17. Badai Pasti Berlalu

587 37 0
                                    

Karena kenangan tak pernah mengenal sesakit apa dia untukmu. Mengingatkan adalah tugasnya.
***
Untuk Ibu

Ibu gimana kabarnya? Baikkan di sana? Apa di sana menenangkan?Katanya, surga itu indah. Ibu tengah bersenang-senangkan di sana?

Ibu, aku rindu teguran ibu, jika aku nakal atau telat tidur. Kapan ya suasana itu terulang lagi?

Ibu, di sini sepi. Hening. Dingin. Penuh darah. Bau anyir. Juga luka. Semua terasa menyesakkan.Aku ingin ke sana, bertemu ibu. Bukan di sini. Apa ibu bisa jemput aku?

Aku gak salah waktu kecelakaan itu. Justru aku mau nolongin ibu dari tabrakan itu. Tapi kenapa ibu malah dorong aku dan biarin aku hidup?

Ibu, aku mau nyusul gimana? Masih ada Kak Viliex buat jagain ayah dan Guan. Ah, Guan tumbuh dengan baik di bawah bimbingan ayah. Dia semakin tinggi. Sudah menyamai Kakak. Mereka juga rindu ibu, sama seperti aku. Kapan kita bisa bertemu, Bu?

Ibu, aku capek menjadi baik-baik saja. Aku capek terlihat tenang. Aku udah siap jika Tuhan ingin mengambilku dari mereka. Ibu tungguin aku kan? Tunggu aku ya Bu.

“Elma A. A yang merindukanmu melebihi apapun.”

Guan tak kuasa menahan tangisnya. Butiran bening itu terus berjatuhan dari pelupuk matanya. Dia sebenarnya tak ingin membuka catatan kakaknya lebih jauh dari itu. Tapi, setelah melihat kondisi Kakaknya. Buku catatan itu menarik perhatiannya. Menariknya, Kakaknya Elma selalu menuliskan catatan hariannya dengan satu kalimat. Tapi halaman terakhir membuat hati menjerit. Sebuah surat untuk ibunya.

Guan terduduk lemas. Baru saja Kakaknya diboyong ke rumah sakit karena mengalami mimisan hebat dan pingsan. Belum lagi pergelangan  tangan Kakaknya juga di potong. Menambah kekhawatiran Guan kalau kakaknya kembali ingin bunuh diri.

Dia belum beranjak, Guan memeluk lututnya. Menangis. “Maafin Guan, Bu. Guan gak bisa jaga Kak El.” Bisiknya pelan.

***
Viliex menatap buku catatan pribadi milik Elma, setelah Guan menyerahkannya, memintanya untuk membaca apa yang Elma tulis di dalam sana. Namun Viliex lebih mementingkan kondisi Elma yang belum sadar sejak semalam. Belum lagi ia tidak bisa menemani adiknya itu.

Sesekali tangannya memijit pelipis. Dan getaran dari ponselnya itu membuatnya terhenyak. Viliex mengindahkan pesan dari gadis itu—Fellma.  Ponselnya bergetar kembali, membiarkan chat yang Fellma kirim hanya terbaca olehnya. Ekspresi datarnya berubah kala chat dari Greo masuk mengalahkan chat dari Fellma.

Greo
Elma kritis.

Viliex
Paman, tolong jaga Elma!

Greo
Tuan harus tau sesuatu. Dokter Febian yang menangani Elma barusaja memberi tahu saya.

Viliex
Apa paman?

Greo
Nona El, selama ini mengidap kanker darah stadium akhir.

Lengkap sudah penderitaan adiknya itu. Serasa ada ribuan petir yang menyambar ulu hati Viliex, hingga air matanya menetes perlahan. Tak perduli jika teman-temannya nanti memergokinya menangis. Yang ada dalam pikiran pria itu hanya adiknya, Elma.

“Ya Tuhan … hatinya terlalu rapuh untuk mengetahui hal ini. Tuhan … kuatkan hatinya menerima takdir-Mu. Buat hatinya menerima semua ujian ini. Kuatkan Tuhan, dia adikku, jangan ambil dia sebelum aku melihat senyumnya lagi.”

“Lo kenapa nangis?” Viliex mendongak saat melihat sosok Fellma berdiri di depannya. Kelas yang kosong itu Fellma pergunakan untuk menemui pria yang tidak menjawab chatnya itu. Tapi melihat keadaan Viliex, Fellma rasa ia salah tempat untuk menemui pria itu.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang