19. Menemui Elma

597 39 0
                                    

Apakah termasuk rindu, jika hati dan pikiranku hanya dipenuhi bayangmu?

****

Jey keluar dari kamarnya, dengan pakaian Guan. Penjaga sempat terkejut saat Guan yang sebenarnya Jey itu memakai helm. Dua penjaga itu seolah tidak peduli saat Jey turun tangga dan berjalan santai keluar. Penjaga yang menggiring Guan tadi menghentikan langkah Jey. Pria itu tidak henti-hentinya berdoa dalam hati agar penyamarannya tidak diketahui.

“Kenapa pakai helm?” Jey terdiam, jika ia berkata sedikit saja, maka suaranya akan ketahuan oleh penjaga sialan itu. Tapi dengan waktu yang tepat diperhitungkan, suara benda jatuh dari kamar Jey yang diisi oleh Guan itu, membuat penjaga berlari ke arah kamar itu.

Jey memanfaatkan itu dengan cepat keluar dari rumah dan membawa motor milik Guan membelah kota yang kini ramai. Ia terus melajukan motor itu dengan perasaan lega. Motor vespa berwarna hijau tosca itu berhenti di rumah sakit tempat Elma di rawat. Dengan tergesa-gesa ia menanyakan pada suster yang menjaga tempat administrasi.

Setelah mendapat nomor kamar Elma, pria itu berlari. Tanpa perduli menabrak beberapa pejalan lain. Ia berhenti di sebuah kamar yang kini terlihat sepi. Jey mengintip dari balik pintu, terlihat Elma tengah berbaring. Dengan selang infus yang menancap di lengannya.

Melangkahlah Jey dengan pelan, hingga kakinya berada di depan ranjang Elma, berhadapan dengan tubuh Elma yang terbaring lemah itu. Mata gadis itu terbuka lebar melihat sosok yang ia nanti berdiri di hadapannya. Elma hendak duduk, namun tangan Jey menahan pundaknya. Ia menyuruh Elma agar kembali berbaring. Mereka saling menatap, meluapkan rasa rindu.

“Gue baru bisa nengok lo, maaf.”

“Aku paham. Mungkin ayah kamu udah jaga ketat pergerakan kamu. Ayah yang bilangkan kalau kita—em… ada hubungan.” Jey dengan cepat membungkam bibir Elma dengan telunjuknya, ia tidak ingin membahas masalah itu di saat genting seperti ini.

Jari jemari Jey bergerak perlahan menangkup wajah Elma yang merona. Elma ikut memegang lengan berurat milik Jey. Lalu menangis saat Jey dengan sangat lembut membawa kepala Elma ke dalam pelukannya.

“Kita bisa jalanin ini semua, lo harus kuat, El. Gue yakin lo bisa.”

Lalu  Jey melepas pelukannya, membaringkan Elma. Namun Elma bangun, tersenyum bahagia setelah sekian lama waktu menggerus senyumnya.

“Aku mau cerita tentang ibu. Kamu mau dengar?” tawar Elma.

Jey terkejut. Elma mau bercerita? Pikirnya. Takjub. Setelah sekian lama gadis itu hidup dengan kata-kata yang dapat dihitung, kini ia berbicara panjang lebar.

Mengisahkan satu kejadian yang menjadi awal semuanya.

Kebiasaannya. Dan rasa tidak percaya pada diri sendiri.

“Ibuku sudah pergi hampir satu tahun yang lalu. Saat itu, keluargaku adalah keluarga yang bahagia, saat itu kehadiranku bukanlah kebahagiaan bagi ibunya dari ayahku. Dia tidak menginginkan cucu perempuan. Dia membenciku. Dia menyuruh ayahku untuk merahasiakan kelahiranku.”

Jey melipat tangannya di atas kasur Elma. Mendengarkan cerita Elma dengan saksama.

“Dia dengan lantang menyebutku sebagai cucu yang tidak di harapkan. Setiap dia mengucapkan itu, hatiku sakit. Apa kesalahan seorang gadis jika ia lahir? Bukankah Tuhan yang mengatur semuanya? Bukan dokter!” Elma menggenggam kuat jemari Jey saat pria itu menyalurkan jemarinya untuk menenangkan Elma.

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang