Karel tidak tahu apa yang terjadi pada Galant hingga lelaki itu menjadi begitu diam sepanjang perjalanan pulang. Saat Karel bertanya, dia hanya menjawab seadanya. Saat Karel bercerita, beberapa kali Galant justru mengabaikannya.
Karel jelas bingung. Seingatnya, tadi lelaki itu baik-baik saja. Tidak ada yang aneh, sampai dia pamit pergi untuk mengurus administrasi rumah sakit, lalu saat kembali, mereka membicarakan hal yang sedikit serius, tapi belum sampai usai, pembicaraan mereka terpotong oleh bunyi notifikasi ponsel Galant. Dan setelah itu, Galant jadi aneh.
Karel jadi penasaran. Apa ada pekerjaan berat yang harus lelaki itu selesaikan selama liburan? Atau ada masalah lain yang sengaja lelaki itu sembunyikan? Yang tidak bisa Karel tafsirkan hanya dengan membaca geriknya dalam diam?
Karel benar-benar merasa hampir gila karena penasaran. Maka, begitu mereka tiba di rumah setelah menempuh perjalanan panjang yang dibalut kebisuan, Karel memutuskan untuk menghentikan langkah Galant tepat sebelum lelaki itu membuka pintu kamar.
"Nggak ada yang mau lo omongin ke gue, Gal?"
Genggaman Galant pada handel pintu merenggang, niatnya untuk mendorong pintu kayu di depannya itu pun terpaksa urung saat mendengar Karel berujar. Dia menoleh, menatap anak itu dengan sedikit kerutan di dahinya.
"Ngomong apa?"
Karel berdecak saat Galant justru balik bertanya. "Ya lo ngerasa ada yang mau lo omongin ke gue nggak?"
Galant tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya kembali berujar. "Istirahat sana. Nanti kalau udah laper bilang aja, gue buatin lo maunya apa."
"Gal!" Karel sedikit menaikkan nada hingga dia bisa melihat reaksi terkejut Galant, tapi sedetik kemudian dia diam. Matanya menatap Galant tajam, namun tidak ada lagi kalimat yang ia keluarkan. Dia hanya bungkam di tempatnya, membiarkan seluruh kalimat yang sudah ia rangkai sebelumnya menguap begitu saja.
Entah mengapa tiba-tiba Karel merasa lidahnya kaku untuk bicara. Seperti ada sesuatu dalam diri Karel yang menahannya untuk tidak meluapkan kekesalannya pada lelaki itu. Dia hanya ingin tahu apa ada sesuatu yang sedang mengusik pikiran Galant. Dia ingin tahu apa lelaki itu sedang kesulitan. Dia ingin tahu tanpa harus menyampaikan pertanyaannya. Tapi, sepertinya Galant tidak bisa menangkap maksud yang ia utarakan.
"Lo kenapa, sih?" Galant justru bertanya dan membuat Karel semakin kesal. Seharusnya Karel yang bertanya seperti itu, kan?
"Nggak papa. Lupain aja!" ketus Karel.
"Aneh lo."
"Lo yang aneh." Setelah mengatakan itu Karel segera berlalu, masuk ke kamarnya setelah meninggalkan sedikit bantingan di pintu.
Sementara Galant menghela napas panjang tepat setelah bayang punggung anak itu menghilang. Dia tahu betul apa yang sebenarnya ingin Karel tanyakan, namun dia memilih untuk tetap diam. Dia sadar, mungkin sikapnya sejak di rumah sakit tadi telah membuat anak itu tak nyaman. Mungkin juga, Karel jadi berpikir macam-macam.
Tidak! Dia tidak seharusnya begini. Dia tidak boleh membuat Karel memikirkan banyak hal tentang dirinya hingga berakibat pada kesehatan anak itu. Galant paham hal itu dengan sangat baik. Jadi ketika pada akhirnya Karel bertanya, Galant memutuskan untuk bersikap seolah semua baik-baik saja. Karel tidak perlu tahu kalau sebenarnya, saat ini, jauh di dalam hatinya, Galant sedang ketakutan luar biasa.
Galant mengerjap, menatap pintu kamar Karel yang tertutup rapat sekali lagi sebelum akhirnya beralih membuka pintu kamarnya sendiri. Dia berjalan pelan ke ranjang lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Pekat irisnya ia biarkan menjelajah langit-langit ruangan, sementara pikirannya sudah lebih dulu melayang tanpa persetujuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAREL
Teen FictionBagi Karel, Galant adalah pahlawannya. Malaikatnya. Alasan dia untuk tetap bernapas di dunia. Sedang bagi Galant, Karel adalah hidupnya. Detak jantungnya. Segalanya.