Menghindari pengawasan Rozak, dari Cicadas, Ichsan mengambil jalan memutar lewat Cicaheum lalu belok kanan ke Perumahan Sukaluyu lewat Cikutra.
Ichsan baru sampai di rumah Nurul menjelang sore, jam setengah tiga.
"Perasaanku, perkembangan hari ini kurang bagus," kata Nurul. Biasa, perempuan seringkali bawa perasaan.
Ichsan mengangguk sekali. "Aku butuh bantuan di sana-sini, kau bisa bantu?"
"Apa lagi?" Nurul menghela nafas.
"Besok lusa kan kau masuk sekolah, Nurul. Jalankan rutinitasmu seperti biasa," Ichsan berpesan. "Jangan bersikap seolah-olah merasa diikuti, atau diawasi orang lain,"
"Sekalipun teman-teman di sekitarku sadar tentang hal itu?" Nurul kurang yakin.
Ichsan agak berat menjawab pertanyaan satu ini, meskipun hanya dengan satu kata.
"Sekalipun,"
Hening sesaat.
Akhirnya Ichsan bertanya, mencairkan suasana. "Bolu sudah habis?"
"Belum," Nurul menjawab singkat.
"Besok kadaluwarsa," Ichsan mengingatkan, bolu itu hanya tahan seminggu sejak dibeli.
Bukan dibuat.
Bisa gitu ya?
"Besok habis ngga?" tanya Ichsan, lagi.
"Mana mungkin," sangkal Nurul. "Masih ada dua pertiga isi kotak,"
"Bagus kalau begitu," Ichsan menyeringai, lapar. "Baik aku bawa ke Cikutra,"
Seharian ini detektif SMA itu belum makan nasi Padang sama sekali, baik satu atau dua porsi. Padahal pekerjaannya kian hari kian rumit. Beruntung sekali Ichsan dapat klien seperti Nurul, orangnya pengertian.
"Sekalian, San. Rendang terakhir," Nurul mengajak Ichsan ke meja makan.
"Jadi orang boke itu susah," Detektif Ichsan berterus terang. "Penyelidikan ini harus selesai dalam delapan hari. Setelah itu aku harus mendapat pekerjaan tetap, kalau tidak mau mati kelaparan di kota yang dikelilingi gunung ini - Bandung. Aku tidak mau jadi beban orang terus, Nurul,"
Nurul tersenyum, simpul dan tipis. Jauh lebih bagus daripada senyumnya Sidin yang tidak simetris. "Oya, Ichsan. Maaf kalau ini memang tugas tambahan. Sepertinya aku tidak bisa menemukan alasan kenapa Sidin tidak bisa menjawab pertanyaan dari tahun baru silam,"
Ichsan menghela nafas. Panjang.
Satu masalah lagi di atas banyak masalah yang menumpuk.
"Nurul, hari minggu kan Cihampelas bebas mobil, ada rencana lari pagi kaga?" tanya Ichsan sebelum pulang ke Bukit Cikutra.
Nurul menggeleng. "Jam segitu biasanya aku latihan beladiri silat sama Pak Aris. Mau ikut?"
Sebenarnya Ichsan tidak ada alasan untuk menolak, mau sampai kapan jurus beladiri silat yang dia kuasai hanya pukulan dasar, tendangan sabit, tangkisan, dan elakan?
Penting sih,
"Bagaimana ya, preman tidak kenal libur. Minggu pun aku kena berangkat jadi intel," Ichsan menjelaskan kendalanya.
"Baiklah kalau memang itu maumu," Nurul mengalah. "Ngomong-ngomong, kenapa tadi siang aku kirim pesan ke kau ngga dibalas?"
Ichsan mengecek hp nya. Baterenya habis. "Syukur dulu, Nurul,"
"Kenapa?" Nurul jadi bingung.
"Kalau hp ku masih nyala saat berhadapan dengan Raven Chaser pimpinan hulu preman baru lalu informasi di dalamnya disadap, bukan hanya nama Nurul yang mereka ketahui. Tapi juga Jufriyadi, pimpinan hulu preman lama," jelas Ichsan. "Masih untung aku sampai di sini hidup-hidup, Nurul. Seandainya yang tadi kujelaskan benar terjadi, mungkin aku sampai sini tinggal nama,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
قصص عامةSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...