21. Membiarkan Mereka Tahu

658 33 0
                                    


Jangan percaya siapapun, karena bila bom waktu sudah meledak, yang dekat denganmu bisa menikam dari belakang.

***
Greo tampak menahan mulutnya untuk tidak mencela keputusan Aland yang sudah bulat itu. Beberapa kali pria tua itu menghela napas menahan sesuatu gejolak dalam hatinya, agar menahan keinginan majikannya itu.

“Apa ini tidak tergesa-gesa Tuan?” Greo tertunduk saat Aland menatapnya dengan tampang marah. Ia baru kali ini melihat wajah marah majikannya.

“Ini keinginan nyonya Anindiya, atau Tuan?” Aland berhenti merapikan berkas di mejanya. Ia meletakkan kertas-kertas itu lalu berbalik menatap sendu pelayannya itu. Wajah marah yang sempat Aland tunjukkan berubah seketika.

“Ini bukan keputusanku, tapi ibuku. Aku tidak bisa berkutik.” Ucapnya menyadarkan diri pada kursi putarnya itu. Seolah semuanya bebannya kini menyerang Aland. Dia tak habis pikir ibunya sebegitu benci dengan kehadiran Elma di keluarganya. Apa salah anaknya?

Greo menghampiri Aland lalu menarik kursi di depan pria itu. Ia tahu jika tuannya itu kini tengah tertekan oleh kondisinya. Pilihan antara urusan bisnis yang sudah melambungkan namanya, atau memilih anak yang akan menjatuhkan namanya. Tentu saja bagi orang yang berpikir bisnis, anak adalah nomor dua. Tapi melihat kondisi Elma sekarang membuatnya merasa bersalah. Ia sama sekali tidak memperhatikan anak gadisnya itu.

Aland merasa telah menelantarkan anaknya itu. Setelah kejiwaan Elma terguncang karena ulah neneknya, kini anak malang itu malah harus mendengar sendiri penyakit yang diidapnya. Sejak kapan kanker sialan itu menggerogoti anaknya? Sejak kapan?

Aland frustasi.

“Manusia itu lucu, mereka punya kelemahannya tersendiri dan kelebihannya. Tapi mereka terus menghakimi Tuhan, tanpa sadar kalau mereka tidak pernah berbuat sesuatu pada Tuhan. Aku menghakimi Tuhan beberapa hari ini, Greo. Meminta-Nya untuk mencabut semua penderitaanku. Tanpa aku sadari, selama ini apa yang aku lakukan. Justru aku yang membuat semua ini tampak kacau.” Aland meremas rambutnya, menumpukan kedua sikunya di atas meja, meremas kuat setiap sisi kepalanya.

Greo terkekeh mendengarnya, ia mengangguk pelan. Sambil memajukan tubuhnya pada meja persegi, ia berucap, “Karena perkataan anda untuk diri anda sendiri Tuan. Elma lebih penting dari apapun. Dia satu-satunya warisan dari nyonya Anya untuk Tuan. Maaf, jika saya lancang, menghakimi Tuhan bukan jalan yang tepat. Tapi menyadari kenapa Tuhan menjadikan ini sebagai masalah adalah jalannya, Tuan. Masalah datang dari diri kita sendiri.” Greo memundurkan tubuhnya pada sandaran kursi itu.

“Kau benar, Greo.” Aland mengangkat wajahnya.

“Semua adalah salahku. Karena aku selalu menghindari ini semua. Seharusnya aku tahu, jika akibatnya akan fatal bagi Elma.” Greo mengulas senyum.

***
Elma menatap seisi kelas yang senyap ketika dia memasuki kelasnya. Raut wajah pucatnya kentara menggambarkan kesakitannya. Namun diantara puluhan siswa ini, tak ada satupun yang tahu tentang penyakitnya ataupun siapa dirinya. Elma bersyukur.

Menuju bangkunya, Elma cukup heran ketika tahu Jey tidak ada dibangkunya. Apa pria itu dilarang sekolah karena takut menemuiku? Pikir Elma sambil mendaratkan pantatnya di bangku.

Seperti biasanya, Pio berbalik dengan wajah sumringahnya.

“Kangen Elma….” Teriaknya gembira, membuat Meka memberengut jijik.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang