35. Terbaik untuk Kita

493 32 0
                                    


Kemenangan sesungguhnya ketika kamu berani melawan semua ketakutanmu dan melangkah maju meski kamu mengambil resiko.

***
Allandar tersenyum mengulurkan tangannya pada nakas. Mengambil satu pistol revolver yang ia miliki. Allandar  tidak ambil pusing saat tahu anaknya kini memihak pada lawannya. Toh, semakin Jey melindungi Elma maka semakin gencar pula Allandar menghancurkan ayah gadis itu dengan menyakiti pemain utamanya, Elma. Meski anak buah Aland kini tengah mencari barang bukti terkait kasus yang membawa namanya, Allandar masih bisa berpusing kursi kerja. Bukti yang benar-benar bisa membawanya pada jeruji besi sudah tewas ditembak.

Pria tua itu menaikkan kakinya ke atas meja. Telponnya berdering, Allandar mengangkatnya. Suara seorang pria menyapanya terlebih dahulu.

“Halo tuan. Saya membawa kabar terbaru dari rumah sakit.”

“Apa?”

“Elma akan menjalani operasi sum-sum tulang. Malam ini.”

Allandar langsung mematikan telponnya. Beralih ke smartphonenya. Senyumnya melebar setelah tau kini rencananya akan berjalan mulus untuk menghancurkan Allandar. Mati dibalas mati. Nyawa dibalas nyawa, begitu bukan? Jeida dan Elma, mereka sama. Hanya saja Elma masih bertahan. Kisah lama terulang. Dan ia ingin Aland merasakan kehilangan keduanya.

“Bagaimana kabarmu anakku? Masih berjuang?” tanya Allandar sadar akan suara helaan napas kesal Jey di ujung sana. Sejak kabur dari rumah, Allandar tidak mempermasalahkan hal itu. Ia bisa membuat putranya jadi robot saat ini.

“Ayah! Ah, apa yang ayah inginkan sekarang? Sudah puas merusak semuanya? Sudah puas dengan berita ayah Elma?” Napas Jey tersengal, ada sesak yang melingkupi dadanya. Limpahan emosi yang Jey katakana, terasa menggelitik bagi Allandar. Ia terbahak, sambil menurunkan kakinya.

“Wow, anak ayah sekarang sudah mulai berani ya?”

“Jangan basa basi yah! Ayah mau apa? Berhenti menyiksanya!”

“Mau ayah berhenti menyiksa kekasihmu? Ada syarat mudah yang bisa kamu lakukan.” Allandar menyeringai, mengirimkan perasaan bimbang ke hati Jey.

***
Jey terdiam di depan wastafel. Setelah perbincangannya dengan sang ayah, menelurkan perasaan gundahnya. Kini rencana yang Nata persiapkan membuatnya semakin tersedot dalam perasaan bersalah, juga takut. Jey merasa hatinya tak bisa memutuskan mana yang tepat.

Melindungi Elma, atau mengikuti perkataan ayahnya.

“Putuskan hubungan kalian. Menjauh ke tempat yang ayah sediakan. Jangan buat malu keluarga kita dengan hubunganmu itu. Ayah bisa bertindak fatal jika kamu terus melindungi dan menghalangi rencana ayah.”

Jey meremaskan rambutnya, menatap pantulan dirinya. Nata berdiri memandanginya bingung. Berjalan mendekat dan akhirnya sadar akan suasana hati Jey.

“Ceritakan padaku.”

“Sulit, Nat. Gue bahkan rasanya mau tenggelem ada di laut. Gue kadang berpikir, kenapa gue harus jadi anak dari orang yang tengah melukai Elma. Gue merasa …” Jey tertunduk.

Nata menepuk pundaknya, “Aku tahu maksud kamu. Seperti yang tadi malam kamu bilang. Apa ayah kamu bilang sesuatu tadi?” Jey berpaling memandang Nata takjub.

“Darimana lo tahu?”

“Aku lihat. Maaf tadi nguping.” Nata mengusap belakang kepalanya.

“Iya. Gue merasa, gue yang harus bertindak untuk mengakhiri ini.” Jey menatap Nata yakin. Nata yang seperti tahu maksud omongan Jey menahan lengan pria itu. “Kamu mau mengakhirinya?”

“Demi kebaikan kalian semua.” Ucap Jey mantap. Ia keluar dari toilet, disambut tatapan hangat Viliex serta Guan. Belum lagi Elma yang tengah duduk manis di bangsalnya mengulas senyum kea rah Jey.

Mati-matian Jey menahan perasaan aneh yang mengeleyar di hatinya.

“Gue mau bicara sebentar sama Elma.” Jey berucap dingin, Nata keluar dari toilet dengan tampang acuh. Bersamaan dengan Viliex dan Guan. Jey menghampiri Elma yang meredupkan senyumnya.

“Gue minta maaf. Gue rasa semua ini karena hubungan kita El. Lo ngerti kan maksud gue? Gue gak mau egois buat mertahanin lo. Tapi gue gak bisa lihat lo gini terus. Gue gak mau lo terluka terlalu jauh.” Jey meremas tangannya. Mendesak hatinya untuk terus tabah. Menahan kekeluan mulutnya untuk terus jujur. Di seberang sana Elma terus diam memandanginya. Tak ada respon.

“Maaf. Kita sampai di sini aja. Gue harap lo ngerti, El.” Respon Elma hanya menunduk. Tangannya meremas sprei. Sampai akhirnya air matanya lompat keluar, mengisyaratkan Jey. Kalau ia baru saja menorehkan luka pada gadis itu.

“Demi kebaikan lo. Gue pergi.” Jey mendekati bangsal Elma. Mengulurkan tangannya pada pucuk kepala Elma. Lalu mengusaknya, “Gue janji, akan kembali lagi. Untuk saat ini, lo boleh benci gue. Tapi jangan sakiti diri lo. Gue pengen yang terbaik buat lo. Untuk semuanya.” Usapan terakhir berakhir. Jey berbalik, Elma masih diam dengan isaknya. Pintu tertutup, Elma mendongak.

“Sampai jumpa lagi.”

Viliex yang berada di depan kamar berdiri menyambut Jey. Pria itu menoleh sebentar, lalu melesat pergi dengan langkah cepat. Mengabaikan suara teriakan Viliex yang menggema.

“Kenapa sama tuh anak?” Viliex menggaruk kepalanya, lalu mengintip dari celah pintu. Adiknya tengah tertunduk lemas. Pria itu ingin menghampiri namun ditahan oleh tangan Nata. “Aku tahu apa yang terjadi. Biarkan dia sendiri dulu.” Guan dan Viliex mengerti, lalu duduk kembali.

“Mereka baru mengakhiri hubungan.”

“Apa?!” Guan dan Viliex sama-sama berteriak terkejut. Membuat suster yang tengah lewat terjingkat kaget. Nata meminta maaf.

“Jey baru ditelpon ayahnya. Kurasa ayahnya mengancam sesuatu pada Jey. You know, Jey gak mau Elma terluka. Kalian mengerti maksudku?” Viliex baru saja memikirkan hal itu kemarin malam. Dan sekarang pria itu sendiri yang memutuskan hal ini.

***

“Aku mengerti kenapa ayah begini.” Jey merangsek maju ke meja ayahnya. Allandar menyeringai, menampilkan senyuman jahilnya. Di tangannya sebatas rokok mengepul.

“Kalau mengerti kenapa kamu masih bersama pria sialan itu? Harusnya kamu mendukung rencana ayah kamu sendiri.”

“Ayah Elma yang menolong ayah saat bangkrut dulu. Dia yang kasih ayah modal usahakan? Lalu di mana balas budi ayah? Menghancurkan semuanya demi ambisi di masa lalu?” Jey memukul meja di depan ayahnya. Emosinya memuncak hingga urat-urat di lehernya bermunculan.
“Jangan berlagak baik kamu! Kamu hanya menikmati hasilkan selama ini? Ayah yang menjalani semua ini!”

Jey menelan salivanya. “Ayah, jangan lukai Elma. Aku akan lakukan apapun demi dia.”

Allandar tersenyum lebar, kakinya turun. Kursi putarnya mengarah pada Jey yang gugup. Lalu menghisap batang rokoknya, mengepulkan asap beracun dari mulutnya.

“Hmm, anakku punya penawaran menarik. Bagaimana jika aku bunuh saja hamanya Aland itu? Kau tidak perlu repot-repot lagi menemuinya di rumah sakit. Ada banyak gadis lebih cantik dari dia.”

“Ayah!”

“Baiklah. Aku tidak akan membunuh gadis itu …” Allandar menyeringai lagi. Kali ini lebih seram menurut Jey. Tiba-tiba tangannya ditelikung ke belakang, dua orang menyeretnya keluar dari ruangan Aland. Namun sebelum pria itu keluar, Allandar mendekat dan berbisik, “Maafkan aku anakku. Nyawa harus dibalas nyawa. Bukankah hukum begitu?”

Jey panik. Ia berusaha berontak. Dua penjaga itu menelikung tangannya lebih keras, membuat Jey mengaduh.

“Ayah! Aku sudah menepati janjiku! Kenapa ayah yang berkhianat?!” Allandar lalu menarik tekuk Jey.

“Buat apa menepati janji dengan anak yang juga berkhianat pada orang tuanya.” Dua penjaga menyeretnya secara paksa. Jey berusaha berontak lebih keras, namun sia-sia ketika satu bekapan dari tangan penjaga itu membuatnya limbung dan pingsan.

“Gue akan kembali.” Gumam Jey sebelum akhirnya dibopong oleh penjaga berbadan kekar itu.

***

Gue tegaan orangnya. Sukanya nyiksa mereka. Tapi nulis suka gemes. Kenapa gue sadis gini?😂😂 Maklumlah anak ababil.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang