47. Dilupakan

612 32 2
                                    


Karena  aku tidak ingin ada  kesalahan kedua. Kita  akan bersama, meski aku terluka.

***
Fellma menjerit bahagia dalam bekapan lakban hitam yang menempel di mulutnya. Beberapa menit setelah baku tembak dengan anak buah neneknya, Viliex akhirnya bisa memeluk sosok yang meringkuk ketakutan dalam dekapannya. Tak lupa ucapan kalau Viliex akan menjaga terus terngiang dalam telinga Fellma. Ia percaya Viliex akan menepati ucapannya.

Namun tidak sebahagia dirinya ketika dipertemukan dengan pria itu. Fellma tahu ada kesedihan yang pria itu tahan sampai wajah tercenungnya dalam mobil membuat Fellma enggan bersuara. Viliex berpuluh-puluh kali memijit pelipisnya.

“Aku bilang cepat!” Guan yang duduk di kursi depan membentak keras pada anak buah ayahnya. Pria itu baru saja mempersiapkan tiketnya untuk pergi ke Inggris tak perduli dengan bantahan Viliex serta ayahnya yang baru saja diselamatkan. Guan tidak ingin terjebak dalam rasa ketakutan. Ataupun rasa kehilangan yang mulai menghantuinya. Apapun hasilnya dia harus menemukan kakaknya, tidak peduli dalam bentuk hidup atau mati. Guan hanya ingin bertemu kakak perempuannya.

“Guan tenanglah!” Jey membentak dari kursi kemudi. Tidak tahu bagaimana lagi Jey menghadapi kelabilan Guan. Tapi disaat seperti ini kepala dinginlah yang diperlukan. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk menemukan Elma dalam laut lepas. Kemungkinan terbesar yang menjadi bayang-bayang semua orang adalah Elma benar-benar sudah tak bernyawa di sana.

“Bodoh! Aku tidak perduli! Malam ini aku akan pergi. Kak Vi istirahat saja, jaga ayah.” Guan meneguk ludahnya setelah mengucapkan itu. Serasa tercekat, tangannya gemetar hebat. Matanya basah, “Guan hanya ingin melihat kakak. Itu saja. Jangan halangi.”

Viliex, Jey ataupun Fellma yang mendengar hal itu hanya bisa diam. Tidak ingin mengekang Guan lagi. Pria itu tak memerdulikan pakaiannya lagi. Bercak darah sana sini dia tutupi dengan jaket varsitynya, satu ransel berisi pakaian dan segala surat menyurat telah siap ia jinjing. Tanpa berpamitan, Guan melenggang mengambil mobil dari bagasi bersama anak buah ayahnya.

“Guan!” teriak Viliex, tertatih berjalan menuju Guan yang berdiri tegak menunggu mobil keluar dari bagasi. Viliex menepuk pundak Guan kencang, mengulum senyum menabahkan untuk adiknya. Samar Guan merasakan kakaknya menarik pungggung tegapnya ke dalam dekapan hangat.

“Apapun yang terjadi semua kehendak Tuhan, Kakak akan menyusul besok setelah semua clear  malam ini.” Guan mengangguk pelan. Lalu masuk ke dalam mobil setelah melepas pelukan Viliex.

***
Guan menatap sekelilingnya bingung. Ia baru tiba di bandara Internasional London Heathrow, setelah beberapa jam menyempatkan tidur dalam pesawat. Guan tidak berbekal apapun ke Inggris, hanya kecapakannya menggunakan bahasa asingnya untuk bertanya.

Pria jangkung itu melangkah keluar, menuju taxi yang sudah ia pesan sebelumnya. Menuju hotel tempatnya menginap. Guan merebahkan tubuhnya sebentar, sebelum akhirnya tertidur.

Semuanya berlalu tanpa terasa. Siang ini Guan sengaja menuju perairan yang dimaksud neneknya saat itu. Menyewa sebuah kapal untuk menuju perairan luas.

“Kamu di mana kak…” lirih Guan memandang hamparan air kebiruan yang tak tahu di mana ujungnya. Guan meremas rambutnya menahan tangis karena tidak menemukan apapun setelah berlayar mencari sepanjang hari.

“Tuan, apa yang anda cari sebenarnya?” pria berkulit putih pucat itu mendekati Guan yang terduduk manis di depan kepala kapal. Guan menatap pria itu sebentarnya, meringis menahan senyuman juga tangisnya.

“Aku mencari kakakku.”

“Apa yang terjadi dengan kakak anda?” pria itu ikut berjongkok, mensejajarkan diri dengan Guan.

“Kemarin dia dibuang ke perairan sini. Apa anda menemukan sesuatu sebelumnya saat berlayar?” Pria itu berusaha mengingat. Matanya terbelalak kaget menatap Guan yang penasaran.

“Kemarin temanku berlayar. Dia menemukan sesuatu.” Guan mengerjap, bahagia sekaligus pedih mendengarnya. Cepat-cepat ia meminta untuk segera ke pelabuhan dan menemui teman pria yang kini membawanya.

Melewati bangunan tinggi menjulang yang saling beradu ketinggian itu, Guan terus merapalkan doa semoga harapannya terwujud. Kakaknya masih selamat. Jika tidak, maka Guan sudah menyiapkan hatinya untuk ikhlas dengan ketentuan Tuhan. Pria jangkung itu menatap pintu kayu di depannya dengan gamang.

“David!” Teriak pria yang membawanya itu. Sosok tinggi kurus dengan wajah menawan menyambut Guan. Pria itu kebingungan.

“Tak biasanya kau ke sini paman Ken. Ada apa?” David mengulas senyum, beralih menatap Guan yang sudah pucat pasi ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya.

“Kemarin kau menemukan sesuatu kan di perairan?” David mengangguk ragu, menatap Guan hati-hati. Dia menunjuk Guan dengan tampang berpikir penuh akan maksud kedatangan Guan.

“Kau siapa?”

“Aku, Guan Anindiatama. Dari Indonesia. Apa kau yang menemukan kakakku kemarin?”

David melebarkan matanya kaget, “Kakak? Maksudmu perempuan itu?” Guan langsung berlari masuk ke dalam rumah pria itu tak sabaran. David berlari mengejar Guan sampai pria itu tertegun melihat seseorang yang kini terbaring lemas di depan TV beserta selimutnya.

Dengan hati-hati Guan mendekati sosok itu. Tetes air matanya mengalir lembut. Senyumnya cerah sambil berlari memeluk gadis itu.

Tidak ada kebahagian yang mampu menandingi hal ini bagi Guan. Kakaknya terselamatkan. Tidak habis pikir bagi Guan bisa secepat ini menemukan sang kakak. Namun hal aneh terasa ketika pelukannya tidak dibalas oleh sang kakak.

Guan menangkup wajah kakaknya yang sedikit pucat. Raut kebahagiaan Guan lenyap saat melihat wajah Elma yang kebingungan. Tangan perempuan itu perlahan mendorong dada Guan menjauh darinya.

Lobang kecil yang tertutup perlahan dalam hatinya, menganga kembali. Pasti bercanda pikir Guan sambil tertawa melihat wajah bingung sang Kakak. Pelan, tawa itu lenyap dari bibir Guan saat kakaknya berdiri menjauh darinya.

“David!” Pria yang dipanggil itu mendekat, memeluk Elma yang ketakutan. Entah apa yang merasuki Elma sampai tega membuat Guan merasakan sakit hati teramat dalam sekarang. Dia pikir ini drama. Kenyataannya, sang kakak memang tidak tahu siapa dirinya.

“Kak, ini aku Guan.” Elma menaikkan sebelah alisnya.

“Kamu siapa? Aku bukan kakakmu.”

“Kak Elma jangan bercanda!”

“Maaf, Guan. Tapi Ellena mengalami amnesia disosiatif.” Iya, Guan merasakan dunia memang sekejam itu padanya. Memisahkannya dengan kakaknya, kini membuat lupa seluruh kenangannya dengan sang kakak. Dunia maunya apa? Batin Guan hendak berontak.

“Namanya Elma!” Guan memekik.

“Okay. Tapi dia tidak ingat apapun. Trauma berat membuat ingatannya tersimpan paling dalam.” Guan menutup wajahnya, membiarkan sang kakak menghilang masuk ke dalam kamar bersama David.

Tak ayal, Guan segera menghubungi sang Kakak yang saat ini juga akan ke Inggris. Terdengar suara girang kakaknya dari sambungan telepon.

“Kamu menemukan Elma?”

“Iya.”

“Bagaimana keadaannya?”

Guan meneguk ludahnya berat, matanya menatap David yang baru keluar.

“Kak Elma baik-baik aja. Tapi…” Guan menggantungkan kalimatnya. Mengumpulkan seluruh keberaniannya.





Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang