36. Siasat

468 30 0
                                    

Dendam akan tetap jadi dendam.

***
Setelah dikhianati ayahnya sendiri, Jey dikurung di sebuah kamar flat berukuran sedang. Tak tahu ia di mana sekarang, sepanjang perjalanan obat bius membuatnya lupa dengan segenap permasalahan. Saat membuka mata, ia tengah terbaring dengan ikatan kuat di tangannya. Mulutnya tersumpal kain yang melingkari kepalanya.

Di ujung ruangan dua penjaga senantiasa memerhatikan gerak gerik Jey. Tak mau tertipu ketiga kalinya oleh akal-akalan Jey.

“Bisakah kau tidak menatap kami begitu? Berpikir untuk kabur lagi?” Penjaga itu membentak dengan gebrakan di meja panjang dengan bunyi denting botol yang beradu. Jey menciut tiba-tiba, perlawanannya sia-sia.

“Kau bahkan tak bisa bicara sekarang?” ucap pria di seberangnya, Jey menyadari jika suaranya akan terdengar seperti gumaman.

Suara bunyi denting cangkir kecil berisi whiskey  itu membahana, memecah sunyi ketika Jey mulai bergerak gelisah. Tangannya merogoh saku belakang dengan keterbatasan gerak. Jey berusaha mencari sesuatu dari belakang tubuhnya. Namun nihil, kosong melompong. Ponselnya sudah diambil, dompet dan semuanya. Jey mendesah berat. Sadar tidak akan akan ada yang menolongnya.

Tiba-tiba keributan di luar membuatnya bergerak, mendongakkan kepalanya. Dua penjaga tadi tidak sadar keluar. Mengunci pintu seadanya. Terdengar suara teriakan perempuan dan orang-orang yang berlarian. Bunyi sirine polisi menggiring sepanjang keributan.

Jey dapat merasakan sebuah getaran dari benda jatuh di lantai. Sekali. Dua kali. Botol di ujung meja bergerak perlahan, mengikuti bunyi ‘gedebuk’ dan redam. Jey berusaha menggeser tubuhnya hingga terjatuh di lantai. Menggeliat seperti ulat, menuju pintu.

“Jey!” suara familiar beberapa hari ini membuatnya menengadah. Sosok pria tua berkumis putih bertopi fedora dengan pria blasteran yang membuatnya mengernyit bingung. Jey tidak ambil pusing setelah dua pria itu melepaskan ikatan dan membuka penutup mulutnya.

“Siapa kalian?” tanyanya memasang ancang-ancang. Pria tua berkumis itu menarik sesuatu dari dadanya. Semacam silicon putih yang membungkus wajahnya. Nata tersenyum dari balik topeng wajah itu. Satunya Pio yang cekikikan menarik lengan Nata.

“Pak Nata, kami akan minta kesaksian anda nanti. Kali ini kita harus bergerak cepat.” Ucap pimpinan polisi yang dibawa Nata. Dua pria tadi sudah membuka topeng yang menutupi wajah mereka, lalu turun dari flat, menuju mobil.

“Bagaimana kalian bisa tahu gue di sini?” Jey membuka pembicaraan di dalam mobil. Pio sibuk dengan ponselnya yang sudah puluhan kali ditelpon oleh Meka. Nata fokus dengan setirnya.

“Sejak kamu memilih putus dari Elma kami mengatur siasat. Pak Aland sadar, ini salah satu taktik Allandar. Ayahmu tak mungkin langsung mundur ketika dia mendapatkan kamu. Tujuannyakan Elma. Menghancurkan Aland. Setelah itu aku meminta topeng wajah ke kantorku yang ada di Jakarta. Hari itu juga aku minta bantuan teman kamu Pio …”

“Dia pemilik Ducati waktu itu.” Sela Jey membuat Nata memukul lengannya.

“Aku belum selesai bodoh!” Semprot Nata, lalu berkata lagi, “ Aku menyamar jadi pak tua. Pio jadi tukang ojek online yang ceritanya aku pesan. Tepat saat kami menunggu, mobil keluar. Kami ikuti. Pertama kami berhenti agak jauhan dari area flat ini.” Nata terkekeh melihat Pio gelisah dengan kisahnya.

“Lo tahu, Nata minta jalan kaki ke sana. Gue pegel banget sumpah lari-larian. Dia sih terlatih, lah gue!” Keluh Pio memegangi dua pahanya.

“Sesampainya kami telpon polisi yang udah stand by. Dan abracadabra!” Nata mengakhiri kisahnya dengan tangan terbuka di udara, seperti membentuk lengkungan. Yang jika di visualisasikan ada pelangi dengan kerlap kerlipnya.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang