26. Jatuhkan!

514 30 0
                                    

Jika aku bisa percaya dan tulus selama ini, kenapa mesti kamu balas dengan rasa dendam?

***
Aland tak tahu banyak tentang tindakan Allandar pada Jey. Yang ia tahu, Jey dilarang bertemu dengan Elma. Itu saja, selebihnya ia tidak perduli. Namun lama kelamaan tindakan Allandar melebihi batas yang mampu tak ia perdulikan. Pria itu sengaja memisahkan anaknya dengan Jey.

“Bagaimana bisa kamu berbuat sejauh ini? Melarang Jey bertemu Elma, apa salahnya?” tanya Aland sewot. Allandar melipat kaki panjangnya di sofa, tersenyum penuh makna pada Aland.

“Apa kamu tidak berpikir realistis Aland? Elma punya sindrom aneh! Jika ketahuan media, apa tidak berpengaruh pada perusahaanku?” Aland menautkan alisnya.

“Itu alasannya? Kamu mementingkan urusan bisnis saja rupanya.” Allandar menurunkan satu kakinya. Lalu mencemooh kata-kata Aland.

“Kurasa kamu juga begitu dulu. Bahkan lebih!” 

Aland membelalak kaget, kali ini ia yang tersulut emosinya lebih dulu. Tangan yang dulunya perkasa itu menggebrak meja kerja Allandar.

“Apa maksud kamu, Allandar? Apa ini balasan kamu selama ini? Ku pikir kamu itu punya pikiran terbuka untuk hal ini? Ternyata—omong kosong juga.” Aland mendecih lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Allandar dengan seringaiannya.

Dia meraih ponselnya di atas meja lalu membuka galerinya.
“Sepertinya kamu juga ingin bermain denganku ya, Aland?” Allandar dengan ringan tangan memencet tombol share. Dan send. Satu foto terkirim.

“Tinggal menikmati drama.” Ucapnya lalu bersandar pada kursi putarnya.

     ***
Elma duduk manis di depan Pio yang sesekali meliriknya dari balik buku bacaannya. Gadis itu cukup lama melamun dengan satu buku paket tebal di tangannya. Matanya yang agak lancip itu memandang ke luar jendela, bibirnya terkatup rapat, tanpa ekspresi apa-apa.

Pio menggeleng pelan melihat Elma. Tangan kurusnya menyentuh buku Elma pelan , hingga gadis itu sadar sendiri. Elma menatap dingin Pio. Sorot matanya yang sayu menggambar sesuatu, Pio sadar ada yang Elma sembunyikan.

“Kenapa El?” tanyanya menurunkan bukunya ke meja. Meka dan Tya yang berada di samping Pio menurunkan bukunya, memandang ke arah Elma.

Sejak hari itu, Meka dan Tya tahu semuanya. Memperlakukan Elma tidak seperti dulu. Kesalahan mereka selama ini menjudge Elma karena sikapnya, setelah tahu kenapa gadis itu begitu. Meka dan Tya merasa bersalah.

“Lo bisa cerita ke kita El. Semakin lo tutupin masalah, semakin lo terjebak.” Meka bersuara, lirih.

Mata sayunya memanas memandang ketiga orang di depannya. Elma beruntung. Merasakan betapa hangatnya persahabatan yang mulai ia rajut. Setelah semua tekanan menguras pikirannya hingga buntu.

“Aku—”

“Astaga El!” Pekik Meka melihat hidung Elma mimisan. Pio mengeluarkan selembar sapu tangannya. Menyodorkan pada gadis itu. Elma menyambutnya dan cepat menutup hidungnya. Menghentikan darah yang keluar.

“Sampai kapan lo bakalan nunggu pendonornya?” Tya angkat bicara setelah lama menyimak.

Elma menggeleng tak tahu. Ia melihat arlojinya, tak lama lagi waktu istirahat akan berakhir, ia tak mau bolos mata pelajaran lagi. Sudah cukup ia libur kemarin-kemarin karena sakit.

Namun melihat wajah Pio yang terarah ke belakang tubuhnya membuat Elma segera membalikkan badannya. Jey berdiri di dekat jendela besar perpustakaan dengan dua bodyguardnya. Berbincang serius. Tentang sesuatu.

Pio mengangkat bukunya untuk kembali fokus. Tapi percuma, adegan di depannya lebih menarik dari pada bacaan itu sekarang. Hubungan Elma dan Jey memang rumit, apalagi setelah Jey cerita kalau ayah Elma adalah sahabat karib ayahnya. Jelas saja semakin semwarut hubungan mereka dengan keadaan Elma yang begini, bisa jadi cemooh public jika ketahuan.

Jey berjalan beriringan dengan sosoknya dua bodyguardnya, pergi begitu saja. Elma masih belum mengerti. Pembicaraan ketiga orang itu seolah membuat penasaran mereka yang tengah memandang dirinya dari balik kaca perpusatakaan yang terhubung dengan taman belakang.

“Apa kalian udah jarang ketemu?” tanya Pio terhalang bukunya. Elma tahu tujuan pertanyaan itu untuk siapa.

“Seperti yang kamu lihat sekarang.” Elma membuka lembaran bukunya tanpa gairah membacanya. Meka dan Tya berpandangan.

“Gue gak tahu kalau hidup lo serumit ini. Mungkin jika lo terbuka, semua mungkin gak akan kacau El.” Meka mengangguki setuju dengan ucapan Tya. Embusan napas Elma panjang.

“Hidupku itu seperti peraturan. Diatur di sana-sini.” Elma mengulum senyum rapat, membuka lembaran bukunya lagi. Semua diam. Meka dan Tya fokus kembali pada bacaannya.

***

“Kirimkan ke mereka. Aku akan senang hati memberikan berkas lain untuk tambahan bukti.” Allandar tersenyum licik dari balik kumisnya yang mulai tumbuh.

Di seberangnya duduk seorang pria yang merupakan pasukan khususnya. Berlebihan jika menganggapnya begitu. Tapi memang tugasnya teramat halus untuk dikatakan sebagai bodyguard. Allandar lebih suka menyebutnya khusus. Karena pria ini punya tugas special.

“Bagaimana?” tanya Allandar saat ia kembali menoleh selepas menghentikan obrolannya dari saluran telpon. Pria muda itu tersenyum sambil menyodorkan satu buah amplop besar.

“Kami sudah mengurus semuanya, tinggal beberapa jam lagi. Berita itu akan tersebar seperti jamur di musim hujan”

“Bagus. Memanfaatkan keadaan anaknya ternyata memudahkan rencanaku.” Seringainya dengan sorot tajam.

Beberapa minggu yang lalu tersiar kabar kalau perusahaan kayu terbesar milik PT. Fajar Raya, baru saja menjadi milik Aland dengan total saham yang hampir membuat Allandar kebakaran jenggot. Ia tidak bisa membayangkan berapa keuntungan yang Aland dapatkan dari investasi itu. Dan berapa jumlah uang yang harus ia keluarkan untuk membeli berlusin slot saham milik perusahaan itu.

Pria paruh baya itu keluar ruangannya setelah berkemas. Lalu pamit pada Allandar.

“Kita lihat bagaimana aku perlahan membakar semua pencapaianmu.” Batin Allandar mengarahkan matanya pada potret dirinya dengan seseorang dari layar laptop yang terbuka.

***


TERBONGKAR SUDAH KEBOHONGAN PEMILIK PERUSAHAAN PROPERTI TERBESAR DI INDONESIA INI

Sebuah foto yang dikirimkan  ke jurnalis kami ini mengungkapkan kenyataan pahit hidup seorang Aland Anindiyatama. Pemilik Perusahaan besar di bidang property ini, ternyata memiliki anak perempuan yang ternyata mengalami penyakit psikis. Kembali dimasa silam dulu, Nyonya besar Anindiyatama pernah mengatakan bahwa cucunya telah meninggal. Ternyata ini jawabannya, mereka sengaja menyembunyikan identitas gadis itu agar nama baik Anindiyatama Group tidak jatuh.

Sumber yang mengatakan bahwa Aland sengaja membohongi masa demi perusahaan dan eksistensinya di depan public. Jadi benar kata-kata pepatah tentang; sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Aland mengalami kejatuhannya sendiri dengan menyembunyikan fakta besar ini dari public.

“Siapa yang mereka sebut sumber itu?” tanya Aland geram. Beberapa kali ia bolak-balik dari tempat berdiri. Telpon di mejanya sudah puluhan kali berdering. Dari rekan bisnisnya yang membatalkan kerjasama. Otomatis saham perusahaan Aland akan jatuh kalau terus begini. Tapi terpenting, berita ini jangan sampai ketahuan Elma. Bisa gawat!

Sekretarisnya yang duduk di seberang meja kewalahan membuka sambungan telpon saking cepatnya berganti. Aland frustasi. Satu nama yang tengah bersarang di otaknya, dalang dari berita sialan itu. Siapa lagi kalau bukan pria yang tadi pagi berdebat kecil dengannya. Balas dendam? Untuk apa? Pikir Aland berperang dengan logikanya.

Tak jauh beda dengan kondisi Aland. Ponsel Pio sudah jadi rebutan Meka dan Tya sejak berita itu menempati posisi trending di pencarian.

Penyebaran berita digital memang cepat. Akan cepat banyak orang tahu, termasuk Elma.

“Bagaimana kalau Elma tahu hal ini?” tanya Meka khawatir.

“Aku harap dia tidak membuka situs pencarian hari ini.” Pinta Pio, diangguki Meka.

“Apa Jey tahu hal ini ya?” tanya Pio, lalu menarik ponselnya dari tangan Tya. Menelpon Jey.

“Jey lo—”  belum sempat menyelesaikan ucapannya, Jey lebih dulu menyela.

“Ponsel Jey sedang di sita. Tuan tidak bisa menerima satu panggilan pun saat ini.”

Bukan Jey, ini bodyguardnya. Pio menatap nanar ponselnya yang mati. Memandang pada dua gadis di depannya.

“Kenapa?”

“Jey gak bisa dihubungi, ponselnya di sita.”

***

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang