31. Sebelum Kejadian

511 31 0
                                    

Sadar atau tidak. Kamu adalah hal yang ingin aku gapai bagaimana pun caranya.
***
-Satu jam sebelum kejadian-

“Iya, cepat laksanakan tugas dariku. Aku menantikan kabar itu.”

“Apartemen Venus, lantai 14 nomor 134. Kalau perlu bunuh bodyguardnya itu.”

Jey berlari secepat mungkin memasuki kamarnya, ia bergegas menuju meja belajarnya dan mencatat apa yang baru saja ia dengar dari ruang kerja ayahnya.

“Apartemen Venus, lantai 14 nomor 134. Baiklah, sekarang aku harus pergi ke sana.” Jey bergerak terburu-buru menuju lemari pakaiannya, mengambil sembarang jaket kulit merk Doff Jason itu, kemudian memakai maskernya. Jey bergegas membuka pintu, dan bukannya bisa bebas dari kurungan sederhana itu. Jey justru di hadang dua penjaga yang baru saja datang itu.

“Sialan!” Umpatnya setelah di dorong paksa untuk masuk kamarnya lagi. Jey memijit pelipisnya, berjalan mondar mandir mencari cara agar bisa menyelamatkan Elma. Jey melongokkan kepalanya di jendela, dan ia bersyukur para penjaga itu hanya beberapa orang saja, sedangkan sisanya penjaga dari Aland yang senantiasa menjaga majikan mereka.

Jey punya rencana untuk mengibuli para penjaganya itu. Tapi ia harus bisa menarik satu perhatian anak buah Aland untuk membantunya. Pria itu berlari kecil menuju meja belajarnya lagi, dan menuliskan sesuatu di sana. Ia mencari sesuatu yang agak berat supaya kertas itu bisa mendarat dengan mulus ke bawah.

Dan mata jeli Jey menangkap sebuah spidol hitam miliknya. Ia dengan cepat mengikatkan kertas itu dengan benang yang ia dapat dari rak kecil di mejanya. Jey mencari penjaga Aland yang agak dekat dengan jendelanya sekarang, dan berharap apa yang ia lakukan tidak di curigai penjaganya.

“Ku mohon bantu aku, Tuhan…” batinnya hingga dalam hitungan ketiga Jey melemparkan spidol beserta kertas itu ke bawah. Tepat di mana seorang anak buah Aland berdiri dengan tegapnya. Pria dengan jas hitam itu mengaduh saat merasakan benda menjatuhi kepalanyanya. Sontak ia memungut benda itu dan menoleh pada beberapa penjaga yang acuh saja.

Penjaga itu berjalan menuju bak sampah di dekat pintu namun urung setelah melihat lilitan benang. Ia mundur sedikit menuju tempat yang agak sepi dari penjaga lain.

“Aku Jey, kau sudah pasti tau. Tolong aku untuk kabur dari kamar, saat ini Elma dalam bahaya. Ayahku baru saja mengirimkan seorang pembunuh bayaran. Ku mohon bantu aku, alihkan para penjagaku itu. Ku mohon. Aku ada di atas.”

Pria itu mendongak dan menemukan Jey tengah mengatupkan kedua tangannya, memohon pada anak buah Aland itu. Pria itu mengacungkan jempol, membuat Jey bernafas lega. Sekarang yang harus ia lakukan adalah mencari cara agar bisa turun selagi anak buah Aland itu mengalihkan perhatian para penjaganya.

“Sekarang aku harus mencari kendaraan untuk ke sana. Setengah jam cukup untuk membujuk bodyguard agar menyerahkan ponselku.” Jey melepas maskernya. Membuka pintu kamarnya, disambut tatapan sadis dua penjaganya.

“Aku mau makanan—apapun itu dan es kepala muda. Ada di pertigaan. Kalian belikan.” Ucap Jey, kedua pria berbadan atletis itu mengerutkan keningnya. Lalu pergi. Jey mencelos memegangi dadanya, kini waktunya ia mengendap mengambil ponselnyaa yang ada di kamar ayahnya.

Berapa langkah ia harus mencapai kamar itu? Dua puluh langkah besar? Intinya ia harus segera melangkah, sepelan mungkin. Dengan berjalan mengendap, ia segera membuka kamar sang ayah. Mencari ponselnya. Ada di dekat berkas. Jey membuka perlahan pintu kamar. Ada penjaga yang baru saja turun, keluar dari ruang kerja ayahnya. Jey berlari sepelan mungkin. Lalu masuk ke kamarnya.

“Pio? Aku harus telpon dia.” Jey mendial nomor Pio dan pria itu cepat merespon sambungannya. Jey segera mengatakan kalau ia perlu bantuan. Perlu kendaraan untuk menyelamatkan Elma.

“Kalian harus bantu bodyguard ayah Elma mengalihkan perhatian penjaga. Setengah jam kalian bisa sudah siapkan?”

“Secepat yang gue bisa, Jey. Lima belas menit. Kendaraan siap.” Jey segera mematikan sambungan telpon. Waktunya tidak banyak. Penjaga yang membelikannya makanan. Dan mobil Pio. Dia harus segera keluar.

Sementara itu ….

“Hei, Nona Elma dalam bahaya, bantu Jey untuk kabur. Alihkan perhatian dua penjaga di dekatmu. Aku akan alihkan penjaga di dekat Arto.” Setelah mengirimkan ucapan itu lewat penghubung yang selalu terpasang satu sama lain itu. Anak buah Aland itu mendekati sang penjaga yang tengah berdiri dengan posisi siapnya.

“Apa di sini ada tempat penyeduhan kopi, aku agak ngantuk.” Ucap penjaga bernama Arto itu setelah mendapatkan titah dari anak buah yang tadi.

Penjaga Allandar itu menoleh dan mengulur tangannya ke depan. “Ikuti aku.” Ucapnya berjalan menuju post satpam yang berjarak agak dekat dengan pagar.

“Oh aku juga agak lapar, bisakah kau membawaku ke sebuah warung?” ucap Arto lagi, pria berbadan kekar itu mengangguk dan berjalan menuju luar pagar. Tanpa curiga sedikitpun terhadap sikap penjaga lain itu. “Mungkin kita harus keluar komplek ini dulu.” Arto mengangguk memaklumi.

Sedangkan penjaga lain menuju sayap barat, tempat belakang rumah. Mereka menyuruh penjaga itu menunjukkan tempat toilet. Melihat situasi mulai aman, anak buah Aland tadi segera mengisyaratkan Jey dengan memanggil nama pria itu agak pelan.

Jey mengulur horden dan berbagai jenis kain yang ia ikat jadi satu supaya memanjang. Beragam jenis kain itu, ia ikat pada jendelanya. Dengan perlahan ia turun. Dan mencapai tanah dengan selamat.

“Terima kasih.”Jey berlari perlahan, keluar dari area taman. Ia membuka ponselnya. Tepat saat Pio menelponya.

“Pos satpam. Cepat, kami sedang berbincang dengan mereka. Kendaraan, ada di depan rumah atas nama Pak Supratno. Cepat!”

Jey mengendap, posisi Pio dan Meka cukup menutupi ruang terbuka yang berpotensi untuk menangkap basah dirinya yang tengah berlari sekencang mungkin. Kabur ke arah rumah yang disebutkan. Sebuah kendaraan mewah bermerk Ducati Panigale R menunggu Jey dengan gagahnya. Jey sumringah disuguhi motor mahal itu.

“Dia mau gue merusak Ducatinya kali ya.” Batin Jey langsung tancap gas.

***

Jey berlari secepat mungkin, menaiki lift dengan perasaan tidak karuan. Ia berharap lift ini melaju secepat mungkin agar ia bisa tepat waktu menyelamatkan orang terkasihnya itu. Lift itu berhenti di angka 14, Jey segera keluar dan mencari nomor 134, dan untung pintu itu tidak kunci otomatis.

Jika tidak, usahanya mencapai apartemen itu akan sia-sia. Ia segera masuk dan melihat seorang pria terluka di bagian lengannya, juga Elma yang ketakutan memegangi pundak pria itu.

Jey mencari sesuatu untuk menghajar pria yang setia dengan soft gunnya. Sebuah bangku dari jati itu berusaha ia angkat. Dengan perlahan ia berjalan, berada di belakang pria dengan penutup muka itu. Menghantamkan bangku itu sampai ia roboh.

Jey tegang, ia yakin orang itu sudah pingsan. Elma dan pria itu berlari ke arahnya, Jey menarik spontan tangan Elma, memeluknya. Gadisnya bergetar dalam pelukannya. Sudut matanya menangkap ekspresi jengah pria itu.

Jey melepaskan pelukannya pada tubuh Elma yang bergetar. Ia menatap lengan pria yang tak ia kenal itu.

“Lo harus di bawa ke rumah sakit.”

     “Aku pikir kamu berniat meninggalkanku. Tapi terima kasih.” Ucap Nata dengan kekehannya

“Bukan saatnya. Ayo.” Jey menarik Nata dan Elma keluar.

***
Jey mengakhiri ceritanya dengan helaan napas panjang.

“Lo nekat juga.” Celetuk Guan. “Jadi bangga punya mantu kek gini.” Celetuk Aland. Guan langsung memukul pelan ayahnya, menyadari rona merah Elma dan Jey.

“Jadi sekarang gimana Yah?” tanya Viliex, setelah cukup lama menyimak cerita Jey. Namun pekikan dari Fellma membuat semuanya terkejut. “Elma!”

***

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang