Refleks Ichsan memasang kuda-kuda dasar silat, masih dengan bekal jurus yang sama dan seadanya. Pukulan depan, tendangan sabit, tangkisan, dan elakan wajib. Sorot mata Ichsan siaga mengawasi orang yang mendadak berubah menjadi lawannya.
"Sekarang kebenaran jawabanmu tadi akan dibuktikan. Malam selarut ini, puncak Bukit Cikutra jauh dari tanda kehidupan selain kita. Setetes darah menyentuh bumi, satu orang nyawa melayang, takkan satupun warga mengetahui," ujar Pak Aris tanpa mengubah posisi berdirinya sejak barusan mendarat. "Mulai sekarang, sejauh apapun kau pergi, hanya langit Bandung yang bisa menaungi. Kuasa di matamu tiada gunanya karena oleh penduduk Bandung dibenci,"
Sedetik lengang, sekelebat kain melesat bersama desing logam. Ichsan membaca garis putih kemilau bilah belati.
Sying!
Ichsan mengelak.
Sying!
Ichsan menangkis.
Sying!
Ichsan menahan serangan Pak Aris dengan dua tangan, ujung belati mengarah pada tengkuknya. Detektif SMA itu tidak bisa mundur lagi, pijakannya sudah berada di pinggir lereng curam Bukit Cikutra.
No turning back.
Ujung belati kian mendekati belakang leher Detektif Ichsan.
Aku tidak bisa menahannya lebih lama, kata Ichsan dalam hati. Takkan kubiarkan darah menetes di bumi Cikutra.
Sret!
Di saat-saat genting ini, tiba giliran Ichsan bergerak cepat. Hanya sekelebat bayangan, ia sudah berpindah tempat mengelak serangan Pak Aris.
Syin-
Ichsan tidak memberi Pak Aris kesempatan untuk serangan keempat. Tangannya menyambar dengan gerakan meliuk, memuntir lengan kanan Pak Aris sehingga genggaman belatinya terlepas. Belati itu melayang berputar di udara beberapa saat, sebelum akhirnya menancap di tanah di bawah lereng.
Sekarang kedudukan berubah. Ichsan menyerang beruntun dengan pukulan depan dan tendangan sabit, tanpa mengurangi kesiagaannya mengelak guntingan dan sapuan Pak Aris.
Ichsan menyadari sesuatu.
Sekarang serangan Pak Aris sepenuhnya menggunakan kaki, dan tangan orang Bandung itu tidak dalam posisi siaga untuk menangkis serangan.
Ichsan membaca, pola pergerakan Pak Aris yang terus mengelak sebenarnya berupaya agar dia menghadap arah kota. Sebelum keinginan Pak Aris tercapai, Ichsan membelokkan arah pukulannya yang kesekian kali menuju ulu hati lawannya.
Tidak kena.
Bukan berarti Pak Aris membaca gerakan Ichsan, melainkan sengaja menjatuhkan badan.
"Mengalah bukan berarti kalah," kata Pak Aris. "Tapi tidak mau sombong bahwasannya saya bisa menang mudah,"
Ichsan merapikan seragam SMA nya yang berantakan karena pertarungan barusan.
"Dan terungkap kebenaran bahwasannya kau masih takut mati, detektif," lanjut Pak Aris. "Buktinya sederhana, kau melawan. Kalau ternyata kau tidak takut mati, pasti sejak saya turun dari kabel listrik sampai sekarang kedudukanmu tidak berubah. Ringkasnya, kau lolos ujian saya,"
"Karena saya jujur pak," Ichsan menarik kesimpulan. "Toh bukan tidak mungkin jika semua itu hanya kebetulan semata,"
"Kebetulan semata katamu?" Pak Aris memastikan. "Kalau memang begitu, berarti kebetulan semata pula kalau saya bilang tujuanmu datang ke mari adalah mencari petunjuk tentang sopir angkot yang kau naiki tadi pagi dan alasan Nurul membenci kuasamu. Kalau kau penasaran, detektif, cari sendiri jawabannya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...