"Cari mikrolet itu, Rasid!" Ichsan membagi wilayah pencarian menjadi dua.
"M16, B9661AN," Rasid mengingat dua deret angka penting. "Siap,"
Setengah jam mencari, Rasid dan Ichsan bertemu di pintu masuk Terminal Kampung Rambutan.
"Ada tidak?" tanya Rasid.
"Tidak ada," jawab Ichsan.
"Atu iya, mikrolet itu masih ditahan di kantor polisi," kata Rasid. "Masak tidak ingat?"
Ichsan mengganti topik pembicaraan. "Ini sudah tengah hari. Ayo cari warung kopi,"
"Aku lapar," Rasid menunjuk sebuah warung kopi dekat pintu masuk terminal. "Dan di sana ada TV. Kau mau kopi?"
Ichsan menggeleng. Berharap apapun yang dilakukan Rasid, jangan sampai saputangan di wajahnya terlepas.
"Mang, kopi dua," kata Rasid. "Eh, satu saja,"
Rasid berisyarat pada Ichsan agar pura-pura batuk.
"Aih?" Penjaga warung kopi curiga.
"Teman saya lagi sakit," alasan Rasid.
Situasi aman kembali tegang ketika Rasid memesan dua porsi pecel lele.
"Ah, iya. Porsi satunya dibungkus saja. Teman saya sedang puasa..." Rasid beralasan dengan cerdik. "...ngomong. Aku tidak bohong kan?"
Menurut Ichsan, sandiwara Rasid garing.
"San, kau awasi pintu masuk terminal, aku mau nonton TV," kata Rasid sambil makan.
"Baiklah," Ichsan mencocokkan plat setiap mikrolet yang datang dengan foto di hp nya. "Aku melihat sesuatu yang janggal pada nomor trayek M16 di hp,"
"Apa?" Rasid belum lagi selesai makan, ia menengok foto di hp Ichsan.
"Nomor trayek itu tertulis di kap mikrolet, dan pada foto ada di sudut kanan atas. Artinya M16 mungkin bukan nomor trayek, tapi bisa jadi suatu kalimat," Ichsan tidak memberi Rasid kesempatan menyela.
Rasid kembali menonton TV.
"Sialan," umpatnya. "Berita terbaru tentang kasus semalam terlewat,"
"Salah kau sendiri berhenti nonton TV," Ichsan saklek dengan porsi tugas masing-masing.
Rasid segera menghabiskan makan siangnya. Sementara, siaran berita sudah habis. Rasid melihat siaran ulang berita dengan teliti, mencari potongan yang belum ditontonnya. Sebuah mikrolet meninggalkan kantor polisi. Platnya kuning.
Rasid membalik keadaan. "Ayo berangkat, cari lagi mikrolet itu. Tak ada gunanya kau menunggu mikrolet plat hitam, ikuti aku,"
Ichsan tidak punya jawaban selain menurut, setelah menyambar porsi makan siangnya yang dibungkus kertas. "Serikat Jaringan mengganti plat nomor, ya?"
Rasid tidak menjawab. "M16... M16... M16..." ia bergumam. "Ichsan, coba kau perlihatkan foto mikrolet semalam sekali lagi,"
"Kau menemukan sesuatu?" Ichsan menuruti perkataan Rasid.
"Ya. Sekarang, nomor trayek M16 itu satu-satunya petunjuk yang kita punya. Untuk memecahkan maksud petunjuk itu, cari tempat di mana kita bisa mengamati setiap kap mikrolet," kata Rasid.
"Sayangnya tidak ada," jawab Ichsan.
"Kalau tidak ada, terpaksa kita periksa lagi semua mikrolet yang ada," ujar Rasid. "Satu persatu,"
"Apa katamu?" Ichsan memastikan ia tidak salah dengar.
"Periksa satu persatu. Itu tidak sulit, yang sulit adalah agar identitas kita di balik saputangan tidak ketahuan," kata Rasid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...