💄Sudut Istimewa

1.1K 179 25
                                    

Sabtu sore kali ini tampak masam. Awan yang dari pagi berwarna biru cerah, berganti menjadi kelabu. Hanin sudah rapi dengan ripped jeans hitam dan atasan berwarna peach. Tak lupa tas ungu favoritnya.

Kakinya terlangkah kearah grand livina abu-abu miliknya. Mobil ini jarang terpakai karena Hanin lebih suka menggunakan Mio putihnya. Namun karena takut nanti hujan akan turun, mau tak mau Hanin harus naik mobil. Kini tujuannya adalah perpustakaan kota.

Baru saja ingin mengeluarkan mobil dari garasi, ekor matanya melirik rumah seberang, seorang pemuda sedang memasukkan motor Vixion kedalam garasi. Tak sengaja netra itu bertemu pandang. Ah sudah berapa lama ya kira-kira Hanin tak bertegur sapa dengan tetangganya itu? Seminggu, dua Minggu, sebulan, atau mungkin satu semester? Entahlah, Hanin lupa. Pastinya mereka tak bertegur sapa ketika Hanin merasa pemuda itu berubah, ketika Hanin tau rasanya bukan lagi sekedar sayang pada sahabat. Namun lebih dari itu.

Ingin menegur? Tentu saja. Oh Jakarta, ayolah. Apa kau sedang menguji Hanin lagi? Mengapa Hanin jatuh lagi pada iris tinta itu? Cepat-cepat Hanin memasuki mobilnya, takut kalau makin lama dipandang makin kusut perasaannya.

Grand Livina itu melaju pelan membelah kota. Lagu dari radio memecah keheningan. Setelah singgah sebentar ke kedai es krim, barulah Hanin menuju ketujuannya. Tak berapa lama Hanin sampai di perpustakaan. Segera saja ia mengeluarkan kartu perpus dan memasuki perpustakaan. Kemudian ia mengisi buku pengunjung. Namun tunggu! Apa Hanin tak salah baca? Tiga nama diatasnya.

Adipta | SMA Tunas Cendikia.

Hah! Permainan apa sedang yang kau mainkan, Jakarta? Bukankah tadi pemuda itu sedang memasukkan motor kegarasi? Lalu, mengapa ia ada disini? Hanin membaca lagi nama dibawah nama Adipta.

Keisha | SMA Tunas Cendikia.

Ya, seharusnya Hanin tau apa posisinya sekarang. Seharusnya Hanin sadar bahwa Dipta tak lagi membutuhkan dirinya. Seharusnya---

"Hanin, hai!"

---Hanin sadar.

"Oh, hai." Balas Hanin canggung.

"Suka main kesini, Nin?" Tanya gadis dengan rambut hitam sebahu itu.

"Tiap Sabtu, jadwal wajib kesini," jawab Hanin seadanya. Kemudian menyerahkan kartu perpustakaan pada penjaga. "Halo kak, ini gue bawain eskrim. Banyak bener maunya," ujar Hanin sambil memberikan kresekan yang berisi eskrim yang dititip oleh penjaga perpustakaan.

"Kali-kali gitu nin, kan sekalian sih," ujar penjaga perpustakaan itu. "Btw, makasih ya."

"Iya kak Fero, sama-sama."

"Lo udah deket ya sama penjaga perpustakaan disini," ujar Keisha yang sedari tadi memperhatikan Hanin.

"Ya gitu. Tiap Sabtu gak pernah absen kesini sih," jawab Hanin sambil berjalan menuju rak novel remaja. Keisha ngangguk-ngangguk ngerti.

"Btw Nin, gue nyari buku biologi dulu ya. Lagi bikin pr nih," pamit Keisha. Hanin mengangguk, mengiyakan.

Hanin menemukan buku yang dicarinya. Ternyata novel Harry Potter karya J.K Rowling yang sedang diincarnya. Padahal Hanin sudah membaca abis semua karya series itu. Namun, tiba-tiba saja Hanin ingin membaca ulang lagi. Tangannya meraih buku ke-empat dari series Harry Potter itu. Buku dengan judul Harry Potter and the Goblet of Fire itu berada dirak atas. Seperti biasanya, Hanin akan meminta bantuan Fero untuk mengambilkannya, namun baru saja ia ingin meminta tolong Fero sebuah tangan membantunya mengambil buku itu.

"Makanya jangan pendek," ujar sebuah suara tak asing ditelinga Hanin.

"Di-dipta?"

"Hai Hanin. Nih buku Lo."

"Ma-makasih Dip," ucap Hanin canggung.

"Iya sama-sama."

"Gue duluan Dip. Mau singgah kerumah Sabil dulu," sebisa mungkin Hanin menghindari Dipta.

Baru saja dua langkah kaki itu terlangkah, sebuah suara menginterupsi langkah Hanin. "Lo sengaja menghindari gua nin?"

"Maaf Dip, gua buru-buru."

"Hanin Lo kenapa? Hanin!" Panggil Dipta sedikit berteriak, namun Hanin tetap berusaha acuh. Walau nyatanya Hanin benar-benar merindukan pemuda itu.

Baru kali ini, Hanin membenci tempat yang disebut perpustakaan hanya karena satu orang. Adipta Danuwangsa.






💄



"Kak Juan tuh kebo banget ih Bun. Dari tadi dibangunin juga," dumel Hanin sambil menarik kursinya buat makan malam.

"Udah ntar bangun sendiri dia tuh," ujar  sang Ayah. Kemudian mereka menikmati santapan makan malam. Benar-benar masakan bunda tak ada yang bisa menandingi.

Selepas makan, Hanin duduk di gazebo depan rumah sambil main gitar. Iya, gini-gini Hanin lumayan juga gitaran.

"Hanin!"

"Allahuma!" Kaget Hanin. Terkutuk sekali orang yang mengejutkannya ini.

"Dih kaget, nih mami buat kue buat Lo katanya. Kok udah lama gak main kerumah," ujar pemuda itu---Dipta---sambil memberikan rantang pada Hanin. Hanin masih diam, bingung lebih tepatnya.

Dipta ngajak dia ngobrol?

Kaya biasa?

Hah?

"Hanin woy! Malah bengong," Dipta melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Hanin. Tersadar, Hanin malu sendiri rasanya.

"I-iya makasih, bilangin ke mami," jawab Hanin menunduk.

Sejenak hening menguasai. Hanin mengalihkan perhatiannya dengan sibuk menyetel gitarnya, sementara Dipta dari tadi tak juga beranjak.

"Hanin..." Panggil Dipta pelan.

"Y-ya?" Balas Hanin cepat.

"Lo kenapa? Kenapa jauhin gue? Gue ada salah apa nin?" Tanya Dipta pelan.

Kelu. Lidah Hanin kelu untuk sekedar berdehem.

"Lo gak ada salah dip," jawab Hanin.

"Gak mungkin. Kalau iya, Lo gak mungkin jauhin gue kan? Oh Hanin, c'mon kita sahabatan bukan baru sebulan dua bulan. Tapi udah 15 tahun." Ujar Dipta. Hanin menatap Dipta sendu.

"Gue khianat dip. Gue khianat sama perasaan gue. Gue pikir diantara kita tak akan pernah tumbuh rasa cinta. Tapi gue salah, gue malah berkhianat sama perasaan yang udah gue bangun kokoh selama bertahun-tahun. Kemudian gue sadar, gue gak akan pernah jadi siapa-siapa buat Lo selain sahabat. Sekarang juga udah ada Keisha, jadi gue pikir Lo udah gak butuh gue," jelas Hanin.

Diam kembali menyelimuti mereka. Dipta cukup kaget mendengar pernyataan Hanin.

"Tapi kembali dip, gue sadar. Gue sama Lo itu kaya sudut istimewa aritmatika. Gue tan dan Lo cos. Selalu ada sin diantara kita." Lanjut Hanin sambil menatap Dipta. Dipta tertohok pada ucapan Hanin.

Hanin bangkit dari duduknya, mengambil gitar juga rantang yang dibawa oleh Dipta tadi.

"Kalau udah gak ada yang perlu dibicarakan gue masuk duluan Dip. Rantang mami besok gue pulangin. Malam," Hanin pun melangkah cepat memasuki rumahnya. Meninggalkan Dipta yang masih memutar otak setelah mencerna ucapan Hanin.
































"Gimana seandainya gue bilang, gue juga khianat sama persahabatan kita nin?"















💄








Good malem semua
Vomment nyaa jangan lupa.

Teenager Area ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang