Karel Ezradinata, tidak pernah menyalahkan Tuhan untuk takdir yang dia terima. Meski terlahir di tengah keluarga yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja, Karel tidak pernah menyesal berada di dalamnya. Meski ayah dan ibunya lari dari tanggung jawab setelah melahirkan ia ke dunia, Karel tak pernah membenci keluarganya. Karena setidaknya Tuhan masih menyisakan satu hal baik untuknya di sana. Galantino, kakaknya.
Karel bersyukur terlahir dari rahim Mama, membuatnya menempati posisi sebagai adik semata wayang dari seorang Galantino Wiradinata. Laki-laki luar biasa yang selalu Karel banggakan pada dunia. Laki-laki hebat yang bersedia melakukan apa pun untuk adiknya.
Sekilas, Galant memang terlihat keras. Bicaranya tak banyak, wajahnya pun selalu tenang, seolah tanpa beban. Galant itu kelihatannya saja kaku, tetapi hatinya tak benar-benar batu. Dia sosok yang hangat, dengan hati selembut sutera yang mudah sekali terluka. Itulah Galantino sesungguhnya.
Galant juga pekerja keras. Tidak pernah mengeluh, apalagi menyerah. Dia selalu diam, seolah keadaan menyuruhnya bungkam, namun Karel paham, sesekali jiwa lelaki itu berontak, mengutuk keadaan yang tak pernah berpihak. Bagaimanapun juga, Galant hanya manusia biasa. Yang kadang-kadang juga merasa lelah. Yang terkadang juga ingin menyerah. Meski begitu, lelaki itu selalu tahu caranya untuk kembali bangkit setelah patah.
Maka Karel berani bersumpah bahwa memiliki Galant saja sudah cukup sempurna. Dan ia tidak pernah lagi mengharapkan apa-apa.
"Tadi di sekolah ngapain aja?"
Karel yang sedang sibuk membaca komik di salah satu aplikasi ponsel pun menoleh, melirik Galant yang baru selesai mengganti kemeja putihnya dengan kaos santai tanpa gambar.
Kakaknya itu memang selalu saja ingin tahu urusan orang. Kepo, kalau istilah kerennya.
"Kebetulan hari ini disuruh belanja sayur sama daging-dagingan," jawabnya asal. Seketika Galant mendekat dan memukul pelan kaki Karel yang memenuhi sofa. Membuat anak itu mengaduh dan segera menurunkan kakinya, memberi ruang lelaki itu untuk duduk di sana.
"Kalau ditanya, tuh, jawab yang bener!" tegur Galant.
"Ya lagian, udah jelas-jelas sekolah itu tempatnya belajar. Pake segala nanya tadi ngapain aja. Lo tau kuker nggak? Kurang kerjaan. Nah, iya, kayak lo tadi tuh. Kayak nggak ada pertanyaan lain aja."
Dijawab begitu, Galant cuma bisa diam dan menghela napas panjang. Menghadapi adiknya memang tidak pernah gampang. Butuh kesabaran berlipat ganda jika tidak ingin kelepasan menyumpal mulut anak itu pakai wajan penggorengan.
Karel itu masih kecil. Tahun ini usianya baru 14 tahun. Tapi sudah bisa bikin Galant bawaannya mau istighfar. Selain tidak sopan sama yang lebih tua, anak itu juga tidak pernah mau memanggilnya Abang jika tidak ada maunya. Dan alasannya menyebalkan. Katanya, panggilan Abang hanya akan membuat ia terlihat jauh lebih kecil. Sementara ia tidak mau dianggap sebagai anak kecil walaupun sebenarnya memang masih kecil.
Galant masih sibuk mengumpati seluruh keburukan Karel, saat tiba-tiba suara anak itu membelah pikirannya.
"Gimana tadi nge-date sama Bu Guru?"
Galant tersentak, sedetik kemudian ia mendecak dan menatap kesal Karel yang justru mengumbar tawa renyah. Kalau sudah begini, Galant yakin betul adiknya pasti berulah."Rese lo tuh kebangetan, ya! Lo 'kan yang nge-chat bu Agnes pake hp gue, suruh bawain nasi goreng spesial telornya dua, pake irisan timun lengkap sama lalapannya? Ngaku lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.