20. Kejutan Tak Terduga

617 29 0
                                    

Ibu bilang, mereka yang membencimu adalah orang paling perhatian. Mereka selalu mencari-cari kesalahanmu, sekecil apapun itu.

***
Eza beberapa kali menekan tombol panggilan terhadap nomor Jey, namun hanya bunyi dari operator telpon yang mengatakan kalau nomor yang dituju tidak aktif, padahal ia ingin membicarakan sesuatu pada adiknya itu.

Pria yang masih berada di ruangan kerjanya itu menatap gadis yang kini duduk termenung di sofanya. Sejak datang beberapa menit yang lalu, gadis itu tidak kunjung bergerak selain menatap ke arah jendela. Menunggu Eza menelpon adiknya, Jey.

Saking seriusnya, gadis itu tidak sadar kalau Eza sudah menempatkan bokongnya di samping tempat duduknya. Pria  itu menghela napasnya, seraya menggaruk tekuknya yang tak gatal.

“Nomornya tidak bisa di hubungi.”

Elma menoleh, tampang juteknya kini berubah menjadi kekehan yang pertama kali Eza dengar. Namun bukan kekehan lucu yang Eza dengar, tapi kekehan yang lebih pada tawa frustasi.

“Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja ya dok? Apa Dia tidak tahu kalau aku lelah dengan semua ini? Apa Dia tidak tahu kalau aku menderita jika terlalu lama hidup?”

Eza merutuki perkataan Elma dalam hati. Elma tidak bisa disinggung sedikit saja perasaannya. Gadis ini sudah terlalu jauh tercebur dalam kubangan sakit hati, hingga satu penyelesaian saja yang tertanam di benaknya, yaitu mati. Mungkin bagi penderita seperti Elma, mati adalah jalan utama, tapi mereka sebenarnya juga takut mati.

Penderita self injury punya banyak alasan yang membuat mereka ingin mengakhiri hidup mereka, terutama sakit hati. Dan gadis di samping Eza adalah contoh nyata yang ia temui.

Gadis ini sudah dikucilkan keluarganya sejak lahir. Tapi melalui didikan ibunya, Elma tumbuh menjadi gadis yang tegar, namun ketegaran yang dibangun ibunya hancur seketika. Kepergian ibunya adalah awal kehancuran hidup Elma yang sesungguhnya.

Eza menoleh. Mungkin karena Jey, gadis ini mau berbicara banyak pada orang lain.

“Aku ingin menjadi pendonor organ tubuh bagi mereka yang membutuhkan.” Ucapnya, mengulas senyum.

Eza terdiam menunduk, ada bagian hatinya yang terenyuh dengan impian kecil gadis ini. Namun Eza juga punya impian untuk gadis ini, ia tidak ingin impiannya yang terbangun sejak awal sia-sia.

Eza tersenyum, “Aku juga punya impian.”

“Apa?” Elma menarik tiang infusnya agar berada di dekat tubuhnya.

“Membuat orang-orang yang berkecil hati karena sakitnya jadi bahagia. Paling tidak mereka bisa hidup lebih lama dengan orang yang mereka sayangi. Kegagalan bagi seorang dokter adalah suntikan mematikan. Jadi, jadilah pasienku yang punya semangat hidup. Mereka yang menyayangimu pasti ingin merangkulmu nanti. Elma, penyelesaian bukan berarti harus mengakhiri sesuatu dengan menghilang.” Eza tersenyum. Menepuk pundak gadis itu.

Elma tertunduk mendengar hal itu, air mata yang selalu ia simpan untuknya kini tembus keluar di hadapan Eza. Ia menatap pria itu tidak yakin, lalu menggenggam tangan pria itu.

“Bagi orang yang menyayangi, kehadiranmu adalah suatu keajaiban Tuhan.”

***
Elma menyeret tiang infusnya pelan, langkahnya terseok-seok karena lemas. Ia duduk di pinggir ranjangnya, sambil  menangis. Sesekali  memukul ranjangnya, menahan isakan yang hampir keluar dari mulutnya.

“Tuhan selalu punya kejutan yang indah di akhir sebuah masalah.” Ucapan Eza itu mengiang di telinga Elma setelah ia melangkah keluar ruangan itu.

Gadis dengan surai cokelat itu menelungkupkan kepalanya di lutut. Namun ia mendongak mendengar suara sesorang yang tengah memasuki kamarnya. Pria itu agak terkejut dengan keadaannya , sampai-sampai ia ikut berjongkok dan menyentuh pundak Elma.

“Kamu, baik-baik saja?” tanya dokter Febian, pada Elma yang belum meredakan tangisnya. Elma mengangguk.

“Aku kesini cuma mau memberi kabar baik untukmu, kamu boleh pulang besok. Untuk masalah kanker darahmu, kita coba akan carikan pendonor. Berdoalah.”

Elma mengusap air matanya.

“Aku punya satu pesan untuk kamu. Sayangi dirimu, ada banyak orang yang ingin berada di posisimu, punya keluarga yang baik, suadara yang perhatian, juga kekasih yang tampan. Apa itu bukan sebuah anugerah yang patut dipertahankan? Coba sadari itu.” Elma menundukkan kepalanya--lagi, ia sadar selama ini terlalu menghakimi Tuhan. Dan terlalu menuntut kebahagian , seolah apa yang Tuhan beri belum bisa membuat dirinya sadar.

Dengan anggukan dari kepalanya itu membuat Febian kembali berucap, “Elma, apapun itu, yang menggenggam usia manusia itu adalah Tuhan. Kita berusaha sekuat tenaga pun, jika Tuhan ingin mengambil milik-Nya, maka  dia akan pergi. Tapi jika Tuhan berkehendak lain, aku yakin Dia akan menyelamatkanmu, meski diagnosa dokter mengatakan kamu akan mati. Jangan menyerah, okay?”

Elma hanya bisa menunduk mencerna ucapan penuh makna dari dokter Febian yang selama beberapa hari ini merawatnya dengan baik.

Dokter dengan tubuh besar itu meninggalkan ruangan Elma, diganti dengan kehadiran sosok yang tidak pernah ia duga akan datang keruangannya. Elma beringsut memegangi ujung ranjangnya yang berbahan besi itu. Takut, itulah yang tengah ia rasakan ketika tatapan penuh kebencian itu menghujam seluruh tubuhnya.

Ia tersenyum sinis pada Elma, “Kenapa belum mati?”

Dan semangat yang dibangun dokter itu seketika lebur dalam sekejap mata. Hancur berkeping-keping.

Kejutan Tuhan kah ini, hingga Dia mempertemukan Elma dengan seseorang yang membuatnya hidup dalam kungkungan penderitaan. Apakah perempuan tua ini ingin menyakitinya? Elma beringsut naik ke bangsalnya. Menatap heran pada sosok Anindiya—neneknya.

“Kenapa nenek ke sini?” tanya Elma hati-hati. Anindiya melipat tangannya di dada, melangkah pelan menuju bangsal Elma, sambil terus melempar tatapan tajamnya.

Elma naik bangsalnya dengan gugup. Menutup separuh tubuhnya dengan selimut.

“Kenapa? Kamu bertanya kenapa? Jelas sekali bukan, dari pertanyaan pertamaku tadi? Kapan kamu pergi? Rasanya enggan bernapas satu udara dengan kamu.” Elma tertohok tepat di ulu hatinya.

Matanya memanas. Tangannya menggenggam kuat ujung selimut, melampiaskan emosinya yang teredam.

“Kenapa? Marah? Kenyataan memang pahit, Elma. Kamu itu cucu tak diharapkan.” Ucap Anindiya tanpa beban, ringan dan menusuk. Elma diam sesaat, menunduk dalam.

Percuma ia melawan, selamanya sudut pandang neneknya tak akan berubah. Ia hanyalah anugerah yang tak diinginkan.

“Iya, mungkin memang seperti itu.” Sahut Elma pelan, lirih hampir tak terdengar. Anindiya terkekeh, lalu beranjak mendekati Elma. Mengelus pucuk kepala gadis itu, lalu dengan jari telunjuknya mendorong keras kening Elma. Tubuh Elma terhuyung ke samping.

“Sadar. Cepat pergi dari Negara ini. Jengah melihatmu berkeliaran di negeri ini.” Ucapnya mengambil tempat di sofa, melipatkan kakinya yang kurus itu. Terbalut stoking hitam. Tas merk mahal itu tak lepas dari pergelangan tangannya yang membentuk sudut itu. Elma menatap Anindiya sesaat.

“Tapi aku harus operasi, Nek.” Sela Elma tak terima. Anindiya menoleh.

“Itu bukan urusanku. Urusanku hanya ingin melihatmu pergi secepatnya, dengar itu kan?” tanya Anindiya angkuh. Elma memejamkan matanya, menahan airmatanya yang hampir jatuh menuruni pipinya.

“Untuk apa aku bertahan dan berjuang?” batinnya tersiksa.

***
happy reading kalian yang nyampe sini.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang