42. Mimpi Buruk

541 34 5
                                    

Karena aku hanya takut kalian terluka. Karena aku takut dihantui rasa bersalah lagi.

***
Setengah jam setelah teriakan Elma dari kamar membuat penghuni rumah heboh. Gadis itu kini sudah terlelap di kasurnya. Dokter Eza menyapu wajahnya khawatir.

“Ini yang saya khawatirkan.” Eza berucap sembari memandang Elma yang damai dalam mimpinya. Walau Eza tahu setelah bangun dari tidurnya gadis ini dihantui rasa takutnya. Dihantui halusinasinya ketika kejadian penculikan itu. Rupanya kejadian itu membekas di ingatannya. Menciptakan trauma parah pada Elma.

“Apa bisa disembuhkan?” Guan berujar dari sudut kasur Elma. Bekas benda pecah belum sepenuhnya bersih. Beberapa pelayan sudah silih berganti membawa tong sampah untuk membersihkannya.

“Kemungkinan sembuh pasti ada. Prosesnya tidak mudah. Sama seperti mengubah Elma yang self injury menjadi yang sekarang.” Eza berdehem. Kali ini dari arah pintu Viliex menyerobot masuk. Di belakangnya Fellma.

“Kenapa?” satu kata itu yang keluar dari mulutnya, lalu beralih memandang Elma yang tertidur setelah disuntik obat penenang oleh Eza.

“Elma berhalusinasi lagi.”

“Lagi?” suara Fellma menyela bibir Viliex yang hendak berucap.

“Iya. Elma sudah pernah begini sebelumnya. Waktu di rumah sakit.” Eza menyahut dari tempatnya berdiri. “Kalau begitu saya pamit dulu. Sebaiknya temani Elma.”

Malam itu Viliex menjaga Elma, setelah mengantar pulang Fellma yang keliatan tidak baik-baik saja. Viliex tahu gadis itu tengah kecewa dengan sikapnya. Kecewa dengan acara mereka yang tiba-tiba batal.

“Gue minta maaf. Gue cuma bisa ngajak lo tapi gak bisa buat lo seneng. Lo ngertikan?” Fellma menoleh dengan senyum dipaksakan.

“Gue ngerti. Salam buat Elma.”
Viliex menyapu wajahnya. Napasnya panjang terhembus. Jam terus berdentang. Menemani sepinya malam itu. Namun sepintas rasa penasaran menerpa relung hatinya. Isi nakas Elma. Buku diary adiknya.

Viliex berjalan perlahan. Membuka nakas kecil itu. Tidak ada apa-apa. Dulu pernah diisi barang berharga Elma. Nakas kedua sama halnya. Viliex beralih ke meja belajar Elma. Nakas kecilnya terbuka, menampilkan satu diary bercover namanya.

Viliex menghela napas panjang. Mengambil benda itu dan duduk di atas kursinya
.
Lembar pertama curhatan hati Elma. Adiknya merasa bersalah karena kejadian waktu itu. Disitu ia menyebut ibu mereka. Merindukan ibu mereka. Viliex membuka lembar keduanya. Sepintas berisi satu bait kata. Penuh makna. Menyiratkan betapa Elma merasa bersalah setelah semua yang menimpa orang tersayangnya.

‘Must I Die?’
***

Viliex terpaku sesaat melihat adiknya penuh dengan darah yang keluar dari hidungnya. Di belakang troli pembaringan yang berjalan melewatinya berlari Jey yang terlihat khawatir. Viliex menarik lengan Jey. Namun tembus. Tangannya tak bisa menyentuh Jey. Dari arah yang sama Guan dan ayahnya berlarian. Guan membopong seseorang. Seorang gadis. Fellma?

Viliex berusaha mengejar, namun langkahnya berat. Kakinya seakan melekat di situ. Tubuhnya panas dingin melihat kejadian di depannya.

“Kenapa?” Viliex berusaha berusaha, ketika detik berikutnya ia tiba-tiba berada di ruangan. Ada Elma terbaring dengan selang infusnya.  Jey menyapu wajahnya frustasi. Tidak menyadari kehadiran Viliex yang sudah pucat pasi. Tangannya bergerak-gerak meraih tubuh Jey.

“Elma kenapa Jey?” Jey menutup mulutnya ingin terisak ketika benda di samping Elma berbunyi nyaring. Menampilkan satu nada pilu yang tak pernah ia harapkan. Alat pendeteksi jantung itu menunjukkan satu garis lurus.

Viliex beralih menatap Elma. Dadanya tidak naik turun lagi. Kini ia beralih pada Jey yang diam.

“Jey lo bisa denger gue? Jey!” Viliex mencoba sekali lagi menyentuh lengan Jey. Namun ia terkejut ketika Jey menubruk tubuhnya. Tembus. Melewati dirinya yang berdiri terpaku.

Viliex mengedip. Tempat berubah lagi sekejap mata. Fellma muncul di depannya. Terbaring. Kepalanya diperban. Dingin merayap ke sela ceruk leher Viliex, ia dapat merasakan seseorang mencekik lehernya. Tapi tidak ada siapa-siapa. Viliex kehilangan napasnya sesaat. Tak ada tangan yang mencekiknya. Akan tetapi ia merasakan seseorang mencekiknya, membuat seluruh sarafnya tegang. Pelipisnya sudah banjir keringat.

Viliex terengah. Berusaha berteriak sampai pada akhirnya jatuh tersungkur di lantai. Bajunya basah. Keningnya basah. Ia memerhatikan sekelilingnya. Kamar Elma. Ia jatuh dari bangku belajar adiknya.

“Mimpi?” tanyanya sendiri. Kepalanya mendongak menatap adiknya yang pulas tertidur. Viliex berusaha berdiri meski rasanya ia belum bisa sepenuhnya mengembalikan kesadaran yang hilang sebelumnya. Mimpi itu mengerikan bagi Viliex.

Tangan Viliex menyapu wajah basahnya. Dadanya sesak.

“Apa ini pertanda sesuatu?” gumamnya berusaha bangkit dan duduk di sisi kasur Elma. Hingga malam berakhir, Viliex hanya bisa memutar otaknya. Mencerna mimpi buruk yang ia alami. Elma meleguh di sampingnya. Viliex bergeser menghadap adiknya yang membuka mata. Terkejut dengan sosok kakaknya yang duduk manis di sisinya.

“Kakak ngapain di kamarku?”

“Jagain kamu.”

“Hah? Kok bisa?”

Viliex berpikir sesaat sebelum akhirnya hanya tersenyum tipis sembari mengelus kepala Elma dan keluar kamar.

****

Seperti biasanya. Mereka berkumpul di perpustakaan. Meja ujung. Membaca buku paket tebal hasil menaiki tangga untuk meraihnya. Beberapa minggu lagi ujian akan di mulai. Fellma ataupun Viliex belum menyiapkan apa-apa untuk bekal mereka nanti. Pihak sekolah juga sudah menambah jam belajar mereka sejak absensi Viliex melebihi batas yang bisa mereka tolerir. Eskul terbengkalai ataupun les juga tak diperdulikan olehnya.

“Otaknya berasap bang.” Celetuk Jey menahan tawa melihat Viliex mendecak sebal ketika tangan pria itu menepuk pundaknya. Fellma acuh. Matanya terus menjelajah huruf-huruf alphabet yang memusingkan itu.

“Hai El.” Sapa Jey mengambil tempat di samping gadis itu. Viliex melirik sekilas lalu kembali ke bacaannya. Sebenarnya Viliex pusing sekarang. Selain karena mimpi itu benar-benar menghantui pikirannya. Disatu sisi ia memaksakan pelajaran itu menjejali otakknya. Terasa sangat bodoh untuk keliatan serius di hadapan kekasihnya. Sedangkan pikirannya terbang ke sana kemari.

“Lo keliatan banget gak konsen.” Jey menatap menyelidik pada Viliex. Seperti menangkap gelagat gelisah Viliex sedari tadi.

Fellma menoleh. Elma pun sama. Helaan napas Viliex terdengar berat. Ia memaksakan untuk konsen. Namun buyar saat Jey berucap lagi, “Lo bisa cerita.”

“Gue baik-baik aja.” Viliex membalas tanpa melihat lawan bicaranya.

“Lo keliatan emang gak baik. Muka lo pucat.” Fellma menyentuh  dahi Viliex dengan punggung tangannya. Terkejut merasakan hangat dari kulit Viliex yang basah. Keringatnya mengucur perlahan. Sampai pada akhirnya ia merasakan Jey memegangi punggungnya. Mengisyaratkan agar Viliex ikut dengannya.

“Gak perlu khawatir. Kalian fokus belajar ya.” Jey menyunggingkan senyum polosnya. Fellma ragu. Elma juga ragu. Sekali lagi Jey meminta untuk kedua gadis itu agar tidak khawatir.

“Guan!” panggil Jey. Hape Guan meloncat dari tangannya karena terkejut.
“Jagain Kakak lo sama ipar lo.”  Gua mengerutkan kening lalu fokus kembali ke gamenya. Ia lebih stress lagi memikirkan operasi nanti. Jarum suntik besar akan menghujam punggungnya. Guan menggeleng. Pasrah dengan keadaannya. Sedangkan orang di depannya sadar akan apa yang Guan rasakan.

***

“Lo kenapa?” tanya Jey ketika tubuh Viliex sudah sepenuhnya berbaring di bangsal UKS.
“Gue pusing.” Jawab Viliex dengan pandangan menerawang. Menembus dimensi waktu. Mengingat kembali potongan kejadian di mimpinya semalam. Adik dan kekasihnya. Mereka berdua terluka.

“Cerita ke gue.” Suara Jey membuat potongan peristiwa itu mengabur lalu hilang. Viliex menoleh dengan wajah pucatnya. Keningnya tak henti mengeluarkan keringat dingin.

“Gue merasa akan ada hal buruk terjadi.”

Jey meraih gelas. Lalu mengisinya dengan air, menyodorkan pada Viliex. Pria yang berbaring ia duduk untuk meminumnya.

“Gue mimpi buruk semalam. Dan lo tahu semalam Elma…”

“ …berhalusinasi lagi.” Jey menyela. Viliex mengangguk. Tangannya tiba-tiba meremas rambutnya. Pusingnya semakin mendera.

“Lo istirahat. Otak lo terlalu banyak menampung masalah.”

“Karena gue takut adik gue terluka lagi.”

Suara Viliex menembus dinding beton yang tengah dipunggungi seseorang. Tangan kecilnya mencengkram kuat pilinan roknya. Menahan sesak yang melingkupi paru-parunya.

Must I die?

***
Vote and comentnya guys... jangan lupa kunjungi work sebelah juga ya hehe

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang