merenung dalam diam tentang siksaan Tuhan pada dirinya yang tidak berkehabisan. Atau siksaan ini ciptaan dirinya sendiri yang mulai  bosan untuk hidup. Ia takut, jika  semua orang tau tentang penyakitnya sekarang. Bukan hal mudah menerima orang dengan gangguan kejiwaan macam Elma. Sudah pasti cap anak kurang waras tersemat di belakang namanya. Bahkan sebelum orang lain tau, dia sudah diberi gelar ‘aneh’ oleh temannya sendiri.

Takut dengan pandangan orang lain. Hingga akhirnya ia kesulitan sendiri untuk berinteraksi pada orang lain. Elma merasa ia memang sangat tidak normal jika mengatakan tentang ketakutannya pada dunia luas ini.

Wajar seorang manusia memiliki rasa takut. Tapi takut untuk  mendapat cap jelek dipandangan masyarakat adalah momok menakutkan bagi Elma.

Ia takut dengan cibiran orang. Sudah cukup ia tersiksa dengan sikap teman-temannya di kelas. Mereka acuh karena Elma acuh. Dan itu wajar.

Elma memeluk lututnya, menenggelamkan jiwanya dalam kesepian yang ia buat. Sudah jadi sarapan sehari-harinya menikmati sepi ini. Dalam kamar yang sumpek. Ia memutar tubuhnya menghadap nakas kecoklatan di samping kasur king sizenya yang urakan.

“Kak ….” Suara ketukan pintu dan panggilan seseorang yang tak  lain adalah Guan membuat Elma tak jadi membuka laci nakasnya.

Dengan gontai ia menuju pintu dan membukanya. Senyum itu tidak pernah berubah dari  wajah Guan, pria itu tidak menyerah sampai sekarang untuk menyuruhnya makan. Nampan itu berisi lauk pauk kesukaannya, dulu. Elma mengambil  nampan itu tanpa berbicara sedikitpun pada Guan. Menutup  pintu kamarnya dengan kasar di hadapan wajah Guan.

“Sama-sama, Kak. Selamat malam.” Ucapnya lirih, Guan mengucapkan itu seolah-olah Elma baru saja mengucapkan terima kasih padanya.

Nyatanya gadis  itu memberi  satu gebrakan pintu yang hampir meloloskan jantungnya.

Guan menopang kepalanya pada pintu, ia membiarkan dahinya menyentuh kayu jati itu. Satu aliran kecil mengalir di pelupuk matanya. Ia rindu sosok  kakaknya yang dulu. Sangat rindu … sudah lama ia tidak melihat kakaknya berbicara padanya. Sepatah katapun tidak pernah sama sekali. Apa kak Elma membencinya? Apa kesalahannya?

***

Guan menyusuri lorong kamar dengan lunglai, ia malas rasanya tinggal di rumah dengan para penghuni yang sekali tidak mengerti kondisinya. Ia perlu teman, bukan malah didiamkan seperti ini. Semenjak ibunya meninggal dunianya berubah drastis, ada di mana dia sekarang? Dunia mana yang ia  tempati ini, kenapa semua terasa membeku bagi Guan!

Sedetik kemudian ia berhenti pada depan pintu kamar ayahnya, ia langsung mendekatkan telinganya pada daun pintu. Ia kenal suara yang ada di dalam kamar itu. Ayahnya dan Greo.

Guan mendengarkan dengan saksama apa yang dibincangkan ayahnya. Hingga akhirnya pupil matanya membulat sempurna. Ia menutup mulutnya menahan teriakan histeris yang hampir lolos dari bibirnya.

“Kenapa kami gak boleh tau?” gumamnya, ia bergegas berlari memasuki kamarnya. Menutup  pintu kamarnya dengan cepat. Ia masih tetap menutup mulutnya dengan telapak tangan. Rasa terkejut yang menyerangnya seakan masih membayangkan dalam pendengarannya. Ia harus memberitahu kakaknya, Viliex.

Sebelum semua rencana  yang ayahnya jadwalkan terjadi. Ia tak ingin itu terjadi.

***
Elma memasang jasnya, ia dengan cepat menoleh melihat Guan masuk tanpa permisi pada kamarnya. Pria itu masuk dengan tergesa-gesa, sambil menutup pintunya. Ia  mendekati Elma yang sudah memasang wajah sangarnya. Ia sangat tidak suka dengan tindakan  Guan yang nyelonong masuk ke kamarnya.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang