43. Haruskah Aku Mati?

559 38 0
                                    

Karena mati bagi orang sepertiku adalah keajaiban. Tepatnya keajaiban bisa lari dari kenyataan pahit.

***
Elma meremas pulpennya kuat-kuat. Urat-uratnya keluar. Detik berikutnya ia menutup telinganya. Suara-suara itu kembali. Kini memenuhi ruang di kepalanya. Sesak. Hingga terasa berdengung di telinga.

Tubuh ringkihnya jatuh dari kursi. Elma terus menerus menutupi telinganya. Tanpa sadar berteriak karena suara-suara itu memenuhi ruangan. Seperti berteriak di samping telinganya. Kelopak matanya terbuka ketika suara itu meredam. Namun bukan itu yang ia ingin setelah menelisik dari bulu matanya.

Sosok berbaju hitam dengan jaket kulit serta topeng putih pucat itu mencengkram kuat bahunya. Detik berlalu sampai akhirnya Elma berteriak kaget dan beringsut ingin kabur. Ia sadar jika ini bukan hanya ilusi yang ia lihat. Pria bertopeng itu nyata.

Tangan kekar yang memegangi bahunya terlepas. Elma berlari menuju pintu kamarnya. Sial! Sial! Pintu itu terkunci. Pria bertopeng itu tertawa menunjukkan kuncinya. Elma menggedor pintu.

“Siapa kamu!” Pria itu memang nyata. Elma tidak salah. Sampai terasa pintu kamarnya digedor dari luar barulah Elma kembali berteriak lepas, meminta tolong. Suara paraunya membahana. Satu tangan pria itu menarik bahunya, lalu membekap mulut Elma. Dengan sapu tangan yang sudah dibubuhi obat bius. Kepalanya terasa berputar-putar sampai pandangannya mengabur dan ambruk.

Gedoran di pintu itu berubah jadi dobrakan. Pintu terbuka. Viliex dan Guan menatap nanar kamar Elma yang kosong. Lalu memandang di meja belajar gadis itu. Bangkunya terbalik. Ada buku dan pulpen yang berceceran serta kunci pintu kamar yang terjatuh.
Guan berlari ke arah jendela, menemukan jendela Elma yang terbuka serta seutas tali yang tersambung di rangka jendela bersama jangkar kecilnya yang tersangkut kuat.

“Elma diculik!” pekik Guan ketika memicingkan mata melihat sebuah mobil sedan melaju baru saja dari pagar ruamhnya. Pria itu berlari sekencang mungkin keluar rumah. Viliex berlari ke kamarnya, mengambil kunci motornya. Segera menuju bagasi mengambil motor besarnya.

“Guan naik!” serunya, Guan langsung naik ke badan motor yang langsung di gas oleh Viliex. Kedua pria mengejar mobil Avanza putih yang melaju kencang. Melewati jalanan sepi. Menuju sebuah perbukitan sepi. Viliex tak perduli dengan dinginnya hawa malam. Ia harus segera menolong adiknya. Mungkin ini yang dimaksud mimpinya. Mereka semua dalam bahaya. Neneknya balas dendam.

***
Elma menyadari tempatnya. Mobil yang membawanya berguncang karena bebatuan besar yang mereka lewati. Belum lagi bunyi teriakan di belakang mobil yang berasal dari kakaknya dan Guan yang mengejar.

Mobil berhenti di depan sebuah bangunan tua. Di pinggir hutan. Di depan rumah tua peyot itu ada lapangan besar yang luas. Di sana terdapat sebuah mobil mewah yang tengah terparkir.

“Woy!” Viliex berteriak namun langsung di tahan oleh pria yang membawanya. Sedangkan Guan entah ke mana. Bersembunyi. Elma sadar posisinya sebagai orang tertawan. Kakaknya berlagak seperti penyelamat, namun berakhir dipukuli dan pingsan setelah dibekap lagi.

“Lepas!” Elma meronta-ronta. Lalu sebuah jarum suntik menghentikannya. Tubuhnya lemas lagi. Tak berdaya, namun sayup-sayup ia mendengar suara orang-orang itu tertawa.

Tawa yang mirip seperti … mereka yang menculiknya waktu itu! Astaga!
***

Ini bukan mimpi buruk itu kan? Bagi Viliex, dia seperti berada di dalam sebuah ruangan kosong putih. Luas. Tak ada batas. Suaranya menggema dari ujung ke ujung. Viliex memutar badan mencari sesuatu yang bisa membuatnya lari dari tempat aneh itu.

Sayang. Kakinya berpijak kuat di situ tanpa mau berpindah.

“Viliex.” Suara lirih dari arah yang tak diketahui itu membuatnya mencari-cari. Badannya tak bisa diajak kompromi untuk berlari ataupun sekadar berjalan mengitari ruangan putih itu.

“Viliex …” suara itu muncul lagi. Lebih nyaring dari sebelumnya.

“Viliex … kamu kangen ibu?” suara itu membuatnya mencari-cari sosok yang memanggilnya. Viliex berputar di tempat, wajahnya pucat pasi.
Tubuhnya berkeringat lagi.

“Viliex … ini ibu?” suaranya pelan. Namun mampu menenangkan Viliex yang takut. Ia terduduk lemas. Mendongak berharap jika ibunya mau menghampirinya sekarang.

“Ibu …” suaranya parau. Viliex menutup wajahnya. Menangis.

“Ibu, di sini sayang. Coba tengok ke depan.” Viliex mengikuti arahan ibunya. Betul. Ibunya tengah tersenyum ke arahnya. Viliex hendak bangkit namun ditahan oleh ibunya. Wanita dengan pakaian putih bersih itu mengusap wajah Viliex. Seolah ada kerinduan lama yang ingin ia curahkan pada putera pertamanya itu.

Sedangkan Viliex hanya bisa menahan isaknya. Lalu memeluk tubuh ibunya—Anya.

“Bangun sayang. Kamu harus bangkit. Kamu udah janji bakalan jaga adik kamu kan?” Ibunya menyentuh dua sisi rahang Viliex. Tersenyum. Viliex mengerjap, sadar jika ia pernah berjanji pada ibunya. Sadar jika sekarang janji itu dipertanyakan oleh ibunya. Sadar jika ibunya tengah menagih janji itu.

***
“El!” suara Viliex dari trotoar membuat gadis dengan kunciran kanan kiri di kepalanya itu menoleh riang. Kakaknya datang membawa bekal. Namun tatapannya berubah tajam ketika tahu adiknya tengah berjongkok. Menutupi kepalanya dari pukulan teman sekelasnya.

“Hei kalian!” Viliex melepas bekalnya lalu berlari menuju Elma yang menangis sesegukan di bawah.

Teman sekelasnya menganga. Lalu berlarian masuk ke kelas setelah Viliex mengusirnya. Memarahi mereka.

“Mereka udah pergi, El.” Viliex ikut berjongkok. Lalu menarik bahu adiknya untuk duduk. Viliex memunggungi Elma. “Ayo naik. Kakak gendong kamu.”

“Tapi kata Guan aku berat Kak!” sergah Elma enggan. Guan pernah bilang jika Elma gendutan karena kebanyakan makan cake buatan Ibu di rumah. Sayangnya, adik kecil mereka itu hanya mengada-ngada. Ia sengaja agar Elma tidak banyak makan cake dan bagian jatah Guan jadi bertambah.

“Guan tuh suka boong!” Beo Viliex masih setia menunggu sang adik naik ke punggungnya. Elma memainkan ujung rok merahnya.

“Kalau berat nanti jatuh gimana?” tanya Elma mengulur waktu. Jelas karena ragu, sebenarnya. Viliex terkekeh, lalu memutar sedikit kepalanya menatap Elma.

“Ayo! Kak Vi kuat kok. Kalau jatuh ya sakit sama-sama.” Elma menyunggingkan senyumnya. Lalu mengalungkan tangan di leher Viliex. Pria kelas 6 SD itu menggendong adiknya menuju rumah mereka yang tak jauh dari situ. Elma dapat melihat tatapan sinis teman sekelasnya.

“Gak apa-apa Kak?” tanya Elma sembari mendongak melihat wajah-wajah kawan Viliex yang keheranan. Tapi mereka sadar jika peran Viliex saat itu hanya sebagai penolong. Bukan sebagai Kakak yang semestinya.

“Mereka gak tahu kita Kakak Adik.” Cicit Elma.

“Biarin. Kak Vi gak mungkin diam aja lihat kamu dijahatin. Kalau udah gede, Kak Vi bakalan jagain kamu sampai titik darah penghabisan.”

Elma memeluk lehernya senang setelah mereka agak jauh dari area sekolah. Terlihat dari jauh mobil mereka sedang parkir dengan paman Greo yang tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Kakak janji.” Bisiknya. Lalu berlari pelan menghampiri Greo yang panic melihat Elma.

Jika mungkin karena ingatan itu kembali, maka Viliex tak akan mungkin mau membuka mata lagi setelah pemukul kasti itu menghantam kepalanya. Mungkin sudah bocor sejak tadi. Ia merasakan kedutan dan rasa ngilu luar biasa dari kepalanya yang berdarah. Perlahan pandangannya yang kabur terasa jelas. Di ujung ruangan ada seorang perempuan paruh baya tersenyum ke arahnya. Mengisyaratkan sesuatu, atau tengah berusaha mengucapkan kalimat. “Ini pembalasanku.”

“Bangun sayang. Kamu harus bangkit. Kamu udah janji bakalan jaga adik kamu kan?”

Iya. Viliex janji. Viliex berusaha berontak meski rasa sakit terus menggerogoti kepalanya. Tapi tunggu sebentar. Di mana adiknya? Di mana Elma?
***

Vote and coment ya guys. Kunjungi juga work sebelah. Sepi tuh😆😆😆

Elma's List (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang