"Kau tidak pulang, Sidin?"
Lamunan Sidin buyar. Sidin menengok ke yang punya suara. Lagi-lagi, Rina.
"Menunggu seseorang," Sidin kembali ke posisinya semula. "Tapi bukan kau, Rina,"
"Lalu siapa?" Rina masih penasaran, bertanya lagi. "Bukankah semua orang sudah pulang selain kita?"
Sidin menggelengkan kepala. "Lihat saja nanti. Sebaiknya kau segera pulang, Rina. Istirahat. Sejak dia-kau-tahu-siapa memilih keluar dari cerita Detektif Ichsan, aku menyerahkan perannya padamu. Dan itu tidaklah mudah. Ikuti saja apa kataku,"
Tahu dua kalimat pertama Sidin bertentangan, Rina malah menaati yang pertama. Menunggu datangnya orang yang dimaksud Sidin.
Seorang murid laki-laki keluar dari kelas 10 IPA 3 setelah menyapu kelasnya.
"Kids zaman now pada malas piket kelas," katanya. "Perkenalkan, namaku Sutiawan. Panggilanku Iwan,"
"Namaku Sidin, ini temanku Rina. Selamat datang di cerita Detektif Ichsan," demikian sambutan Sidin.
"Rupanya itu tujuanmu mengajak ngobrol sepulang sekolah," Iwan baru mengerti. "Sebenarnya siapa sih Detektif Ichsan?"
"Murid SMA yang rambutnya lurus klimis itu?" Rina menyela.
Sidin tepuk jidat. Pertama, sudah ada tiga orang bernama Iwan di cerita Detektif Ichsan. Kedua, namanya tokoh baru wajar tidak tahu ceritanya dari awal. Sabar, sabar.
Sidin menarik nafas dalam-dalam. "Akad Ichsan detektif SMA terkenal dari ibu kota. Aslinya dia berambut lurus klimis, tapi dalam sebuah penyelidikan ia tertangkap lalu dipaksa minum suatu obat oleh komplotan kriminal terkuat di ibu kota. Serikat Jaringan. Akibatnya, identitas Detektif Ichsan berubah jadi anggota Serikat Jaringan yang dicari polisi. Sergam, dengan rambut melengkung. Dalam persembunyian, Detektif Ichsan berhasil menangkap salah satu anggota Serikat Jaringan, Anton pemilik kekuatan portal. Namun, belum lama ini tersiar kabar bahwa Anton melarikan diri dari penjara. Status buronan mempersulit Detektif Ichsan melakukan penyelidikan kasus itu sehingga dia butuh bantuanmu, Iwan,"
Tanggapan Iwan satu huruf. "O,"
Kemudian Iwan pulang.
"Makasih infonya, Sid,"
"Sekarang kau," Sidin berpaling pada Rina. "Kau menunggu siapa?"
"Kamu,"
Kamu?
"Ada pertanyaan lagi? Bukankah semuanya sudah jelas?" Sidin tidak habis pikir, apa yang diinginkan perempuan di hadapannya ini?
"Aku mengawasimu dari jauh-jauh hari, Ali Rasidin," Rina bicara tidak langsung ke intinya. "Aku tahu, kau mulai sering sakit tidak dari kemarin,"
Deg. "Lalu?" Sidin seolah-olah lupa. Benar juga sih, Sidin memang lupa.
"Lima hari yang lalu, jumat 7.09 pagi. Kau sakit kepala, bukan?" Sidin tidak bisa mengelak dari kebenaran pernyataan Rina.
Sidin mengangguk perlahan, tidak tahu harus berkata apa. Kejadian yang dikatakan Rina adalah sesuatu yang berusaha Sidin lupakan.
"Penyebabnya suara-suara dalam kepalamu, bukan?" tebakan Rina mengena. "Aku tahu, karena aku juga mendengarnya. Tapi aku tidak tahu letak sumbernya,"
"Portal dimensi," akhirnya Sidin berkata. "Kekuatan yang dimiliki Detektif Ichsan, dan Anton si tahanan yang melarikan diri,"
Tidak hirau apa kata Sidin, Rina melantunkan lirik lagu yang telah sempurna dilupakan Sidin.
Kilau lampu kota laksana betabur bintang.
Tiada habisnya sejauh mata memandang.
Ada tabir tak kasat yang membentang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...