Tidak lama kemudian, Anton (dengan wujud asli Detektif Ichsan) tiba di Terminal Distrik Cikupa.
"Hm, ada ribut-ribut apa nih?" tanya Anton sembari menyatu dengan keramaian terminal, siapa tahu ada informasi yang bisa diambil.
Tukang ojek, sopir angkot, sopir joki NETRAL, semua membicarakan hal yang sama. Satu nama yang hampir selalu disebut membuat telinga Anton panas: Rasid. Tidak seorangpun menanyakan kabar tentang Adi (Akad Ichsan), karena mayoritas mereka adalah tukang ojek.
Ali Rasidin. Anton sedikit senang begitu tahu ternyata Ali Rasidin mengacau.
Semua warga terminal berdebat tanpa ada pangkal ujungnya, selain petugas retribusi. Dia hanya komat-kamit menunggu datangnya angkot yang punya utang retribusi. Salah satunya INCU ABAH.
"Ke mana saja bocah bernama Adi itu, sudah lama dia tidak kelihatan batang hidungnya, juga kap lampu angkot INCU ABAH yang biasanya dia setir. Kabar tentang dia dari sopir lain pun tidak ada. Perwakilan sopir yang biasa membayarkan retribusinya pun sudah lama tidak datang ke saya. Mau lapor ke Bang Oman sungkan, soalnya dia bos angkot terbesar di trayek Cikupa-Panongan. Tapi kalau dibiarkan terus bisa jadi masalah dengan Organda (Organisasi Angkutan Darat). Ditambah lagi satu masalah yang dibuat temannya Adi, bocah bernama Rasid itu. Sebentar, hasil pengamatanku, Rasid seringkali pulang naik angkot Bang Oman. Rasid juga pernah narik angkot INCU ABAH. Hampir tidak mungkin ini suatu kebetulan, apalagi jika dikaitkan dengan dugaan bahwa Rasid adalah mata-mata pihak seberang... Husin!" Petugas retribusi memanggil seseorang.
Seketika debat kusir berhenti.
"Siapa Husin, pak? Di sini tidak ada orang dengan nama seperti itu," kata salah satu tukang ojek.
"Betul tuh, betul," Anton mengiyakan.
"Nah," petugas retribusi menunjuk seseorang. "Kamu! Ya, kamu yang tadi bilang betul tuh betul itu yang namanya Husin!"
"Tahu dari mana?" tanya tukang ojek tadi.
"Kalian tidak tahu, dia yang memecahkan kasus pembunuhan di Jembatan Kali Angke," jelas petugas retribusi.
"Sial,"
"Jadi kapan kau mau mulai melaksanakan tugas mata elang, Rasid? Kalau sebelum besok malam kau sudah ada di penjual bensin eceran dekat kantor pemerintah Distrik Panongan dengan membawa STNK angkot INCU ABAH, sukur-sukur sepaket dengan sopir dan mobilnya, bayaranmu bisa dobel," ujar Bang Oman.
Rp. 54.000 bukan uang yang sedikit, itu ongkos angkot Sidin selama 4 hari.
"Ikan sepat, ikan gabus, lebih cepat, lebih bagus," Sidin berpantun. "Tapi... Argh,"
Lalu mengerang.
"Kau kenapa, Rasid?" tanya Bang Oman. "Sakit kepala? Nih, kebetulan Bang Oman bawa obatnya,"
Sidin menggeleng. Semenit berlalu, sakit kepala hilang. "Fiuh," Sidin menghela nafas. "Akhirnya selesai juga,"
"Selesai apanya?" Bang Oman tidak tahu apa yang dimaksud Sidin.
"Suara-suara itu," kata Sidin. "Semacam... Alat musik... Memainkan lagu... Yang tidak pernah aku dengar,"
"Kalau begitu jangan mulai dulu pekerjaanmu," kata Bang Oman. "Jadi mata elang butuh pikiran yang jernih. Kalau kau ada pikiran yang mengganggu, katakan sekarang, Rasid,"
Sekali lagi, Sidin menghela nafas.
"Aku punya firasat tidak bagus," Sidin membuka laci dashboard, mengeluarkan suatu benda. "Bang Oman tahu apa ini?"
Bang Oman geleng-geleng kepala. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau duduk di bangku depan, Rasid? Tadi kan kau berdiri menggantung di pintu belakang angkot,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...