Takut adalah hal wajar. Tapi jangan sampai takutmu menenggelamkanmu pada titik di mana, kamu tak percaya pada dirimu sendiri.
***
Sepulang sekolah, Elma meminta Greo untuk mengantarnya ke rumah sakit Bakti Cahaya, tempat Anya dirawat.
Ayahnya sudah mencatatkan nomor kamar Anya di catatannya. Elma membuka bukunya, penuh dengan catatan pribadinya. Ia masih ingat catatannya itu pernah jatuh ke tangan Jey tanpa sepengetahuannya. Jika saat itu tak terjadi, mungkinkah Elma akan seperti sekarang? Mungkin saudara-saudaranya akan semakin jauh darinya.
Greo mengintip dari balik kaca mobil.“Nona suka menulis?” tanya Greo. Elma mendongak, lalu mengangguk mengacungkan catatannya.
“Ibu pernah bilang, terkadang seseorang perlu menuangkan kesedihannya pada tulisan. Karena manusia sulit dipercaya untuk mengemban rahasia.” Greo tersenyum di depan kemudi.
“Nyonya pernah memberi Nona buku catatan dengan rajut nama di cover depannya, bukan?” Elma mengangguk antusias.
“Iya, belum aku isi sejak ibu meningggal. Cuma itu kenangan dari ibu.” Elma menyimpan buku itu dalam nakas terbawahnya. Masih utuh dengan kotak kadonya.
Setengah jam perjalanan, Elma akhirnya diantar seorang suster ke depan kamar Anya. Langkah kecil Elma sampai di depan pintu kaca itu, ia melongokkan kepalanya untuk melihat kondisi Anya.Perempuan itu tengah meringkuk di sudut bangsalnya, menatap ke atas dengan kosong. Seperti manusia kehilangan cahaya dalam hidupnya, dan Anya mengalami itu.
Elma dapat mendengar gumaman kecil gadis itu dari arah pintu. Tak jelas. Suara derit pintu menghentikan bibirnya yang bergumam. Anya menatap kesembarang arah. Terkejut dengan bunyi pintu.
Elma berjalan menuju bangsal Anya yang terlihat acak-acakan, mungkin gadis itu tadi mengamuk melihat bantal yang berada di bawah ranjang. Elma memungutnya.Mata kosong gadis itu mengerjap-ngerjap, hidungnya terlihat mengendus bau tubuh Elma yang melintas di depannya.
“Suster?”
“Bukan. Aku Elma.” Elma mengambil tempat di samping Anya. Mengamati perubahan wajah Anya. Dia tengah berpikir.
“Anak dari pria yang tempo hari ke sini?” tanyanya terkejut.
“Haha, iya. Salam kenal, Sonya.” Anya tersenyum tipis.
“Kamu ke sini ingin menjengukku?” tanya Anya menoleh pada arah yang salah.Elma menggeleng pelan, terkekeh dengan reaksi Anya yang lucu. Ia menangkup wajah Anya, mengarahkan pada arah yang benar. Jelas saja Anya jadi malu sendiri.
“Hehe, maaf. Aku belum terbiasa menyesuaikan arah suara di mana.”
“Tidak masalah. Aku ke sini mau mengajakmu keluar kamar. Mau? Kamu pasti tahu betapa jengahnya berada di kamar. Dulu aku juga sering bertapa di kamar sendiri.”
“Baiklah, dengan senang hati.” Anya tertawa pelan.Elma menggenggam tangan Anya, menuntun gadis itu untuk keluar. Embusan angin membuat Anya terhenyak. Bunyi kereta roda dari pasien lain membuatnya celingak-celinguk mencari asal suara. Mungkin agak berisik baginya.
Elma terus menuntunnya menuju taman rumah sakit. Di sana ada kolam kecil, berbunyi gemiricik air yang lembut. Banyak bunga, juga orang-orang yang tengah mencari ketenangan.
“Ada suara air. Ah, ini pasti rumput. Kamu sengaja melepaskan sandalku untuk ini?” tanyanya sangat antusias. Elma menduduk Anya pada pinggiran kolam.
“Kamu di dekat kolam. Mau menyentuh air?” tawar Elma lagi. Anya mengangguk.
Elma menarik jari jemari Anya menuju air di kolam, memasukkan jari kecilnya. Anya sempat kaget, karena dingin. Selanjutnya ia menggerak-gerakkan tangannya. Mencipratkan airnya pada baju seragam Elma.
Elma menatapnya sambil terus memerhatikan gerakan jari gadis itu.“Dulu saat aku sakit, aku berharap ada orang yang mengajakku ke taman. Tapi, semuanya sibuk.” Elma membuka permbicaraan. Anya terhenti. Kali ini tatapannya tepat ke wajah Elma. Tanpa ekspresi.
“Apa kamu udah dapetin donornya?” tanya Anya hati-hati. Elma terdengar frustasi dengan tawanya. Mendadak cairan darah itu keluar dari hidungnya, Elma menyentuh hidungnya. Sedangkan Anya sudah menghidu. Sadar akan bau darah dari hidung Elma.
“Apa kamu-, kamu mimisan?” Anya panik, ia mengangkat tangannya hendak menggapai Elma.
“Tenang. Aku sudah biasa mimisan. Akhir-akhir ini memang sering mimisan.” Ucap Elma santai, ia menyumpalkan sapu tangannya di hidung.
Elma baru sadar, “kamu peka sekarang!”Anya menunjuk dirinya, “Peka? Hah?” dia terkejut sendiri setelah sadar dengan suara dan bau yang ia rasakan.
Anya memekik girang, lalu jatuh ke tanah. Elma langsung menolongnya, namun Anya malah tergelak.
“Akhir-akhir ini aku seperti mayat hidup. Tapi sekarang aku malah merasa tidak apa-apa setelah kehadiran kamu. Terima kasih Elma.” Anya mengulas senyum kesekian kali.Anya dan Elma duduk di bangku taman.
“Kamu tahu, sejak dikatakan kalau aku buta. Rasanya aku mau mati saja. Berhari-hari aku mengurung diri. Mogok makan. Sampai pada titik di mana aku ingin bunuh diri. Namun gagal, karena suster datang memergokiku.” Anya tertawa.
Elma menggeser tubuhnya menghadap Anya, “Lalu?”
“Seseorang datang—ayahmu. Dia membuatku sadar beberapa hari ini. Aku tidak sendiri mengalami ini. Ada banyak manusia yang Tuhan uji. Saat ini. Termasuk ayahmu, dia dan tentang ketakutannya.”
“Apa?” tanya Elma penasaran.
“Kehilangan kamu.” Elma menelan ludahnya susah payah. Terkejut. Hatinya terasa di remas. Napasnya seperti ditahan, terasa sesak. Ada perasaan yang sulit ia jabarkan sekarang. Seseorang yang selama ini acuh dengannya. Kemarin bercerita tentang kelalaiannya, tentang keegoisannya. Kini ketakutannya.
“Ayah takut kehilanganku.”“Manusia memang memiliki ketakutannya tersendiri. Kehilangan adalah momok menakutkan bagi manusia. Apapun itu. Saat itu aku sadar, kehilangan penglihatan tak akan sama dengan takutnya kehilangan seseorang yang kamu sayang. Berbeda. Ayah kamu menegaskan secara halus padaku,” Anya menatap ke depan, lalu tersenyum.
“Kehilangan adalah cara menyadarkan kesalahan kita selama ini. Kesalahan yang tak pernah kita sadari saat itu.”
Elma menahan sesuatu yang mengalir dari matanya.“Ini bukan drama kamu tau, mungkin ngomong seperti ini terdengar omong kosong. Menjalani adalah hal tersulit. Aku tengah mengemban tugas itu. Merelakan satu indra hilang.” Ucap Anya lirih, matanya memerah.
“Astaga!! Aku ngomong terus dari tadi.” Anya menggaruk tekuknya. Senyumnya tersungging alami. Elma mengelus punggung tangan Anya.“Justru kata-katamu tadi menegaskan aku juga. Aku harus bisa bangkit, bukan begitu?” Elma memajukan tubuhnya, sambil terkikik melihat Anya yang melongo. Ekspresinya lucu, pikir Elma.
Satu jam berada di rumah sakit cukup membuat saudara-saudaranya khawatir sampai harus menyusul Elma ke rumah sakit. Viliex dan Guan menggeleng heran saat Elma melenggang keluar dari kamar Anya.Ia menyampirkan jas sekolahnya di bahu, cukup terkejut dengan kehadiran Guan dan Viliex yang duduk di kursi tunggu.
“Loh? Kalian menungguku?” tanya Elma menunjuk dirinya, dengan tampang bodoh. Guan dan Viliex berdiri bersamaan, lalu mendekat.“Kelamaan tau, makanya kita nyusul.” Viliex menarik bahu Elma, agar mendempet padanya lalu berjalan beriringan. Guan merundukkan sedikit kepalanya, sambil tersipu.
“Gadis itu siapa Kak?”
“Ouh itu? Dia Sonya.” Balas Elma, menatap Guan yang menggaruk tekuknya.
“Kamu suka? Kalau suka ntar kita urusin masalah PDKT-nya.” Ucap Viliex, langsung ditonjok Guan di bahunya. Pria itu berjalan lebih cepat di depan, tak menghiraukan panggilan Vililex di belakangnya.
“Adek kita udah gede.” Ucap Viliex mengerling pada Elma. Lalu tertawa sambil mengejar Guan yang sudah lari duluan ke parkiran.
***
😁😁😁 asli ini beda bgt sma versi aslinya. Aku revisi apa bikin cerita ulang ya?😂😂😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Elma's List (Complete)
Teen FictionElma penderita self injury. Seseorang yang tak pernah dianggap di keluarganya. Sebenarnya Elma patut bersyukur mempunyai dua saudara yang perduli. Dan kekasih menyebalkan yang selalu siap sedia untuknya. Namun dibalik itu semua, ia menyimpan banyak...