23. Dia Anya

567 32 0
                                    

Dunia memang indah, tapi siapa tau jika suatu hari kau akan mengecap kepahitan yang luar biasa darinya.

***
Bunyi mesin dari pengolah kayu itu memekakkan telinga Aland, ia dengan setelan kemeja berwarna biru muda itu menutup mulutnya dengan masker yang di serahkan pihak perusahaan yang kini jadi tujuan investasinya.

Beberapa supersivior yang menemaninya membawa pria itu berjalan ke ujung pabrik yang ia kunjungi. Luas pabrik ini melebihi perkiraan Aland, ia pikir perusahaan kayu tidak sebesar dalam benaknya. Perusahan plywood ternyata lebih besar dari lapangan sepak bola. Aland beberapa kali menahan mulutnya untuk tidak berdecak kagum melihat mesin yang berada di dalam gudang itu.

“Ini namanya press dryer bagian ini untuk mengeringkan kayu yang baru keluar dari rotary—tempat  kayu pertama kali diolah.” Aland menganggukkan kepala sembari melempar senyum pada para pekerja yang melihat mereka dari atas mesin.

“Ini namanya barecore, bagian ini akan di lapis dengan board yang di kerjakan di bagian ini, untuk melakukan pelapisannya, kita akan bawa bapak ke bagian  glue speader.” Aland mengikuti saja apa yang di ucapka general manajer yang menemaninya kali ini. Pria dengan topi putih itu menghidupkan rogernya, menghubungi supervisior yang tengah mengawas di sana.

Bau lem yang menyeruak semakin membuat Aland menahan mulutnya untuk tidak mengumpat pada bau yang dihasilkan. Ia yakin jika para pekerja juga merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan kali ini.

“Bagian ini bertugas mengelem board yang tadi di kerjakan di bagian faceback, dengan core soting.” Aland mengangguk lagi menatap pada bagian role besar yang berputar menarik kayu lapis tipis itu menuju lem yang keluar pada bagian pipa belakang. Di belakang mesin besar itu menanti 4 sampai 6 orang untuk menarik kayu lapis yang akan di gabungkan.

“Apa di sini pernah terjadi kecelakaan kerja?” tanya Aland saat melihat seorang pekerja yang kehilangan jarinya.

“Jangan ditanya lagi pak, namanya juga mesin. Kemarin ada satu pekerja kami yang buta karena terkena ledakan di bagian dryer.” Pria bertubuh bongsor itu membawanya lagi ke jalur yang berbeda. Terdapat banyak tumpukan kayu lapis yang sudah ready stok , dengan berbagai ukuran.

“Kami tidak bisa mencarikan donor matanya, jadi kami memintanya untuk berhenti dan memberi uang jaminan selama satu tahun.”

“Kapan kejadiannya?”

“Sekitar 2 minggu yang lalu. Dia masih di rawat di rumah sakit, dokter bilang dia depresi karena hal ini. Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga musibah.” Ucap pria tua itu pada Aland yang terus mengedarkan pandangannya ke segela penjuru gudang.

“Kita sudah sampai di kantor, saya harap anda bisa menginvestasikan modal usaha anda di perusahaan kami. Anda tidak akan kecewa jika sudah menanamkan modal anda di sini pak.” Ucap pria itu sopan pada Aland yang sudah merogoh sakunya untuk mengambil pulpen.

“Saya tertarik untuk menanam modal di sini melihat kalian begitu menjaga pekerja kalian. Kalau boleh saya mau tau siapa nama orang yang mengalami kecelakaan 2 minggu lalu itu.”

“Namanya Sonya, biasa di panggil Anya. Dia dirawat di rumah sakit Bakti Cahaya.”

***

Gelap. Gelap. Dan gelap. Anya hanya mampu menatap latar hitam. Menyeramkan. Tak ada cahaya. Semuanya tampak menyesakkan. Anya terisak di sudut bangsalnya, memeluk lututnya yang bergetar.

Kecelakaan kerja yang dia alami membuat kedua matanya mengalami kebutaan. Anya merasa ujian hidupnya teramat berat. Ada banyak tanggungan hidup yang mesti ia pikul. Tapi dengan keadaan buta ini, ia akan jadi apa setelah ini? Teronggok seperti sampah. Anya benci itu.

Dia melotot saat suara derit pintu kaca itu bergesekan dengan lantai rumah sakit. Anya lebih peka pada suara serta bau sekarang. Setelah satu indranya hilang direnggut sebuah ledakan.

“Siapa?” tanyanya.

“Anda Sonya?” tanya pria itu. Anya mengangguk antusias, kakinya terlipat dengan pandangan kosong tanpa arah. Tangan meraba tempat tidur, pria itu berjalan menghampiri Anya, membantu gadis itu untuk duduk dibangsalnya.

“Nama saya Aland. Saya salah satu investor dari perusahaan Fajar Raya. Tempat kamu bekerja.” Anya membelalak kaget. Matanya berkaca-kaca, mungkin mengingat bagaimana ledakan itu merenggut penglihatannya.

Aland mengambil tempat disalah satu kursi di dekat bangsal Anya.

“Bagaimana keadaanmu? Baik?” tanya Aland memerhatikan Anya yang tampak pucat. Gadis itu menggeleng.

“Tidak baik, seperti yang anda lihat.”

“Saya tahu, berat menerima ini. Tapi saya juga mengalami hal sulit sekarang.” Anya berusaha menoleh meski tatapannya mata mengarah ke lain.

“Semua cobaan itu ada kadarnya dengan batas kemampuan kita, kamu hanya direnggut penglihatan oleh Tuhan. Suatu hari nanti kamu bakalan menerima donor dari orang baik. Sabar.” Ucap Aland bijak.

Anya nampak tak puas dengan kata-kata Aland, ia berusaha menoleh ke arah yang dirasa benar, sambil berkata, “Pak, mungkin berkata bijak sangat gampang. Tapi akan jadi omong kosong jika tak mampu melakukannya. Sabar seseorang memang tak berbatas, tapi ia tak tahu sampai kapan kesabarannya dapat bertahan.”

Aland terhenyak memandang Anya yang berpaling wajah darinya.

“Sonya, anak saya mengalami kelainan. Dia suka menyakiti diri, bahkan pernah melakukan percobaan bunuh diri. Sekarang dia diberi penyakit kanker darah oleh Tuhan. Apa yang lebih buruk dari  kehilangan? Kamu bisa jawab?” Aland menunggu reaksi Anya yang diam. Menunduk.

“Aku juga kehilangan ayah dulu, sewaktu kecil.”

“Aku juga kehilangan istri.” Sahut Aland.

“Dan sekarang Tuhan seperti tengah mengujiku. Kamu tahu, dunia ini punya topengnya tersendiri. Pertama-tama ia akan mengenalkan keindahannya padamu sampai kau terlena, lalu menjatuhkanmu pada titik terbawah, sampai kau berharap kematian datang saja.” Aland menghela napas panjang. Mengarahkan tangan kanannya untuk menggenggam tangan Anya yang dingin.

“Jangan frustasi, mereka yang buta masih bisa hidup seperti orang normal. Kamu patut bersyukur masih hidup. Aku mengatakan ini karena tak ingin kamu berlarut-larut menyalahkan Tuhan.” Aland mengulas senyumnya. Anya hanya terdiam sebelum akhirnya mengangguk paham.

“Semoga kabar baik datang setelah ini. Aku ingin bertemu anakmu, kapan-kapan.” Ucap Anya diangguki oleh Aland.

***

Sepulang dari rumah sakit. Aland menemui Elma. Gadis itu tengah asik dengan buku catatannya. Menulis sesuatu yang tak Aland ketahui. Namun ia tahu, gadis itu tengah menuliskan kejadian  hari ini. Mungkin sedih, mungkin juga senang.

Sesaat hening ketika Aland mengintip tulisan tangan anak perempuannya.

“Jey berkunjung? Bagaimana bisa?” tanya Aland ketika Elma menuliskan kejadian tadi siang di kamarnya.

Elma terperanjat. Menoleh langsung pada asal suara di belakang tubuhnya. Aland menyengir.

“Ayah? Bukannya—”

“Ayah pulang hari ini, karena mau cerita sesuatu ke kamu.” Aland mengambil tempat di dekat bangku belajar Elma. Gadis itu menutup buku catatannya. Menatap heran pada ayahnya yang nampak berbeda hari ini. Bukan tampilannya. Tapi cara bersikapnya.

“Kamu berbeda akhir-akhir ini, karena Jey?” tanya Aland pada Elma yang kaget. Namun tak mampu menyembunyikan rona merah pipinya.

“Berubah seperti apa, Yah?”

“Sikap dingin kamu, ayah senang melihat kamu bergaul seperti ini.” Aland menyentuh pucuk kepala Elma lalu mengelusnya pelan.

“Tadi ayah bertemu gadis yang namanya sama dengan ibu kamu. Anya. Tapi aslinya, Sonya. Dia mengalami kecelakaan kerja, matanya buta. Dia frustasi, ayah jadi ingat kamu. Pasti awalnya begitu, kan?” Aland menatap manik mata Elma yang berkaca-kaca.

“Pasti berat, menghadapi itu sendirian. Tanpa ada yang tahu. Ayah ngerti kenapa kamu begini. Ayah terlalu menikmati pekerjaan ayah, itu semua demi melupakan ibu kamu.” Elma memandang wajah ayahnya yang mulai menua itu.

“Ayah sadar, peran ayah hilang untuk kamu. Ayah melupakan kalau kamu selama ini tertekan karena nenek.” Aland mulai serak, membuat air mata yang Elma tahan harus jatuh perlahan. Tangan terulur memeluk lengan Aland yang bergetar.

“Ayah minta maaf. Selama ini egois. Ayah akan usahakan kamu tidak pergi dari sini.” Elma menangis. Aland sama halnya dengan Elma. Sama-sama menumpahkan air matanya dalam pelukan.

Elma sadar, waktu membuka semuanya perlahan. Hatinya. Segala hal yang ia hindari. Selama ini ia salah menilai orang. Tak semua orang akan membenci Elma karena kelainannya. Mereka justru peduli. Elma lah yang justru tak perduli dengan dirinya selama ini.

“Ayah sayang kamu.”

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang