46. Akankah Tuhan Memberi Keajaiban?

565 38 0
                                    


Tuhan hanya tidak ingin kamu mati sia-sia.
***
Setelah kecipak air terakhir yang Elma lakukan, ia tahu ini akan jadi yang terakhir kali. Menuju sebuah keabadian yang seharusnya sudah ia persiapkan. Ia harus bersiap menghadapi ini. Ia harus siap menerima semua itu. Konsekuensinya memang begitu.

Elma dapat merasakan napasnya sudah membumbung tinggi, sebentar lagi ia akan kehabisan napas. Kakinya berusaha mendorong tubuhnya agar bisa naik. Namun bola besi itu mendarat dengan manisnya. Membuat Elma menendang-nendang air laut yang dalamnya sudah cukup melayangkan nyawanya.

Tangannya menarik-narik tali itu. Tapi nihil. Semua sia-sia. Sisa-sisa napas sudah ia pasrahkan. Dadanya sesak. Paru-parunya penuh dengan air. Detik-detik menuju ajal.

Gelembung air mulai keluar dari mulutnya, berganti dengan air yang masuk. Mengisi rongga paru-parunya. Gelembung air yang terakhir keluar bersama dengan rasa sesak yang mencekik lehernya membuat Elma terpejam. Pergerakannya perlahan melambat. Matanya terpejam.

Maaf aku tidak pamit. Maaf
***

Guan, Greo,  Nata  dan Jey  meneguk ludah susah payah  setelah sebuah layar besar yang menampilkan wujud terakhir Elma menjelma jadi mimpi terburuk yang pernah mereka alami. Dalam  hati pertanyaan mulai berseliweran.  ‘Apakah Tuhan masih ingin memberi keajaiban untuk mereka?’

Guan menutup wajahnya,  terjatuh. Bersamaan dengan itu, suara tembakan mengejutkan keempat orang itu. Penjaga Anindiya menangkap basah mereka yang tengah mengintip dari balik pintu yang terbuka. Anindiya sadar hal itu, tapi ia menahan anak buahnya untuk mempertontonkan apa yang ia perbuat pada gadis itu.

Jelas luka menganga menyambut Guan dan yang lainnya. Terlebih Viliex yang terus menangis. Menyalahkan dirinya. Mengumpat serta berdoa. Kata-katanya berbaur jadi satu dalam sebuah harapan kecil. ‘Tuhan beri dia satu keajaiban saja.’

Anindiya tertawa. Bahagia saat suara anak buahnya menyatakan kalau Elma sudah tenggelam sepenuhnya. Hanya ada dua jawaban dari kemungkinan yang mereka pikirkan, Elma masih hidup atau mati hidup-hidup dalam air di tengah samudera.

“Nenek jahat!” Guan menembak tanpa ampun. Tapi tangannya tremor. Tidak bisa mengarahkan ke mana seharusnya. Namun beberapa peluru melukai anak buah Anindiya. Nata tidak tinggal diam, saat Anindiya ingin berlari menghindari mereka, ia menembak kaki perempuan itu.

Greo berlari, ke arah Viliex tangannya senantiasa memuntahkan peluru dari pistol revolver miliknya. Viliex tidak berdaya, tangis lebih mendominasinya ketimang rasa bahagia karena bisa lepas lewat pertolongan Guan dkk.

“Tuan, tenanglah. Kita akan cari Elma secepatnya. Masih ada yang perlu kita tolong. Ayah Tuan dan Nona Fellma.” Viliex mendongak, terkejut dengan bunyi tembakan yang mengenai lengan paman Greo. Matanya yang basah, menatap nyalang anak buah Anindiya yang tidak kenal rasa kasihan lagi.

Ia membopong Greo, mengambil pistol dari tangan pria tua itu dan memberikan tembakan perlawanan.

Guan yang dilengkapi rompi anti peluru menolong Greo dan Viliex yang berjalan menuju jalan keluar. Pertahanan melemah ketika kawanan polisi datang melumpuhkan beberapa orang yang sempat kena tembak.

“Guan, cepat!” Nata menyuruh anak jangkung itu masuk ke mobil. Terakhir kali Guan menembakkan pelurunya ke seorang anak buah Anindiya yang sudah ditangkap polisi.
***

Tujuan selanjutnya adalah rumah Fellma dan rumah nenek mereka. Dua tempat yang disebutkan nenek Guan sebelum akhirnya perempuan tua itu pingsan karena kesakitan. Nata memang tidak kenal usia jika menyangkut urusan kejahatan. Nenek-nenek sekalipun kalau membuat dia kesal, maka siapkan saja tubuhmu untuk dapat muntahan peluru panasnya.

Tapi saat ini ia harus menyiapkan banyak peluru untuk ditembakkan. Masih ada dua orang yang harus diselamatkan  oleh mereka. Anak buah neneknya Guan tidak bisa disepelekan, Greo yang memakai pengaman saja sempat terserempet peluru.

Mobil melaju kencang. Suasana senyap, Guan dan Viliex menyandarkan tubuh di sandaran, memandang lurus dengan tatapan frustasi. Bukan karena mereka akan menghadapi lawan lagi, tapi saudara perempuan mereka kini tenggelam dalam dasar laut. Dan mereka bahkan tak bisa menyelamatkan sekarang.

Bisa saja, semenit yang lalu nyawa saudara mereka sudah berjumpa dengan Tuhannya. Guan menutup wajahnya membayangkan hal itu. Tangannya menjambak rambut sendiri. Takut, kesal juga marah. Tapi ia tak bisa menyelaraskan emosinya yang mulai menguasainya.

Guan mengambil ponselnya. Meminta polisi untuk menanyakan kepada nenek mereka di mana letak kordinat kapal yang membawa Elma dan di perairan mana. Pihak kepolisian dengan sigap menanyakan hal itu, membuat Guan menunggu dari sambungan telepon.

Dadanya berdetak cepat, hatinya teriris perlahan-lahan saat neneknya dengan lirih mengucapkan tempat di mana Elma dibuang.

“Samudera Atlantik, dekat Inggris.” Guan mematikan sambungan telepon. Dia meminta sopir untuk mengantarnya ke rumah, lalu memesan tiket pesawat untuk ke Inggris. Viliex yang tahu Guan terbawa emosi hanya bisa meminta adiknya untuk tenang.

“Kita harus berdoa, semoga Elma baik-baik saja.” Ucap Viliex getir. Nata dan Jey yang duduk di kursi depan hanya diam mendengar ucapan dua kakak beradik yang kini dilanda kedukaan.
***

Hembusan angin mengibarkan layar. Deru ombak silih berganti menabrak badan kapal. Membuat benda mengapung itu terombang-ambing di tengah lautan. Seseorang dari bawah air menarik sesuatu.

Pria yang berada di atas kapal segera meyambut uluran tangan seseorang.

“Cepat!” suaranya memerintah dari balik cipakan air yang menerpa wajahnya. Di pundaknya seseorang memeluknya dengan lunglai. Pucat.

“Bagaimana bisa seseorang membuang gadis ini di tengah samudera seluas ini!” suara pria yang berhasil naik dengan tabung udaranya itu memaki, kesal. Sebelum ia masuk ke air dengan segala perabotan selam itu, jauh-jauh ia sudah mengamati sebuah kapal asing yang masuk ke perairan mereka.

Meski jarak mereka cukup jauh kala itu, dan apa yang mereka lakukan tidak terlihat. Tapi berkat teleskop baru yang ia beli, berhasil memecahkan rasa penasarannya. Setengah jam setelah kapal itu menjauh dari tempat itu. Pria yang masih memakai baju selam itu dengan cepat memerintah nahkoda kapal untuk segera titik kapal yang mereka amati tadi.

“Mereka mengikat kakinya di bola besi.”

“David! Beri dia napas buatan.” Pria yang menahkodai kapal terdiam. Seumur-umur dia belum pernah bersentuhan dengan gadis.

“Kenapa bukan kau saja hah!”

“Aku pria beristri bodoh! Cepat!”
Pria yang disebut David itu dengan ragu merundukkan kepalanya, mensejajarkan dengan wajah gadis itu.

“Cepat bodoh! Dia bisa mati kehabisan nafas kalau kita biarkan sejam tidak menghirup udara!” David cemberut.

Daripada dia diceramahi oleh Kakak tertuanya itu, lebih baik ia secepatnya menempelkan bibirnya ke bibir wanita itu. Semenit kemudian, air mulai keluar dari mulut gadis itu. Hingga ia tersengal dan memuntahkan banyak air.

“Hei George! Dia sadar!” Si pria berbaju selam itu balas meneriaki dari kemudi kapal yang kini berjalan menuju daratan.

David menatap gadis yang kini terpejam rapat itu dengan sorot penasaran.

“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu sobat?” bisik David mengusap rambut gadis itu.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang