Jumat, 17 Maret 2018. Pukul sembilan pagi, Ichsan sudah ada di Cicadas.
"Kaktus bentuk bola itu bagus pak," Ichsan jadi kepingin beli. "Ada bunganya, lagi,"
"25 ribu sepakat?" tawar Pak Simojoyo.
"20," Ichsan menyodorkan selembar Rupiah warna hijau.
"Cincailah," kata Pak Simojoyo. "Modalnya Rp. 10.000. Kau pasti hendak menanyakan sesuatu, detektif,"
Ichsan anggukkan kepala. "Beritahu aku sesuatu tentang Baros Kusumadinata,"
Kilasan mata pudar Pak Simojoyo berubah jadi berkilat tajam ketika nama keluarganya disebut Detektif Ichsan. "Ros keponakan saya. Dia tinggal di Sumedang, begitupun putra saya, Adrian. Pekerjaan Ros adalah dokter gizi. Sedangkan Adrian, di usianya yang masih muda, sudah menjadi pimpinan utama pabrik bata terbesar di Tasikmalaya,"
Ichsan menyadari sesuatu. Pak Simojoyo sama sekali tidak menyebutkan apapun tentang keluarga inti Baros Kusumadinata.
"Beritahu aku tentang sejarah keluarga Kusumadinata," tidak biasanya otak detektif Akad Ichsan berminat menelusuri sejarah.
Sejenak Pak Simojoyo menerawang jauh.
"Nama Kusumadinata dan Sumedang seringkali dikaitkan dengan pangeran yang memimpin rakyatnya melawan penjajah," ujar Pak Simojoyo. "Tapi tidak dengan Kusumadinata yang satu ini. Toh tidak semua Hasanudin dijuluki ayam jantan dari timur, tidak semua Sudirman memimpin serangan umum satu maret, sekalipun dalam setiap nama mereka tersirat harapan untuk menjadi orang hebat, pemeran utama sejarah. Begitupun nama Kusumadinata,"
"Mengapa bisa begitu?" Ichsan menyela.
"Karena sebenarnya, telah demikian lama terjadi perpecahan dalam keluarga ini. Sehingga saya tersingkir dari kampung halaman sendiri, Sumedang yang terkenal akan tahunya. Sehingga putra saya Adrian memilih tingga jauh dari orang tuanya, meskipun sudah sukses di rantau. Padahal, pabrik bata terbesar di Tasikmalaya itu jatuh ke tangannya melalui sebuah kudeta," tegas Pak Simojoyo, "kudeta berdarah,"
Nafas Ichsan tersekat. "Paling tidak, semua itu masih lebih baik ketimbang saya yang tidak tahu siapa keluarga saya sebenarnya,"
Petunjuk yang sangat jelas bagi Pak Simojoyo. "Kau hilang ingatan, detektif? Masih adakah nama mereka yang mungkin kau ingat?"
Masih ada rahasia.
Masih ada rahasia yang disimpan Pak Simojoyo. Nama ayah Baros Kusumadinata sama sekali tidak disebutnya.
"Pak Simojoyo," Ichsan memanggil penjual tanaman hias itu dengan nama aslinya. "Bapak pasti berharap suatu saat nanti masalah ini akan selesai. Tapi seperti apa kira-kira solusinya?"
"Menurut saya," Pak Simojoyo berhenti menerawang. "Hanya satu orang yang bisa menentukan nasib keluarga Kusumadinata di masa mendatang. Seseorang yang sudah kau tahu namanya sejak hari pertama kau menjelajahi kota Bandung,"
Ichsan tahu jawaban sederhana dari pernyataan Pak Simojoyo yang bersayap-sayap, Baros Kusumadinata. Ichsan juga tahu, tidak ada gunanya menanyai Pak Simojoyo lebih lama lagi.
"Makasih banyak ceritanya pak," Ichsan meraih stang sepeda. "Oh ya, tanaman kaktus ini disiram berapa hari sekali?"
"Seminggu sekali," jawab Pak Simojoyo. "Kalau mau setiap hari cukup pakai semprotan air tekan. Sebulan sekali kasih larutan pupuk urea,"
Sebentar lagi tengah hari. Ichsan menuju pusat belanja pakaian - terutama kaos sablonan - di Cihampelas.
"Mas Bo?" seorang tukang sol mengamati kaos yang dipakai Ichsan. "Jang, kemarin kau beli ini kaos di kios belah mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
Fiksi UmumSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...