"Setelah suasana tenang, kita pulang saja," kata Satya. "Kenapa aku harus berurusan dengan serangkaian ledakan bom di ibu kota?"
"Kau sendiri yang mau ikut campur," kata Sidin. "Adapun kalau mau pulang lebih baik secepatnya sebelum kita ketahuan siapapun,"
Satya mengejar metromini Batur Salembur. "Tadi kau yang bayar ongkos kan, Sidin? Sekarang aku saja yang bayar, tapi makan siang di rumah masing-masing," kata Satya.
"Naik Pluit Jaya saja, ongkosnya lebih murah," kata Sidin (Akad Ichsan). Itu pun tahu dari Rasid (Ali Rasidin).
Harga tidak bohong. Dengan ongkos separuh Batur Salembur, kecepatan bis Pluit Jaya juga separuhnya metromini Batur Salembur. Alhasil, Sidin dan Satya baru sampai di Terminal Distrik Cikupa menjelang sore.
"Besok naik bis Primajasa saja," kata Satya.
Sidin mengangguk setuju. Ia menunggu Satya pulang naik angkot. Sidin pulang jalan kaki seperti kemarin, menghindari orang terminal.
Sepanjang jalan, Sidin tidak henti memikirkan kasus ledakan bom tadi siang di pangkalan pasir Pelabuhan Tanjung Priok. Beritanya pasti ramai di TV, tapi ia tidak bisa nonton.
Sidin mengirim pesan ke Satya.
"Cepat nonton TV berita pengeboman. Beritahu aku besok di tempat dan waktu yang sama,"
Segera setelah itu Sidin mendapat pesan dari nomor asing. Tidak salah lagi itu Rasid (Ali Rasidin).
"Gara-gara ledakan itu aku tidak bisa meneruskan penyelidikan,"
Sidin (Akad Ichsan) merasa waswas. Dikiranya Rasid ditetapkan jadi tersangka pengeboman, padahal sebenarnya bukan. Di ibu kota, Rasid sedang menonton TV sambil minum kopi.
"Ledakan bom di pangkalan pasir Pelabuhan Tanjung Priok siang hari tadi tidak menelan korban jiwa. Kerugian ditaksir puluhan juta Rupiah. Pelaku tidak diketahui. Ada satu unit bom yang sudah dimatikan dengan cara dibuang ke laut..."
Seharian itu Rasid hanya mengawasi orang-orang yang lalu-lalang di sekitar Rasuna Said.
Rasid mencari orang yang mengambil kartu nomornya yang dibuang sembarangan.
"Siapapun pelakunya, dia mengenalmu, Ichsan," kata Rasid.
Semalaman Rasid nongkrong di warung kopi yang sama di Rasuna Said. Mencari orang yang mengambil kartu nomornya setelah dibuang. Rasid juga mengawasi pengunjung warung kopi seandainya ada anggota Serikat Jaringan. Hasilnya nihil. Rasid sudah mencirikan tempatnya membuang kartu nomor di persimpangan trotoar, tapi tidak ada orang yang berhenti melangkah di sana. Setidaknya, Rasid mendengar sebuah nama yang disebut dengan berbisik, mungkin oleh seorang intel.
"Mintoha,"
Alangkah terkejutnya Rasid, di pagi hari ia mendapati kartu nomor yang dibuangnya sudah tidak ada. Tidak cukup Rasid mengamati orang, ternyata ada orang yang mengamati Rasid. Siapa lagi kalau bukan pelaku pengeboman kemarin?
Tapi lain lagi kata Rasid.
"Ternyata kau sudah mengetahui kekuatan portal ruang waktu ya, Detektif Ichsan?"
Rasid meninggalkan Rasuna Said.
Senin 20 februari 2017. Tempat dan waktu yang sudah disepakati.
"Pelaku pengeboman masih tidak diketahui," kata Satya. "Kepolisian menetapkan tersangka berinisial AI,"
Sidin (Akad Ichsan) sedikit terkejut mendengar inisialnya disebut di TV. "Berarti kita tidak ketahuan. Bagus, lah,"
"Tapi jangan kira aku tidak tahu siapa kau, detektif,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...