Malam sudah larut ketika bis Primajasa terakhir dari ibu kota singgah di Terminal Distrik Cikupa*. Seorang siswa berseragam SMA turun dari bis jurusan Balaraja*-Kampung Rambutan itu.
*Balaraja dan Cikupa adalah nama distrik (kecamatan) di Kabupaten Tangerang.
Barisan tukang ojek yang mangkal menatapnya segan. Bagaimana tidak, siswa SMA itu menutupi wajahnya dengan saputangan seperti habis tawuran. Mereka tukang ojek enggan berurusan dengannya. Tapi justru, langkahnya tergesa menuju salah satu tukang ojek.
Gerak-geriknya waspada, kata-katanya tegas dan dingin laksana desau angin malam itu.
"Kalau mau dibayar ongkosnya, antarkan saya ke rumah mana saja yang lampu ruang tengahnya masih menyala,"
Tukang ojek tidak punya pilihan selain menurut. Siswa SMA segera duduk di belakang jok, matanya waspada melihat kanan-kiri. Ojek berlalu meninggalkan Terminal Distrik Cikupa, hilang dilamun gelap malam.
Lampu depannya putus.
Tukang ojek mengatakan, di Distrik Cikupa tidak ditemukan rumah yang dimaksud.
"Cari di distrik lain," kata siswa SMA itu tanpa melepas saputangannya. "Omong-omong, kita di distrik apa menuju distrik apa, dan apa arah mata anginnya?"
"Distrik Cikupa menuju Distrik Panongan*. Arah mata angin..." Tukang ojek melihat bintang di langit, ia menghadap rasi bintang berbentuk biduk. "Selatan,"
*Distrik Panongan masih termasuk Kabupaten Tangerang.
Tidak ada percakapan sehingga mereka mencapai rumah yang dimaksud. "Berapa ongkos?" tanya siswa SMA.
"Rp 20.000," tukang ojek beralasan jarak jauh, alamat tidak jelas, dan ia harus mengganti lampu depan yang putus.
"Tidak usah beralasan, sejak di terminal saya pasang telinga betul-betul, ongkos ojek di sini sudah dipatok Rp 10.000 oleh petugas persatuan ojek," sangkal siswa SMA.
Tukang ojek tidak terima kalah debat. "Kenapa pula kau harus cari rumah yang lampu ruang tengahnya masih menyala?"
"Saya cari orang yang larut malam begini masih bangun, tujuannya mau numpang tidur! Saya ngantuk!" jawab siswa SMA seraya melangkah menuju rumah yang dimaksud.
"Hoahem!" ia menguap lebar.
Di Distrik Panongan, selatan Distrik Cikupa, Rasid siswa kelas 1 SMA sedang begadang mengerjakan tugas di ruang tengah. Alasannya, ruang tengah paling terang karena di sana ada dua lampu.
Pukul 23.00 Rasid mendengar deru mesin motor berhenti sejenak lalu pergi. Firasatnya bekerja.
"Seseorang datang dengan naik ojek,"
Benar saja, pintu rumah Rasid diketuk orang. "Alaikum salam?" Rasid menjawab salam. "Ada perlu?"
"Kau tahu tidak, saat ini ibu kota sedang gempar?" tanya siswa SMA dari Terminal Distrik Panongan tadi, masih menutupi wajahnya dengan saputangan.
"Tidak," jawab Rasid polos.
"Kalau begitu bisakah saya istirahat di sini satu malam? Saya habis perjalanan jauh," siswa SMA itu menjelaskan maksud kedatangannya.
Setelah diam sejenak Rasid setuju. "Tunggu sebentar, saya siapkan tempatnya. Ayo masuk," ujar Rasid seraya membuka bentangan tikar yang masih tergulung separuh.
Siswa SMA itu melepas saputangan, menampakkan wajahnya, lalu mengangguk setuju.
Begitu masuk ruang tengah rumah Rasid, tamu asing itu mengamati setiap jengkal ruangan, lantas berkata, "Kau tidak tahu kabar situasi ibu kota karena tidak punya TV kan, Ali Rasidin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...