Semua masalah keliatannya selesai. Nyatanya hidup tak pernah lepas dari masalah.
***
Viliex pikir masalahnya selesai. Viliex pikir semua kejadian yang dia lewati telah selesai. Viliex pikir ini saatnya menyatakan perasaan pada Fellma. Setelah malam itu, jangankan melihat sosok gadis itu. Puluhan panggilan dan chat bahkan tak dibaca. Setibanya di sekolah setelah hilang berhari-hari dari peredaran, Viliex bahkan tak bisa menemui Fellma.Rambutnya acakan diterpa angin. Berapa kali tak terhitung ia memukulkan genggaman tangannya di dinding beton itu. Melepaskan keluhnya pada rasa sakit itu. Viliex tertawa menyadari hal yang ia lakukan.
“Jadi ini yang Elma rasakan.”
Gumamnya, menikmati perih dari luka di buku-buku jarinya. Kepala Viliex bersentuhan dengan tembok.“Gue telat ya Fell. Harusnya gue sadar, waktu selalu punya misterinya.” Viliex memukul lagi genggaman tangannya ke tembok. Namun bukannya mengenai tembok, tangannya meninju telapak tangan seseorang. Wenda, sahabat Fellma.
“Sorry.”
“Gak apa-apa. Ini … Fellma gak bisa ketemu sama lo. Gue nyariin ke kelas, dan Fellma bilang, lo mungkin ada di sini. Gue samperin ternyata bener.” Wenda terkekeh.
“Ini apa?”
“Buat lo. Bacanya nanti aja.”
Wenda berjalan menuju pembatas, memajukan tubuhnya pada dinding itu. Tersenyum lebar melihat pemandangan di depannya. Viliex sudah terduduk, melipat kakinya dengan tangannya yang bertumpu di lutut.“Fellma lagi dikurung ayahnya. Biar gak bisa ketemu lo.” Wenda berucap membelakangi Viliex yang terus menunduk. Menyadari kesalahan fatal yang ia lakukan. Suara tawa sinisnya terdengar frustasi oleh Wenda.
“Segitunya ya?” Viliex memukul kepalanya.
“Ya lah. Lo kan buat dia luka-luka. Malahan Fellma sampai sakit kemarin.” Wenda berbalik dengan tatapan menyalahkannya. Viliex sadar ini kesalahannya membawa Fellma dalam masalah keluarganya. Harusnya hari itu ia sadar kalau mereka tengah diintai orang jahat. Harusnya … bahkan waktu tak akan kembali berputar untuk memperbaiki kesalahannya.
“Tapi jangan cemas.” Viliex mendongak. “Apa?”
“Dia pasti kembali lagi kok.”
Setelah mengatakan itu, Wenda langsung kembali ke kelasnya.
“Maksud lo?” Viliex menoleh pada Wenda yang sudah sampai di bibir pintu. Gadis itu tersenyum simpul, mengedipkan satu matanya, “Jodohkan gak bakalan ke mana-mana.”
***
Sepulang dari sekolahnya, Viliex menyempatkan diri menemui adiknya yang hari ini akan pulang. Guan sudah datang lebih dulu karena izin eskul. Di dekat ranjang ayahnya, Aland tengah mengemas baju Elma ke dalam bag.“Kakak eskul tadi ya?” tanya Guan sambil terus memainkan jarinya di layar ponsel. Viliex melepas tasnya dan langsung menindihi tubuh Guan. Pria jangkung itu berteriak kaget, belum lagi hpnya yang terbanting di lantai.
“Guan suaranya!” tegur sang ayah yang selesai berkemas. Guan terkekeh lalu memukul tubuh Viliex yang menindihinya, mendorong pria itu hingga balas terjengkal di bawah sofa.
“Penistaan terhadap kakak tertua kena pasal loh!”
“Halah, penistaan terhadap adek juga kena pasalnya.”
“Sembarangan kalau ngomong.”
“Kak Vi juga sembarangan kalau baring. Ini Guan lagi main game jadi kalah tau!”
“Games terusss, pantes jomblo.” Cibir Viliex dihadiahi lemparan bantal ke mukanya. Elma terkekeh di ranjangnya.
“Silakan pertengkaran kalian dilanjutkan di rumah. Kita mau pergi.” Aland lebih dulu menyela sebelum anak-anaknya itu kembali berdebat hal sepele. Guan dan Viliex menurut, menarik tas mereka masing-masing dari atas meja. Berjalan beriringan dengan Elma.
Setengah jam perjalanan menuju rumah, keempat orang itu sampai di rumah. Di depan teras, Greo sudah berdiri dengan senyumannya. Ada beberapa pelayan yang juga ikut menyambut mereka. Elma tersenyum lebar mengingat dulu ia pernah memimpikan hal kecil ini ketika pulang dari rumah sakit. Kini terwujud di depan matanya. Viliex menepuk pundaknya, “Maaf, dulu gak pernah jemput kamu saat pulang.” Elma menggeleng pelan.
Seperti baru masuk ke dalam rumah itu, Elma merasakan ada yang berbeda dengan dirinya. Ada yang berbeda dengan semua yang ia ketahui tentang rumah itu. Apakah karena kehangatan yang melingkupi hatinya kini? Atau karena ada satu celah kosong yang terus menggerogoti hatinya?
Tiba di kamarnya, Elma memilih sendiri. Ia membuka nakasnya, mengambil buku bercover rajutan namanya itu. Hadiah ibunya. Elma mencari pulpennya di meja belajar dan menuliskan sesuatu yang sudah lama membuncah di hatinya. Kekosongan yang beberapa hari membuatnya berpikir keras.
Ibu, ini kali pertama aku menulis di buku hadiah ibu.
Kali pertama ketika ibu pergi selamanya.
Kali pertama ketika kehangatan itu melingkupi hatiku. Aku merasakan hal berbeda setelah semua kejadian menimpa kami. Aku sadar, selama ini aku salah. Aku masih tak berguna meskipun mereka tahunya aku berubah. Kehangatan yang kurasakan tak bertahan lama.
Ada rongga besar yang terus membuatku semakin merasa bersalah, Bu. Beberapa minggu yang lalu nenek mengatakan sesuatu padaku. Di kamar. Dengan tatapan membencinya. Selalu begitu. Sampai sekarang aku terbayang dengan permintaannya.
***
“Kenapa belum mati?”
“Kenapa nenek ke sini?” tanya Elma hati-hati. Anindiya melipat tangannya di dada, melangkah pelan menuju bangsal Elma, sambil terus melempar tatapan tajamnya. Elma naik bangsalnya dengan gugup. Menutup separuh tubuhnya dengan selimut.
“Kenapa? Kamu bertanya kenapa? Jelas sekali bukan dari pertanyaan pertamaku tadi? Kapan kamu pergi? Rasanya enggan bernapas satu udara dengan kamu … “Kenapa? Marah? Kenyataan memang pahit, Elma. Kamu itu cucu tak diharapkan.” Ucap Anindiya tanpa beban, ringan dan menusuk.
“Iya, mungkin memang seperti itu.” Sahut Elma pelan, lirih hampir tak terdengar. Anindiya terkekeh, lalu beranjak mendekati Elma. Mengelus pucuk kepala gadis itu, lalu dengan jari telunjuknya mendorong keras kening Elma. Tubuh Elma terhuyung ke samping.
“Sadar. Cepat pergi dari Negara ini. Jengah melihatmu berkeliaran di negeri ini.”
“Tapi aku harus operasi, Nek.” Sela Elma tak terima. Anindiya menoleh. “Itu bukan urusanku. Urusanku hanya ingin melihatmu pergi secepatnya, dengar itu kan?” tanya Anindiya angkuh.
“Menangislah seperlunya karena kamu harus bersiap dengan penderitaan lain, Elma.”
“Salahku apa Nek?” tanya Elma dengan tangisnya.
“Salahmu? Aku tidak pernah menginginkan cucu perempuan dalam keluargaku.” Anindiya melipat tangan di dadanya serta senyum menyeringai pada Elma. Lubang di hatinya semakin merongga. Sesak. Darahnya berdesir, menahan amarah.
Anindiya membuka tas brandednya, mengeluarkan sesuatu yang membuat deup jantung Elma bertalu-talu. Sebuah tiket pesawat. Ke Jerman. Dan segepok uang serta satu kartu atm.
Elma terperangah sesaat saat dua amplop panjang abu-abu itu terlempar ke bangsalnya. “Nenek nyuruh aku pergi?”
“Jelas. Buat apa aku persiapkan itu? Kurang baik hati apalagi aku?” tanyanya pada Elma. Gadis itu memungut amplop itu, meremasnya.
“Ku beri tenggat waktu. Jika sudah tanggal keberangkatan yang kupersiapkan. Pergi tanpa harus bilang dengan cucu-cucuku ataupun anakku.” Tertohok. Elma merasakan Anindiya baru saja menusuknya dengan kata-kata itu. ‘Cucuku’ ‘anakku’ lalu selama ini nenek itu menganggap Elma apa? Hanya omong kosong?
Satu tetes mencuat lagi dari matanya. Remasan di amplop semakin kuat. “Baik.”
“Lakukan. Atau orang-orang tersayangmu terluka.”
***
Nenek benar. Semua orang terluka karena menyelamatkanku. Apa yang bisa kulakukan kalau tidak pergi, Bu? Kenapa hidupku seperti ini, Bu? Kenapa ibu menolongku saat itu? Seharusnya aku yang mati! Bukan ibu!
Elma meremas ujung lancip pulpennya. Semakin erat sampai akhirnya tertusuk. Elma mengaduh memandangi luka kecil dari hasil emosinya.
“Dua hari lagi?”
“Apa yang dua hari lagi?” suara di belakang tubuhnya membuat Elma tegang. Ia berbalik dan menatap Guan takut. Adiknya berjalan mendekat, Elma segera menyembunyikan catatan pertamanya di laci meja belajarnya.
“Kakak nyembunyiin apa?”
“Gak!”
“Kenapa gugup begitu?”
“Gak apa-apa Guan.” Sahut Elma berusaha tenang, namun getaran di tangannya membuat Guan sadar. Ada yang tidak beres dengan kakaknya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Elma's List (Complete)
Teen FictionElma penderita self injury. Seseorang yang tak pernah dianggap di keluarganya. Sebenarnya Elma patut bersyukur mempunyai dua saudara yang perduli. Dan kekasih menyebalkan yang selalu siap sedia untuknya. Namun dibalik itu semua, ia menyimpan banyak...