16. Ketulusan yang Diragukan

605 46 0
                                    

Sedekat apapun kamu dengan seseorang. Dia tetaplah orang lain. Di dunia ini sulit mempercayakan sesuatu, kecuali pada dirimu sendiri.

***
Kedua kakak beradik dengan setelan tuxedo hitam itu mengambil piring di samping wadah makanan itu. Dua pria dengan tinggi melebihi rata-rata orang Indonesia itu membuat para gadis yang berada di pesta pertemuan memekik gembira.

“Kak, itu ayahnya Jey.” Guan menunjuk seorang pria paruh baya yang berjalan mendekati ayah mereka. Seulas senyum pria itu lemparkan pada Aland.

Viliex menatap pria itu.

“Mana Guan sama Vi? Gak ikut?” tanya pria itu. Aland terkekeh lalu menunjuk ke tempat Guan dan Viliex berdiri memandangi mereka.

“Gimana anak satunya? Ada perkembangan?”

“Sekarang lebih baik.” Pria itu menganggukkan kepalanya. Ia menyuruh agar Aland dan dirinya duduk di sofa.

“Kau bertambah sukses saja sekarang, aku tidak bisa menyaingimu tau!” Kesal pria itu pada Aland yang meminum anggurnya. Jangankan menyaingi, rasanya perusahaan Allandar masih seperempat perusahaan besar Aland. Belum lagi perusahaan lain yang dimilikinya di luar negeri. Allandar kadang iri sendiri dengan sahabatnya itu.

“Kau juga sukses bodoh! Aku sangat ingin mengucapkan terima kasih pada Jey andai dia ada di sini.” Pria itu mengernyitkan keningnya terkejut dengan ucapan Aland.

  Ia menggaruk tekuknya. “Memang Jey melakukan apa? Jadi kamu harus berterima kasih?” tanya Allandar benar-benar bingung.

Aland menggenggam tangan Allandar, berterima kasih pada pria yang kini mengap-mengap tidak jelas karena belum paham maksud Aland. Jey—anaknya melakukan apa hingga sahabatnya ini sangat ingin berterima kasih padanya.

***
Jey mengernyitkan keningnya saat lampu apartemennya menyala, lalu muncul sosok wanita yang sangat ia rindukan itu. Tersenyum kearahnya sembari menenteng nampan berisi teh buatannya.

Jey beranjak memeluk wanita itu.

“Mama kenapa bisa kesini? Tau sandinya?”

“Kan yang beli apartemen ini dulu mama, dan kamu belum ganti sandinya.” Pria itu terkekeh geli menyadari hal itu. Ia menarik lengan ibunya itu menuju sofa dan duduk di sana.

Ibunya Jey menaruh satu gelas teh di depan Jey, yang langsung di minum oleh pria itu. Ia menyandarkan punggungnya di sofa. Menatap ibunya yang kini tampak senang.

“Mama denger kamu pindah sekolah. Karena cewek?”

“Papa ya yang kasih tau? Mama masih ketemuan sama papa?” Tanyanya menegakkan tubuh menanti jawaban ibunya.

“Mama nanya, malah kamu balik nanya. Iya, mama masih sering ketemu papa, walau kita udah cerai.”  Walau bercerai Jey tidak pernah merasa sedih dengan keputusan kedua orang tuanya itu. Baginya diumur yang sudah beranjak  dewasa ini ia hanya bisa memahami kondisi keluarganya yang tidak bisa dikatakan sempurna , meski materi mereka berlimpah.

Ibunya—Hanin—diam menatap Jey yang tercenung.

Pria itu tidak mau menyalahkan Tuhan tentang kondisinya yang menjadi anak dari broken home. Justru Tuhan perlahan mengajarkannya bahwa hidup ini penuh dengan kepahitan, tantangan yang tiada henti. Jey hanya bisa mengatakan kalau, seseorang yang bisa mencintai dirinya adalah orang yang bersyukur atas garis takdir yang Tuhan tulis. Disaat seperti itulah orang itu akan menemukan yang namanya kebebasan, juga kebahagiaannya.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang