"...katanya Elina merasa keberatan jika dia masuk cerita Sidin lagi," Rina menyampaikan kabarnya.
"Alasannya, dalam setiap cerita yang melibatkanku selalu saja peranku menyusahkan Sidin. Tidak jarang Sidin harus mengalirkan darah karena peranku. Entah tergores peluru, pisau, bahkan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan olehku. Lebih baik tidak ada aku dalam cerita Sidin daripada ia tidak bisa bebas mengembangkan perannya, juga Detektif Ichsan. Aku ingin Sidin baik-baik saja meskipun tidak ada aku dalam ceritanya. Mungkin kau kecewa atas pernyataan ini, Sidin? Namun percayalah, yang kukatakan ini jujur apa adanya,"
Elina mengakhiri ujarannya pada Rina, di balik sekat yang tidak dapat dijangkau oleh Sidin.
"Begitu penjelasannya," Rina selesai berujar.
Sidin menarik nafas pendek, menghelanya. "Hah," lalu jeda. "Biarkan aku berpikir sejenak,"
Sesaat, kelas 10 IPA 1 terasa hening.
Akhirnya Sidin buka mulut. "Baiklah. Kalau itu maunya, akan aku pertimbangkan meskipun itu berat. Mungkin aku baru bisa beritahu hasilnya besok,"
"Ya sudah," Satya merogoh saku kemejanya. "Ayo ke kantin, aku lapar,"
Sidin mengikuti langkah Satya dan Rina, tapi hanya sampai balkon depan kelasnya. Sidin bersandar ke balkon seperti kemarin.
Melamun.
"Sebaiknya kau jangan di sana, Sidin," Rina berpesan. "Seharian hujan gerimis, bisa-bisa kau masuk angin,"
"Itu tidak masalah kalau kau orang pintar," kata seseorang. "Tahu lah orang pintar minum apa,"
Lamunan Sidin buyar, Sidin menoleh ke sumber suara. "Alan? Baru Bagaimana hasil lomba teater?"
Alan mengacungkan tiga jari.
"Bagus kalau begitu," tanggapan Sidin. "Tapi sepertinya ada alasan tersendiri kenapa kau kelihatan senang,"
"Tentu saja, hari ini aku masih dihitung izin, jadi boleh pulang duluan!" Alan pergi, berpapasan dengan Elina tanpa sepengetahuan Sidin.
Sidin melambaikan tangan.
Tanpa sepengetahuan Sidin, Elina melambaikan tangan pada Sidin.
Sekali lagi, angin semilir berlalu di wajah dan bahu Sidin.
Pelajaran PAI.
Elina menyerahkan naskah lewat Budi karena Budi yang mencetak naskah itu ke kertas. Setelah menyerahkan naskah, Budi menyampaikan pesan dari Elina pada Sidin.
"Selain latihan drama, setiap kelompok juga dapat tugas membuat kaligrafi. Plis dah Sidin, jangan mengelak dari tugas lagi. Kasihan Elina kalau dia harus mengerjakan yang bukan jadi tugasnya. Jadi begini, Sidin. Berhubung peranmu jadi Panglima Ali yang tidak banyak ngomong, Elina menyerahkan tugas kaligrafi ini padamu, satu-satunya di kelompok kita. Kau harus bisa, katanya,"
Sidin menarik nafas dalam-dalam, menghelanya perlahan. "Pas betul dengan namaku Ali Rasidin? Baiklah, kalau begitu beri aku karton dan krayon,"
"Sekalian ini modelnya," Budi menunjukkan sebuah screenshot di hp nya pada Sidin.
Sidin meraih alat tulis, menyalin kaligrafi. Pensil, pena, krayon ditorehkan di atas karton.
Tugas selesai, Sidin mengelap keringat di dahi pakai tangan kiri. "Fiuh, ternyata bagus juga. Siapa sangka, aku pandai membuat kaligrafi. Tidak salah Elina memberiku tugas satu ini. Siapa tahu juga aku pandai menggambar. Tidak ada salahnya mencoba kan?"
Berhubung masih ada sisa waku pelajaran PAI sebelum bel pulang berbunyi, Sidin mengeluarkan buku tulis yang sudah beberapa hari tidak pernah dibukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...