-Revisi-
Di ruangan khusus itu hanya ada Lukas dan kedua orangtuanya. Lukas yang kembali berbaring di kasur rumah sakit hanya bisa diam saja dengan dagu mengeras. Sama sekali tiada niatan untuk menoleh ke arah dua orang yang teramat menyayanginya itu. Entah apa yang dipikirkannya kali ini.
"Lukas!" tegur Papanya.
"Papa," suara lembut Mamanya menenangkan beliau. "Tenang dulu," bisik wanita itu.
Lelaki itu mendesah pelan. "Lukas?" suaranya berubah pelan. "Papa mau bicara, lihat ke Papa sebentar."
Meski enggan, Lukas tetap menoleh ke arahnya. Tiada kata yang terucap di bibir Lukas untuk menanggapi.
"Papa ...," ucapannya tercekat, sepertinya beliau menahan tangis, "Papa minta maaf. Maafin Papa selama ini kasar sama kamu." Suaranya menjelaskan apa yang ada dibenaknya. Terdengar tulus sekaligus merasa bersalah.
Lukas sampai tertegun mendengar ucapan beliau, ia dapat melihat air mata di sudut mata lelaki itu. Baru kali ini dia melihat sisi rapuh dari lelaki itu, meskipun begitu namun, terasa sangat menyentuh hati kecil Lukas.
Tapi baru saja Lukas membuka mulut, lelaki itu lantas berbalik dan melangkah pergi.
"Papa?" panggil Mamanya.
"Ma?" Lukas menyentuh tangan wanita itu. "Kejar Papa, kasihan Papa sedih sendirian."
Ia menoleh menatap Lukas, "Nak, Mama sangat sayang sama kamu," dielusnya kepala Lukas lembut, "begitu juga dengan Papa. Kita sayang sama kamu, kita keluarga sayang. Jadi mulai sekarang, jangan menutup diri, jangan bersikap acuh, karena Mama nggak mau jauh dari anak Mama sendiri."
Air matanya berderai di pipi, dipeluknya Lukas dengan sayang, ia berulang kali mengucap kata maaf pada lelaki itu.
"Lukas yang harusnya minta maaf. Lukas yang egois, Lukas yang keras kepala, Ma." Kini keduanya terhanyut dalam haru.
***
Seorang gadis berkulit putih dengan mata berwarna cokelat berlari menyusuri lorong rumah sakit, sepertinya dia buru-buru. Padahal masih pukul enam pagi, tapi dia sudah terlihat rapi dengan pakaian kemeja dan rok selututnya. Dia adalah Nisa. Gadis itu langsung terbang kemari begitu mendengar kabar jika Lukas jatuh dari balkon, ia sampai tak masuk kuliah demi menjenguk lelaki itu.
"Taris?!" Nisa menghambur ke pelukan saudarinya begitu bertemu pandang dengannya.
Taris yang berada dalam kantuk luar biasa jadi tersadar sepenuhnya begitu melihat Nisa di depannya, terlebih sedang memeluknya seperti ini. Di lepasnya pelukan Nisa darinya. "Kamu kok di sini?" ia benar-benar heran.
Nisa tampak kikuk, "Emm, aku ...," gadis itu tampak berpikir, "aku kuatir sama ...,"
Taris tak sabar mendengar kelanjutannya, sementara Lukman yang berada di samping Deva dan Kiera hanya bisa saling pandang dengan tatapan linglung.
"Lukas," ungkap Nisa dengan tersenyum kikuk.
Taris mengerjap bingung, "Kenapa bisa gitu? Kamu kan paling anti pulang ke rumah. Kecuali kalau liburan sih."
Diserang dengan pertanyaan seperti itu membuat Nisa tak bisa beralasan lagi.
"Lukas mana?" sergah Nisa sembari menyembunyikan ketegangannya. "Aku mau lihat keadaannya."
Taris menunjuk ke arah ruangan di belakangnya tanpa memalingkan pandangan dari Nisa.
Tanpa berpikir lagi, Nisa lantas beranjak ke sana setelah menitipkan kopernya pada Taris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unvoice [COMPLETED]
Teen FictionTerkadang orang yang hatinya sering disakiti akan sulit memberikan kepercayaannya untuk orang lain. - Keira Zee Jika dulu sebelum dilahirkan bisa memilih antara menjadi bisu atau bisa bicara, lebih baik memilih menjadi bisu karena tak harus bicara...