Hujan deras belum juga reda.
Masboy mengerem angkot di tempat Sidin biasa turun, agak meluncur di jalanan yang licin. Sidin bayar ongkos, tiba di rumahnya dengan keadaan basah kuyup.
Dengan bantuan senter di hp Nokia yang baterenya penuh, Sidin segera ganti baju. Tidak ada listrik, terpaksa Sidin menanak nasi di atas kompor. Selesai makan malam Sidin menyambar tasnya, mengeluarkan buku selain biologi yang ada tugas merangkum berikut uang sepuluh ribu Rupiah. Cepat atau lambat batere hp Nokia akan habis, tidak bisa diisi ulang selama listrik masih mati.
Menaiki sepeda tua yang kurang terawat tapi masih agak bagus, Sidin bertolak ke pedagang bensin eceran dekat kantor pemerintah Distrik Panongan. Benar saja perkiraan Sidin, di sana ramai sopir menongkrong. Temaram lampu neon menyala dari motor salah satu tukang ojek, lebih dari cukup untuk mengerjakan tugas.
Sidin berusaha agar tidak datang dengan mencolok. Cepat-cepat Sidin menggelar buku dan alat tulis di atas meja, membaca sekilas bab yang akan diringkas, lalu menulis.
Yah, sepandai tupai melompat pasti jatuh juga. Orang yang langsung mengenali Sidin, siapa lagi kalau bukan bos angkot nomor satu di trayek Cikupa-Panongan?
"Rasid, ngapain kau? Tumben nongkrong malam-malam begini," sapa Bang Oman.
Sidin menjawab datar. "Saya sudah bukan bagian dari dunia transportasi Distrik Panongan, bang. Saya datang hanya belajar, mengerjakan tugas. Selain itu lihat saja sendiri. Tunggu sebentar, saya akan kembali,"
Bang Oman manggut-manggut saja.
Sidin memanggil pedagang asongan. "Mang! Beli korek gas,"
Sisa uang Sidin tinggal delapan ribu Rupiah.
"Jangan bilang untuk merokok, Rasid," tegur sopir lain.
Masboy.
Sidin merapikan buku pelajaran dan alat tulis, menghampiri penjual bensin eceran.
"Mang bensin delapan ribu," uang dan bensin berpindah tangan. Sidin hanya dapat bensin setengah botol, tapi itu sudah lebih dari cukup.
"Aneh," kata Masboy. "Tidak biasanya Rasid beli bensin,"
"Ada udang di balik batu," timpal Bang Oman.
Setibanya di rumah hujan sudah reda, tengah malam lewat sedikit. Sidin meracik bensin dan minyak goreng sehingga jadi suatu campuran bahan bakar yang sifatnya serupa minyak tanah. Sidin punya lampu minyak yang sudah lama tidak terpakai, dan kini bisa dipakai lagi.
"Tidak masalah jika kamis besok listrik belum nyala," kata Sidin sesaat sebelum tidur. "Yang penting Anton tahanan melarikan diri itu segera tertangkap lagi,"
Hidup PLN!
Kamis listrik masih mati.
Harga bensin kian melambung. Angkot tidak ada, ojek sepi. Dengan reputasi kurang bagus di kalangan tukang ojek, Sidin terpaksa bayar ongkos lebih mahal supaya bisa sampai di sekolah. Masih untung di Jalan Raya Serang bisa menumpang kendaraan selain angkot, truk tronton misalnya. Teman-teman Sidin dari Distrik Panongan juga melakukan hal yang sama.
"Cukup sekali ini kita jadi anak BM," kata Sidin pada teman-temannya.
BM (berani mati), istilah anak berandalan yang nekat bepergian naik truk tronton untuk menghemat uang saku. Alasan sebenarnya supaya ada uang lebih untuk membeli rokok, tapi kasusnya Sidin dan teman-teman jelas berbeda.
"Tidak terlambat nih?" Satya menadahkan tangan dari sinar matahari yang mulai terik. Tadi mereka mendapat truk lawas bermuatan pasir besi dari Cilacap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seri Detektif Ichsan.
General FictionSeorang detektif terkenal, Serikat Jaringan lawannya. Kehilangan identitas asli, ibu kota perantauannya. Temukan kuasa portal, Tangerang kota pelariannya. Tempat untuk berpulang, Bandung kota kelahirannya. Kasus akan selesai, terungkap apa kebenaran...