-Revisi-
Dengan langkah lebar Kiera menuju stasiun kereta api, sesekali ia berlari kecil untuk mengejar waktu. Ia bahkan tak mempedulikan dirinya yang hanya berbalut piyama, jika biasanya sebelum keluar rumah gadis ini selalu mandi, tapi tidak untuk kali ini. Ia terlalu takut jika nantinya terlambat mencegah Deva. Dia tak bisa membiarkan lelaki itu masuk ke rumah Reina, atau Dion akan memperlakukannya dengan buruk.
Sekejap saja Kiera sudah membeli tiket, kini ia memasuki kereta api dengan berlari kecil. Raut kegelisahan terlihat jelas di wajahnya meski tertutup masker. Ia benar-benar kuatir sekarang.
Tak lama kemudian kereta mulai berjalan, tapi tetap saja Kiera belum bisa tenang. Tujuannya masih jauh dan ia tak bisa berhenti memikirkan Deva.
***
Deva baru saja sampai di rumah Reina. Tanpa berpikir lagi ia memanggil satpam di gerbang rumah megah itu. Sebisa mungkin ia tetap terlihat tenang, ia tak bisa gegabah untuk ini.
"Ada apa?" tanya satpam itu.
"Mau ketemu sama pemilik rumah, tadi udah ada janji. Katanya boleh langsung masuk," Deva berbohong. Wajahnya terlihat tegang, tapi beruntung satpam itu tak melihat ekspresi Deva.
"Silakan." Satpam itu membukakan gerbang.
Deva memasuki rumah dengan langkah terburu-buru. Sampai di pintu, Deva menekan bel rumah. Sekali lagi, ia masih berusaha menenangkan diri.
"Siapa sih?!" terdengar erangan kesal dari balik pintu. Lantas Deva menaikan alis sebab merasa mengenal suara itu.
Pintu terbuka hingga menampakkan Reina di ambang pintu. Saat melihat Deva, seketika wajahnya berubah terkejut.
"Kamu orang yang waktu itu kan?" Reina terlihat berpikir.
Deva hanya tersenyum miring, sekilas ingatannya memutar kejadian beberapa waktu yang lalu, saat itu Deva mencari tempat latihan dance Kiera, dan dia sempat bertemu dengan Reina bersama lelaki yang Deva yakini sebagai pacarnya mungkin? Entahlah Deva tak tahu pasti, tapi yang diinginkannya hanya satu, meminta Reina melepaskan Kiera.
"Siapa sayang?" sebuah suara terdengar di belakang Reina.
Deva menoleh ke sumber suara.
Orang ini lagi, batin Deva ketika bertemu tatap dengan mata Dion.
"Bukan siapa-siapa, Dion. Cuma orang miskin yang tinggal sama Kiera," jawab Reina sembari melihat cat kuku di tangannya yang belum kering. Terkesan seakan menganggap Deva seperti debu yang tak harus dihargai kedatangannya.
Dion hanya berdecih saat memandang Deva dari atas hingga bawah.
"Pergi sana!" Reina mengibaskan tangan.
"Jangan ganggu dia lagi!" Deva berujar dengan amarah tertahan.
Sementara Dion menautkan alis dan hampir mendekat, tetapi ditahan Reina.
Reina mendongak guna menatap Deva, "Apa? Kalau ngomong yang jelas dong."
"Dia adikmu kan? Kenapa perlakuin dia kayak gini?"
"Sorry. Tapi dia bukan adikku lagi."
Deva melangkah mendekat namun, segera di hadang Dion.
"Pergi!" sentak Dion dengan dagu mengeras.
"Aku cuma mau minta baik-baik buat jauhin Ra. Apa salah dia ke kalian?" Deva bertanya. "Biarin dia tenang dan hidup bahagia."
Reina mendengus, "Seret dia keluar, aku risi lihat orang miskin."
"Kalian yang miskin! Miskin hati! Kalian pengecut, dan lebih rendah dari sampah!"
Buak!
Satu pukulan mendarat di pipi Deva.***
Kiera membuka maskernya kala berdiri di depan satpam berpawakan tinggi itu. Ia menuliskan sesuatu lalu menunjukannya padanya.
Aku udah ada janji sama Kak Reina.
"Masuk saja."
Segera saja Kiera berlari menelusuri halaman rumah itu. Ia terlihat gusar dan begitu gelisah. Dari kejauhan Kiera melihat Deva tersungkur di lantai, beberapa pukulan menyerang lelaki itu membuat Kiera hampir menangis tak tega. Ingin sekali ia menjerit namun, keterbatasannya membuat dirinya tak mampu melakukannya.
"Kiera?!" Reina memekik begitu Kiera berdiri di depannya.
Kiera yang sudah tak tahan lagi segera mendorong tubuh Dion menjauh dari Deva. Lelaki itu sampai terantuk pintu rumah hingga kepalanya berdarah, tapi tiada raut kasihan di wajah Kiera kala bertemu pandang dengan Dion. Sungguh Kiera tak peduli dengan lelaki itu.
"Aw!" Dion mendesis sakit sembari mengusap darahnya sendiri. Sepertinya kepalanya terasa pening, ia sampai berpegangan pada pintu agar tak terjatuh.
Kiera membantu Deva berdiri. Meski kesulitan, tapi tetap mencoba membantunya.
"Makin menyedihkan banget sekarang. Selalu aja sendirian," Reina mencibir.
Kiera yang merasa di rendahkan oleh Reina, kontan saja menulis sesuatu lalu merobek kertas itu dan memberikannya pada Reina.
Reina membacanya setelah Kiera memaksanya menerima kertas itu.
Aku memang terlihat sendirian, tapi bukan berati tak memiliki kekuatan untuk bertahan. Seenggaknya aku masih punya orang yang masih anggep aku manusia, dan aku bersyukur itu bukan seseorang yang namanya Reina.
Tentu saja Reina kesal, tanpa di sadari Kiera tangan Reina mendekat hendak menjambak rambut Kiera, tapi Deva lebih cepat darinya, ia menahan tangan Reina sehingga tak bisa menyakiti Kiera.
Sedangkan Reina berusaha menyentak tangannya, "Lepas!"
Saat itu pula Deva melepas tangan Reina. Sementara Kiera yang tak betah di dekat kedua orang itu lantas menggeret Deva dari sana. Ia harus pergi sebelum satpam di depan menghampiri mereka.
***
"Maaf," kata Deva entah sudah yang ke berapa kali. Kini ia hanya bisa menatap Kiera dengan mata memohon di kursi kereta api.
Nyebelin! batin Kiera.
"Maaf."
Ngeselin! kata Kiera dalam hati.
Sepertinya ia begitu kesal kali ini. Kiera bahkan tak menoleh ke arah Deva sama sekali. Matanya hanya menyapu pemandangan di luar kereta, mungkin karena terlalu tak tega melihat wajah lebam lelaki itu.
Tak terasa kereta sudah terhenti, seperti biasa Kiera berjalan di depan Deva. Ada jarak di antara keduanya supaya orang-orang tak mencurigai Kiera, supaya Deva bisa memastikan Kiera aman sampai di rumah.
Tapi kali ini terasa berbeda sebab Kiera sama sekali tak menatapnya, jangankan menatap, menulis satu kata untuk Deva saja tidak. Kiera seolah menganggap Deva transparan seperti sebelumnya.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Deva. Kiera membuka pintu dengan kunci, ia melangkah masuk, lalu seperti biasa gadis itu segera duduk di sofa.
Ia memalingkan wajahnya dari Deva ketika lelaki itu baru saja menutup pintu rumah.
Deva mendekati Kiera meski ada sedikit keraguan dalam benaknya. Ia menempatkan diri di samping Kiera.
"Maaf," kata Deva. Ia merasa seperti angin yang tak terlihat keberadaannya.
Cklek!
Suara pintu terbuka, kedengarannya berasal dari pintu depan. Kontan saja keduanya menoleh.Sesaat kemudian Lukas muncul dari sana, lelaki itu mendekati Kiera dan Deva.
"Aku bawa beberapa bukti rekaman di rumahmu, Kiera."
Kiera menatapnya kaget, sementara Deva tanpa sadar berdiri dari sofa.
***
Kenapa yak kalau lagi ngetik hantunya langsung dateng? Hantunya cuma satu 'ngantuk'. 😩
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...