45. Akhir Semuanya?

568 35 0
                                    


Semuanya tampak seperti adegan film action. Tak terduga. Mengejutkan dan mengerikan. Aku bahkan tak pernah membayangkan, jika hidupku sepahit ini hanya untuk mencecap kata bahagia.
***
Elma membuka matanya perlahan, setelah cukup lama pingsan karena bius itu. Ia mengerjap, memandang sekelilingnya. Duduk di sebuah kursi empuk dengan tangan terikat dan mulut yang tersumpal kain.

Matanya memicing ketika sadar, ada beberapa orang yang mau masuk ke dalam ruangan itu. Ah, dia baru sadar jika itu hanya sekedar ruangan biasa.

“Hai Nona …” sapa dua pria yang tengah masuk dan duduk di dekatnya. Menyetuh dagu gadis itu, menjalar hingga ke rahang Elma. Membelai pipi Elma yang dingin dan basah karena ketakutan.

“Tidak usah takut Nona, kami hanya mengajakmu bermain. Nikmati saja.” Ucap pria itu sambil menertawakan Elma yang mulai menangis. Ia sadar jika posisinya sekarang sangat rentan, ia bahkan tak tahu apa yang akan terjadi dengannya setelah dua pria itu berbenah untuk membawa sebuah kamera.

“Kamera bisa membuat orang lain tahu apa yang kita lakukan, betul tidak?” tanya salah satu dari dua pria tadi. Kali ini ia lebih bringas dari yang pertama. Pria itu dengan lancang, membelai tubuh Elma yang bergetar.

“Hei, kau lupa tugas kita hah?”

“Mencicipi sepertinya lebih asik ketimang membunuhnya langsung.”

“Halah! Bawa dia ke pesawat.” Lagi, Elma tak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar hal itu.  Badannya yang terikat dibopong keluar dari ruangan itu. Elma pasrah. Kali ini berharap mati saja ketimang hidup lagi. Sulit untuk menjalani semua ujian ini bagi Elma. Terlalu banyak pengorbanan sampai pada akhirnya semua orang yang ia sayang harus merasakan derita yang harusnya tidak mereka rasakan. Jadi, cukup, Elma memilih ini adalah akhir hidupnya.

Gadis itu juga yakin jika neneknya tengah menyekap orang yang ia sayangi saat ini. Dan jalan untuk menyelematkannya mungkin dengan berita kematian Elma. Baiklah, dia antusias menyambut kematiannya dengan cara apapun.

Jet pribadi yang tengah parkir di tengah hutan itu sudah menyala dengan baling-balingnya yang berputar cepat. Siap untuk membawa Elma menuju ajalnya. Dua pria itu menyapa seseorang yang akan jadi pilot mereka.

Elma memejamkan matanya yang sudah basah itu, lalu merasakan jika tubuhnya sudah mendarat manis di atas kursi pesawat yang empuk. Ya, setidaknya sebelum kematian itu ia merasakan kemewahan di dalam jet pribadi milik neneknya.

Ia dapat merasakan tubuhnya melayang. Jet pribadi itu melayang di udara, meninggalkan tempatnya.

Mungkin ini akhir.

Mungkin ini awal untuk dunia yang baru.

Maaf tidak mengucapkan selamat tinggal pada kalian.

Sepanjang perjalanan, Elma hanya bisa menangis. Meratapi hidupnya, mengingat sekian banyak kenangan manis yang sempat ia ingat. Ayahnya, Kakaknya Viliex, Guan, Jey dan teman-teman barunya. Elma mengulas senyum, ada kenangan manis yang sempat ia rasakan. Ya, mungkin itu jadi penawar kesedihannya untuk saat ini.

“Halo …” laki-laki yang tadi duduk di dekatnya mengangkat telepon dari seseorang. Jelas Elma tahu suara siapa yang tengah tertawa bahagia dari seberang telepon itu. Laki-laki yang asik menelpon itu berkata ‘iya’ lalu mematikan ponselnya. Mengambil kamera dan mulai menyalakannya. Elma disorot lebih dulu.

“Siap?” tanya laki-laki itu menarik dagu Elma lalu tertawa. Pesawat itu melayang-melayang setelah sekian jam melayang di udara. Elma menengok ke arah laki-laki satunya. Bukan main rasa takut yang menyelinap dalam hati Elma. Mereka kini tengah berada di sebuah lautan lepas yang entah ada di mana itu.

“Ku rasa perairan lebih cocok untuk bermain-main.” Kedua laki-laki itu tertawa. Membuka pintu pesawat yang mengarah pada sebuah pelabuhan. Elma dibopong untuk kedua kalinya menuju dek kapal. Ia tahu akhir hidupnya akan diceburkan ke lautan. Di makan hiu atau ada yang lebih parah dari itu?

Elma meringis membayangkan. Dilihatnya sekeliling, tampak para kru kapal sibuk. Elma ditinggal disebuah ruangan dengan keadaan terikat. Ia menatap beberapa kru kapal yang melintas di depannya, memandanginya dengan sorot iba.

“Nona, minumlah. Aku tak kuasa membiarkanmu begini kalau saja aku tidak terikat kontrak.” Ucap pria itu, diam-diam menyodorkan sebotol air, lalu membantu Elma meminumnya. Elma mengangguk berterima kasih setelah pria itu pergi.

Kapal mulai menyala. Dua laki-laki tadi datang dengan sebuah bola besi berukuran sedang dan borgol. Helaan napas Elma kian berat sadar akan fungsi dua benda itu. Pasrah. Elma pasrah.

***

“Ah, kau tidak boleh pasrah begitu saja cucuku.” Anindiya tertawa. Anak buahnya, membawa sebuah layar besar dengan LCDnya. Viliex memerhatikan mereka yang sibuk memasang perangkatnya.

Anindiya duduk di sisi layar itu, melipat kakinya. Tersenyum pada Viliex yang diam berusaha mencerna. Layar menyala. Ia membelalak kaget saat melihat pemandangan pertama.

“Bagaimana? Nenek pintarkan?”

“Lepaskan dia!  Fellma gak salah apa-apa di sini!” Viliex hilang kendali. Ia berusaha berontak.

Bugh!

Punggungnya dihantam lagi dengan siku penjaga itu. Tak kuasa menahan sakitnya, Viliex terjatuh. Meringkuk dengan kaki dan tangan terikat. Air matanya jatuh melihat Fella beserta kedua orang tuanya diikat di sebuah tiang.

“Nenek … ku mohon hentikan semua ini.”

“Terlambat sayang … nenek sudah sangat senang melihat kalian terluka.”

Ya Tuhan, bahkan Viliex kini berpikir kalau neneknya adalah psikopat. Apa ini betul? Mengingat bagaimana neneknya bertindak di luar nalarnya. Nenek macam apa yang tega membuat cucu-cucunya seperti ini.

“Nenek menyayangi kalian. Nenek juga ingin kalian bahagia. Tapi kebahagiaan nenek hilang saat kalian memilih Elma. Gadis yang bahkan sangat ingin nenek bunuh sejak dia lahir. Tapi nenek gak bisa. Nenek gak bisa bunuh bayi yang gak bersalah. Setidaknya nenek mengizinkan dia hidup, berharap Elma bisa menjadi sesuatu yang membuatnya bertahan di keluarga ini. Tapi apa?”

Viliex menahan tangisnya. Anindiya masih duduk di tempat yang sama, kali ini memejamkan matanya yang memerah. Napasnya naik turun.

“Posisinya mempermalukan keluarga yang nenek bangun susah payah. Dia menghancurkan segala bisnis nenek. Bahkan membuat ayah kalian benci dengan nenek.” Anindiya berdiri dengan tatapan nyalangnya. Menyuruh anak buahnya mengganti gambar di layar.

“Nenek menyayangi kalian semua. Tapi kali ini, biarkan nenek bermain dulu.” Dia terkekeh, menunjukkan seringaian yang sangat Viliex benci. Dia mendongak mendengar suara adiknya. Elma.

Berusaha bangun, Viliex menjatuhkan rahangnya saat melihat adiknya berdiri di ujung sebuah papan. Tangan dan kakinya terborgol serta di bawah kakinya terdapat sebuah bola besi yang siap membuat tubuh Elma terjun bebas ke dalam air.

Viliex menggeliat melihat adiknya berteriak ketika seujung pedang siap menghunus perut adiknya jika ia maju selangkah saja.

“Nenek! Ku mohon hentikan semua ini!” pinta Viliex dengan suara paraunya. Matanyaa memanas ketika melihat air yang semula tenang berubah jadi beriak. Terdengar teriakan sebelum akhirnya lenyap dari permukaan air.

“Elma ….” Viliex berteriak dengan wajah penuh air matanya. Dadanya terasa sesak. Napasnya tercekat, mulutnya kelu. Adiknya. Adiknya tidak akan mati kan?

Viliex berteriak-teriak sekencang yang ia bisa. Meluapkan kekesalan hatinya. Kesakitan hatinya ketika melihat wajah sendu Elma yang harus jatuh ke air. Katakan, kalau adiknya akan baik-baik saja?

Katakan kalau air tak akan membuat adiknya mati tenggelam, tapi bola besi itu yang menerjunkannya. Membuat kecipak terakhir hilang dari permukaan air. Membuat teriakan terakhir Elma mengiang di telinga Viliex.

Inikah akhir semuanya? Dia tak akan pergikan Tuhan?
***

Lama banget gak up cerita ini... aku sibuk sama sarapan kata dari grub kepenulisan. Yang tugasnya gak di wp. #gak ada yang nanya lo neng. Yaudah semoga terhibur...

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang